Langsung ke konten utama

EMPAT KARYA SASTRA TIONGKOK TERMASYHUR


Empat Karya Sastra Termasyhur adalah:


Kisah Tiga Negara, karya Luo Guanzhong, zaman Dinasti Ming
Batas Air, karya Shi Nai-an, zaman Dinasti Ming
Perjalanan ke Barat, karya Wu Cheng-en, zaman Dinasti Ming
Jin Ping Mei, karya Lanlin Xiaoxiaosheng, zaman Dinasti Qing
Namun kalangan pengamat sastra Tionghoa di Jepang mengemukakan versi lain bahwa Impian Paviliun Merah dari zaman Dinasti Qing jauh melebihi pamor Jin Ping Mei. Untuk ini di kemudian hari ada istilah Empat Tulisan Termasyhur (四大名著) yang menggantikan Jin Ping Mei dengan Impian Paviliun Merah.

Kisah Tiga Negara
Kata pembukaan novel Kisah Tiga Negara; Seluruh kekuatan di dunia, bersatu untuk bercerai dan bercerai untuk bersatu kembaliKisah Tiga Negara (Hanzi: 三國演義, hanyu pinyin: sānguó yǎnyì, Bahasa Inggris: Romance of the Three Kingdoms) adalah sebuah roman berlatar-belakang sejarah dari zaman Dinasti Han dan Tiga Negara. Di kalangan Tionghoa di Indonesia, kisah ini dikenal dengan nama Samkok yang merupakan dialek Hokkian dari sanguo atau tiga negara.
Sering orang salah kaprah akan perbedaan Kisah Tiga Negara atau Kisah Tiga Kerajaan mengingat terjemahan bahasa Inggris dari roman ini adalah Romance of the Three Kingdoms, namun pada sebenarnya, yang tepat adalah Kisah Tiga Negara mengingat pada klimaks roman ini, ketiga pemimpin yang bertikai; Cao Cao, Liu Bei dan Sun Quan masing-masing telah memaklumatkan diri sebagai kaisar dan mengklaim legitimasi sebagai kekaisaran yang mewarisi Dinasti Han yang telah runtuh.
Roman ini ditulis oleh Luo Guanzhong (羅貫中), seorang sastrawan dinasti Ming yang mengambil referensi dari literatur sejarah resmi mengenai Zaman Tiga Negara di Tiongkok dimulai dari penghujung Dinasti Han, pecahnya Tiongkok ke dalam tiga negara dan kemudian dipersatukan kembali di bawah Dinasti Jin. Selain dari sejarah resmi, Luo juga mengambil referensi dari cerita rakyat turun temurun yang dituturkan secara lisan di masyarakat pada masa hidupnya.
Kisah Tiga Negara adalah salah satu karya sastra klasik yang paling populer di dalam sejarah Tiongkok. Luo menuliskan roman ini dalam 120 bab yang mempunyai alur cerita bersambung dengan referensi Catatan Sejarah Tiga Negara oleh Chen Shou dan sedikit imajinasinya sendiri. Ada sekitar lebih 400 tokoh sejarah yang diceritakan di dalam Kisah Tiga Negara yang dilukiskan dengan karakter berbeda. Cao Cao, Liu Bei dan Sun Quan sama sebagai karakter pemimpin namun berbeda dalam sifat dan pemikiran. Demikian pula penasehat Zhuge Liang, Xun You, Guo Jia dan Zhou Yu masing-masing berbeda pandangan dan wataknya. Setiap karakter mempunyai watak dan sifatnya sendiri yang berbeda satu sama lain. Penggambaran perbedaan watak karakter ini menjadikan roman ini diakui sebagai salah satu wakil dari puncak perkembangan sastra Tiongkok dalam sejarah. Kisah Tiga Negara ditulis dalam bahasa klasik

Batas Air atau 108 Pendekar Liang Shan (Hanzi: 水滸傳, hanyu pinyin: shui hu zhuan; bahasa Inggris: Water Margin, All Men are Brothers, Outlaw of the Marsh, 108 Bandits of Liang Shan; bahasa Jepang: Suikoden) adalah sebuah roman terkenal dari zaman Dinasti Ming.
Roman ini menceritakan realita kehidupan para bandit yang dipimpin oleh Song Jiang melawan kebengisan pemerintah Dinasti Song. Song Jiang sendiri adalah tokoh sejarah, namun di roman tentunya ia digambarkan sesuai imajinasi sang pengarang. Bagi kaum pemerintahan, mereka disebut bandit, tetapi bagi rakyat setempat mereka disebut pahlawan, karena mereka biasa merampok kaum orang kaya yang tidak baik dan korupsi yang kemudian dibagikan kepada orang miskin dan tidak mampu. Dalam sejarahnya, ada 108 bandit pahlawan yang terkenal dan mereka bersatu mengikat janji di Ruangan Kesetiaan (bahasa Inggris: Hall of Loyalty). Markas mereka berada di Gunung Liangshanpo, yang dikelilingi oleh laut dan air sehingga sulit diserang. Mereka memiliki anggota sampai puluhan ribu.
Pengarang roman ini adalah Shi Nai-an (Hanzi: 施耐庵) dengan bantuan Luo Guanzhong. Namun sebenarnya, ada dugaan bahwa tidak ada orang bernama Shi Nai-an dan Shi Nai-an adalah nama samaran dari Luo sendiri. Namun versi lain yang lebih populer adalah Shi Nai-an menuliskan novel ini, Luo bertindak sebagai editor dan menambahkan 30 bab terakhir daripada novel ini.

Perjalanan ke Barat (Hanzi: 西遊記, hanyu pinyin: xi you ji, bahasa Inggris: Journey to The West) adalah sebuah karya sastra terkenal dari zaman Dinasti Ming. Novel ini menceritakan banyak mitologi klasik pertentangan antara baik dan buruk yang bertemakan seorang pendeta dari zaman Dinasti Tang yang mengambil kitab suci ke barat, dalam hal ini ke India. Di kalangan Tionghoa di Indonesia, novel ini dikenal dengan nama See Yu Ki yang merupakan dialek Hokkian dari Xi You Ji.
Walaupun tokoh pendeta yang digambarkan di dalam novel ini merupakan pendeta Xuanzang, namun deskripsi pendeta Tong bertolak belakang dengan karakter asli Xuanzang yang hidup di masa Dinasti Tang itu.
Novel ini selesai ditulis oleh Wu Cheng-en (Hanzi: 吳承恩) sekitar pertengahan abad ke-16 dan kemudian populer sebagai bacaan di seluruh Tiongkok dan juga adalah salah satu dari 4 karya sastra terbaik di dalam sejarah sastra Tiongkok bersama Kisah Tiga Negara, Batas Air dan Impian Paviliun Merah

Jin Ping Mei (Hanzi: 金瓶梅) adalah sebuah karya sastra terkenal dari zaman Dinasti Ming. Jin Ping Mei adalah novel pertama yang menggunakan gaya bahasa vernakular (sehari-hari) dalam penulisannya, berbeda dari novel-novel klasik lainnya yang menggunakan bahasa klasik.
Pengarang novel ini adalah sastrawan Dinasti Ming bernama Lanling Xiaoxiao Sheng (Hanzi: 蘭陵笑笑生). Mengambil tema kehidupan sehari-hari beberapa karakter yang diambil dari novel Batas Air. Seperti juga Impian Paviliun Merah, novel ini juga adalah cerminan kehidupan masyarakat di Tiongkok di zaman dulu. Yang pertama adalah di zaman Qing dan yang terakhir di zaman Ming.
Alur cerita dimulai dari sepenggal kisah di dalam Batas Air di mana Ximen Qing menggoda Pan Jinlian dan berkomplot membunuh suaminya, Wu Dalang. Cerita kemudian meneruskan menggambarkan kehidupan vulgar Ximen Qing sampai akhirnya ia dibunuh oleh Wu Song, adik Wu Dalang.
Kevulgaran alur cerita novel ini kemudian menyebabkan novel ini dianggap sebagai novel erotis dan tidak diakui sebagai novel bermutu. Namun seiring perkembangan dinamis masyarakat, novel ini mendapatkan statusnya sebagai salah satu karya sastra terbaik dalam sejarah sastra Tiongkok
sumber  duniasastra

Komentar