A. Tiga Aspek Sejarah Awal Mula Filsafat Cina
Dalam memahami asal mula Filsafat Cina, ada 3 hal yang perlu diketahui. Pertama, filsafat adalah sebuah usaha sadar untuk memformulasikan pandangan-pandangan dan nilai-nilai sebagai ekspresi dari keyakinan fundamental sekelompok orang. Karenanya filsafat tidak dapat dilepaskan dari latar belakang budaya dan tradisi kelompok tersebut. Dalam hal ini adalah bahasa, seni, literatur, dan agama. Yang kedua, filsafat sebagai sebuah aktivitas yang berkelanjutan haruslah dipandang sebagai sesuatu yang muncul dari aktivitas praktis kehidupan yang berfokus pada pemecahan masalah tentang pengetahuan yang benar, pemahaman asali, dan penghargaan yang wajar atas berbagai masalah kehidupan, entah secara individu ataupun sosial. Yang ketiga adalah lebih berupa konstruksi-konstruksi teoretis sebagai hasil pemikiran filosofis ataupun kegiatan kultural dari suatu kelompok orang/masyarakat.
Pengertian “asal mula’ ini haruslah dilihat dalam konteks pandangan yang multi dimensi dan plural. Karenanya untuk memahami asal mula filsafat cina pun, orang perlu mengacu pada permasalahan tatanan yang dimunculkan, yakni historisitas, praktis, dan teoretis. Ketiga hal ini harus dilihat dalam satu kesatuan. Selain itu perlu dipahami pula bahwa pengalaman historis dan kultural ini memberi konteks bagi munculnya metodologi dan kosmologi, yang kemudian dapat menerangkan pula tentang lahirnya bahasa dan konstruksi filsafat. Pada akhirnya, filsafat itu kemudian memberi dampak bagi perkembangan sosial dan kultural masyarakat. Dengan demikian, filsafat menjadi sebuah sebuah self-refining, self-criticizing, dan juga sebagai proses pemenuhan diri atas tradisi kultural.
B. Tiga Aliran Pemikiran pada Awal Mula Filsafat Cina
Ketiga aliran pemikiran ini menyajikan orientasi dan arah fundamental dalam filsafat Cina. Ketiga pemikiran ini juga sudah melekat dalam pengalaman kultural orang-orang cina dan sekaligus membentuk dasar pijakan awal bagi kehidupan budaya dan intelektual orang-orang Cina. Ketiga aliran pemikiran tersebut adalah sebagai berikut:
- referensi intrinsik pada langit dan roh-roh leluhur, yang memberikan sumber arti atas kehidupan etis, sosial, dan politik orang-orang cina
- sebuah refleksi dialektis bipolar onto-cosmological yang memberikan pendasaran bagi sebuah metodologi yang secara implisit memandu dan mengkondisikan cara mempersepsi dan berpikir dalam filsafat cina
- kesadaran akan potensialitas dan kreativitas manusia, yang memberikan dasar bagi sebuah naturalisme kosmik dan sebuah humanisme intrinsik dalam formasi sekolah-sekolah awal dalam filsafat Cina, entah itu secara kolektif ataupun individual, politik ataupun moral.
C. Kebenaran Inisial, Tatanan Para Roh Leluhur dan Mandat dari Langit
Berdasarkan penemuan arkeologis, Cina Kuno itu sudah ada sebelum periode Neolitik (5000 SM) baik di sebelah timur laut dan barat laut. Pada periode tersebut, kehidupan komunits suku berpusat pada penyembahan dewa-dewa leluhur dan dewa-dewa alam. Yang dikenal pada periode ini adalah budaya Yangshao, Dawenko, Liangche, Hungsan, benda-benda yang dikeramatkan dan tempat penyembahan.
Pada masa budaya Lungshan (2600 SM-2100 SM), yakni pada saat Raja Yao dan Shun memerintah, kebudayaan Cina yang berpusat pada pengorbanan yang ditujukan bagi roh-roh alam dan nenek moyang tersebar ke daerah Henan, Shandong dan Hubei. Mereka terintegrasi dalam sebuah keadaan politis yang tersatukan, Xia. Ada juga tentang praktek li (ritual) dalam bentuk penghormatan kepada nenek moyang sejak awal sebagaimana dalamPeriod of Jade.
D. Munculnya Kebijaksanaan Integratif: Dialektika dan Kosmologi dalam Kesatuan
Berbeda dengan filsafat Yunani, filsafat Cina Kuno memandang soal perubahan dan transformasi sebagai sebuah sifat dunia yang tidak bisa direduksikan lagi, termasuk di dalamnya benda-benda dan manusia itu sendiri. Ada perbedaan yang mencolok antara Filsafat Cina dengan filsafat Barat. Filsafat Cina menekankan pada perubahan, becoming, waktu dan temporalitas, dan tidak hanya membedakan metafisika Cina tentang realitas dan alam dari trend utama tradisi filsafat Barat tetapi juga dari orientasi filsafat India.
Bagi para filsuf Cina, pengalaman akan perubahan dalam dunia justru membuat mereka masuk dalam alam dunia yang sejati dan dalam diri manusia sendiri. Di dalamnya, ada kemungkinan bagi terjadinya perkembangan, transformasi, interaksi dan integrasi.
Dalam tradisi Zhou Yi, pengalaman akan perubahan dalam alam pada masa Cina Kuno menjadi terorganisasi dan terartikulasi ke dalam sebuah sistem pemikiran dan penjelasan tentang realitas. Pengorgansiasian dan pengartikulasian ini pun tidak hanya memberikan sebuah pandangan kosmologis mengenai dunia dimana manusia dapat menemukan tempatnya yang layak dan peran yang layak, tetapi juga mengembangkan sebuah cara pemikiran menuju dunia yang berintegrasi dan the self, dan perluasan makna fakta-fakta dan penentuan nilai pemahaman. Karenanya, Zhou Yi sebagai sebuah pemikiran filsafat Cina, memberikan sebuah cara pencapaian keseimbangan, sentralitas, harmoni dan komprehensi seperti halnya dalam sebuah perkembangan transformatif, usaha kembali ke sumber akhir mereka.
Berikut ini adalah beberapa aspek penting dari Zhou Yi sebagai sebuah cara pemikiran dan juga tentang dampaknya terhadap filsafat Cina:
a. Zhou Yi berfokus pada totalitas dari realitas dan hal-hal yang mengembangkan sebuah sistem realitas yang lengkap/komplit. Kelengkapan (complitness) ini dimulai dari observasi dasar terhadap oposisi komplementer ataupun terhadap polaritas sebagai penentu keseluruhan.
b. Zhou Yi berfokus pada harmoni sebagai suatu keadaan inseptif atas kreativitas (sheng) dan pada harmonisasi sebagai the natural end state dari realitas dalam sebuah proses perubahan dan transformasi.
c. sudut pandang kosmologis ini juga memampukan kita untuk melihat dunia sebagai ceaseless activity terhadap realisasi harmoni dan pada saat yang sama sebagai suatu harmoni dalam beberapa tingkatan yang disiapkan bagi perkembangan kreativitas selanjutnya.
d. Zhou Yi ini dapat menjadi hal praktis dalam menuntun keputusan dan tindakan manusia. Salah satu tugas terpenting dari keputusan manusia dan tindakannya adalah untuk mengetahui dan menguasai masa depan. Namun yang jadi permasalahannya adalah bahwa karena masa depan itu belum terbentuk, lalu bagimana kita dapat berharap untuk bisa mengetahuinya? Zhao Yi mengatakan bahwa kita boleh menggambarkan masa depan dalam pengertian model onto-cosmological dari pemahaman yang berdasarkan pada totalitas yin-yang dan kecenderungan kreatifnya ke arah harmonisasi dan harmoni.
E. Integrasi Kreatif: Kesadaran Humanistik dan Pemahaman Naturalistik
Sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya bahwa ada dua tradisi utama dalam kebudayaan Cina Kuno, yakni tradisi li dan tradisi zhi, dimana kedua tradisi ini berakar dalam pengalaman dasar hidup dan alamiah manusia yang tidak terganggu oleh trauma pokok yang dialami manusia. Dikatakan pula bahwa lahirnya filsafat cina itu berasal dari sebuah integrasi kreatif antara tradisi afektif atas li dan tradisi intelektual atas zhi sebagai bentuk tanggapan terhadap perubahan sosial-ekonomi dan disintegrasi konsekuens atas Zhoutimur. Kelahiran tersebut berupa munculnya humanisme dan naturalisme selama abad kedelapan-kelima SM (770-476 SM, Periode Chun-Jiu).
Dikatakan pula bahwa antara humanisme konservatif Konfusius dengan naturalisme liberal Laozi ada kesamaan, yakni dalam pemahaman kosmik yang didasarkan atas cara berpkir qi-oriented dalam Zhou Yi, karena hal ini terkait dengan pemikiran bebas manusia dari tradisi tian yang dipersonalisasikan. Perbedaan antara Konfusius dan Laozi adalah pada tindakan mereka masing-masing dalam menjaga tradisi li. Konfusius tidak pernah memunculkan inovasi dengan memberikan arti baru pada istilah lama seperti junzi, li dan ren. Konfusius juga tidak menganggap penting ekonomi, sosial dan politik di masanya, dan hal ini ternyata menjelaskan kenapa filsafatnya tidak tidak dihargai oleh orang-orang yang berpengaruh di masanya.
Terkait dengan hal di atas, berikut ini akan dipaparkan tentang perbedaan penekanan antara kebangkitan humanistik dan pemahaman naturalistik dimana masing-masing mewakili tradisi Konfusius dan Laoze. Yang pertama adalah kebangkitan humanistik. Salah satu ciri khas dari kebangkitan humanistik pada periode Musim Semi-Musim Gugur adalah bahwa human agency/perantara manusia ini secara fundamental ditempatkan baik dalampeople en masse ataupun dalam pribadi seorang sebagai penguasa. Dikatakan pula bahwa seorang penguasa haruslah mempunyai keutaman untuk memerintah negara dengan baik. Kebangkitan humanistik ini memuat penemuan otonomi manusia dan kepentingan manusia itu sendiri dalam hal perhatian dan kontrol atas orang-orang oleh si penguasa, yang harus mempercayai kemampuannya sendiri dan keutamaannya dalam memelihara dan mengatur orang-orang.
Sedangkan bagi kebangkitan naturalisme, pusat dari pemahaman naturalistik adalah pengenalan akan pentingnya dan sentralitas dari faktor-faktor alami untuk menjelaskan hal-hal di dunia. Yang penting di sini adalah bahwa pengenalan alam dan dunia yang tersebar luas merupakan resultant states dan aktivitas kekuatan fundamental yang diidentifikasikan sebagai metal, kayu, air, api dan tanah. Air punya kualitas dari mengalir, api punya kualitas membaka , kayu punya kualitas tumbuh bengkok atau lurus, metal punya kualitas alteration, tanah punya kualitas pengolahan.
Naturalisme dari lima kekuatan ini terkait dengan filafasat perubahan, yakni tradisi Yi Jing. Pemahaman organic naturalistic ini juga adalah sebuah hasil dari tindakan organik dan pramatik. Hasil dari tindakan ini adalah sebuah metodologi atas observasi yang komprehensif (quan) yang memandu ke arah deskripsi yang detail dan tertata dari kejadian-kejadian alam dan pengalaman manusia dalam korelasinya.
Tradisi zhi mendesak tradisi li untuk mengembangkan ke dalam humanisme politis, sementara tradisi li menstimulasi tradisi zhi untuk mengembangkan ke dalam naturalisme organik. Dalam hal humanisme politik, manusia tidaklah terpisah dari dunia, sehingga manusia sebagai bagian dari dunia tidak terpisah dari dao, dan kekuatan alam dan proses dipandang sebagai bagian dari dao. Ketika masyarakat tampak tidak mampu untuk memenuhi aspirasi dari pikiran manusia, maka kembali ke dao dengan mentransendensi sosial dan politik menjadi konsekuensi natural dari naturalisme organik yang adalah credo dari dao. Dalam hal ini, menjadi jelas bahwa naturalisme organik itu adalah juga sebuah hasil dari integrasi kreatif atas dua tradisi kuno yang dibiaskan ke alam.
F. Pemikir-Pemikir Aksial dan Formasi Sekolah-Sekolah Filsafat
Perkembangan filsafat Cina pada periode dari tahun 475-221 SM merupakan sebuah proses kreatif dimana dua tradisi kebudayaan muncul sebagai respons atas perubahan sosial dan politik saat itu. Humanisme politis dan naturalisme organik adalah dua posisi tipikal sebagaimana lebih lanjut dikembangkan dalam konfusianisme dan Daoisme.
Mencius mengindentifikasikan persoalan sentral waktu sebagai stabilitas politis dan sosial (ding). Persepsinya dan wawasannya dalam persoalan ini adalah bahwa dunia ini akan “distabilisasikan oleh being unified” (ding-yu-yi). Persoalannya adalah bagaimana dunia ini disatukan dan ditata menurut sebuah sistem prinsip-prinsip, contohnya: tatanan Zhou atau Li.
Selain itu, dikatakan pula bahwa legalisme berkembang dari penyatuan dan perbandingan berbagai sekolah filsafat pada awal-awalnya, seperti konfusianisme, Mohisme, Daoisme. Dari konfusianisme berupa pengontrolan massa dengan otoritas dan doktrin tentang alam jahat manusia(Hsun Tzu), dari Mohisme berupa prinsip kesamaan dan utilirianisme, dari Daoisme berupa prinsip-prinsip non-aksi (wu-mei). Faktor terpenting dari pemikiran legalis adalah pertimbangan dari kebutuhan mendesak untuk pemerintahan yang tersentralisasi dan tersatukan. Selain empat sekolah tersebut, dalam periode Cina klasik juga muncul nama-nama sekolah, seperti sekolah Yin-Yang Wu-Xing, sekolah strategi Militer (Bing Jia), sekolah agronomi (Nung Jia) dan sekolah Diplomatik (Zong Heng Jia).
Sekolah-sekolah filsafat ini mengetengahkan sebuah transformasi nilai-nilai dan sebuah rekonstruksi tradisional, penciptaan standard baru ataupun paradigma baru. Karl Jaspers menyebutnya sebagai abad aksial. Para filsuf yang dikenal berpengaruh pada periode klasik sejarah cina ini adalah para pemikir aksial. Mereka menanggapi secara kritis abad mereka dan terhadap dunia waktu mereka, dan yang mengembangkan arah-arah dan visi-visi pada sebuah transformasi nilai untuk seluruh kemanusiaan. Ini adalah sebuah integrasi kreatif dari li dan tradisi zhi. Apa yang disebut kreatif dalam wawasan mereka itu ditarik dari keterlibatan eksistensial mereka dalam dunia dan kemnausiaan.
Beberapa ciri dari “pemikir aksial”:
- mereka disebut pemikir aksial apabila mereka memikirkan bagi dunia, sebuah keseluruhan masyarakat, kelas sosial, sebuah lokalitas khusus dan dirinya.
- Mereka/ia mampu untuk menancapkan pengaruhnya pada generasinya dan generasi sesudahnya dalam sebuah cara yang alami dan spontan. Tidak ada manuver politik dalam mempengaruhi masyarakat. Pengaruh tersebut muncul melalui jalur sosial dan kultural seperti: mengajar,lecturing dan percakapan atau dialog dalam sebuah lingkungan intelektual ataupun yang berbasiskan akademis.
Ada beberapa macam tanggapan kritis di antara para filosof, yang mana masing-masing mempresentasikan sebuah tindakan kritik dan evaluasi atas realitas sosial dan politik.
- tipe pertama tanggapan kritis adalah melepaskan realitas sosial dan politik dan dalam pengertian untuk mengatasi realitas sosial politik untuk sesuatu yang sungguh memang bersifat utopia
- tipe kedua adalah tanggapan konfusian atas rekonstruksi. Dalam basis pengalaman kulturalnya dan refleksi historisnya, Konfusius melihat adanya nilai yang menekankan kembali tradisi li. Konfusius juga menekankan soal eksistensi dan kekuatan ren, kekuatan dari transformasi moral atas individu manusia dalam relasinya dan transaksi dengan yang lainnya. Ren dalam filsafat Konfusius berarti kualitas yang menegaskan kemanusiaan yang mempunyai kekuatan untuk mengembangkan kemanusiaan dari pusat seorang individu ke sebuah komunitas melalui hubungan manusia yang tertata dengan baik dan atas pertemanan yang harmonis.
Konfusius mengubah political ren ke dalam suatu moral and human ren. Ada 3 point yang ditunjukkan. Yang pertama, belas kasih dan kebajikan terhadap orang-orang secara umum diperluas dengan melibatkan unsur perasaan dan tindakan pribadi individu dalam masyarakat. Yang kedua, bukanlah penguasa itu sendiri yang mampu untuk mempraktekan ren atau yang harus mempraktikannya. Semua manusia mampu mempraktekkannya dan harus mempraktekannya supaya lebih manusiawi dan dimanusiakan. Yang ketiga, ren harus dipandang sebagai kekuatan batin dari seorang pribadi manusia, yang dapat dilatihkan dan yang membutuhkan adanya perhatian yang konstan supaya dapat tumbuh ke dalam sebuah kesempurnaan.
Terkait dengan li (praktek), yi adalah esensi dari tindakan li. Dalam relasinya dengan yi, li adalah realisasi dari pemikiran akan yi. Dalam relasinya dengan ren, yi adalah objektivikasi dari ren. Dalam relasinya dengan yi, ren adalah kekuatan yi yang memotivasi. Dengan demikian,ren adalah bentuk yang paling konkret dan sempurna dari semua nilai keutamaan dan merupakan integrasi dari semua keutamaan.
Komentar
Posting Komentar
Mohon untuk tidak memasang Iklan
ADMIN