Langsung ke konten utama

Kaligrafi, Dari Tiongkok Hingga Arab

Kaligrafi Tiongkok
Tiongkok

Seni kaligrafi Tiongkok berasal dari gambar dan muncul sekitar tiga ribuan tahun lalu. Seluruh huruf Hanzhi memang berawal dari gambar. Hal ini dibuktikan dengan adanya penemuan tulang binatang dan batu-batu berukiran tangan di dalam goa. Hasil kesenian yang dipahat di batu, tulang, dan bambu rupanya telah dibuat oleh nenek moyang mereka dulu.
Jepang
Kaligrafi Jepang
Tiongkok-Arab
Kaligrafi Tiongkok-Arab,
Menggunakan huruf Arab dengan gaya Tiongkok
Kaligrafi Islam
Kaligrafi Islam. Foto-foto: internet
Lontar
Kaligrafi Islam yang mula-mula banyak ditulis di atas kulit atau daun lontar. Penemuan kertas di Tiongkok pada pertengahan abad ke-9 berperan cukup besar dalam perkembangan seni ini. Kertas harganya relatif murah, cukup melimpah, mudah dipotong dan dari sisi teknik pewarnaan lebih mudah daripada bahan-bahan yang dipakai sebelumnya.
Ibnu Muqla (886-940) adalah salah seorang kaligraf terbaik pada masa awal perkembangan seni kaligrafi Islam. Dia mengembangkan prinsip-prinsip geometris dalam kaligrafi Islam yang kemudian banyak digunakan oleh para kaligraf sesudahnya. Dia juga berperan mengembangkan tulisan kursif yang di kemudian hari dikenal sebagai gaya Naskhi yang banyak dipakai untuk menulis mushaf al-Quran.

Intisari, September 2011 – Salah satu hasil dari kesenian kuno yang masih populer sampai kini adalah kaligrafi (bahasa Yunani, kallos = keindahan dan graphein = tulisan). Kaligrafi adalah seni menulis indah. Seni ini dijumpai pada berbagai bentuk kebudayaan sejumlah suku bangsa di dunia.
Munculnya kaligrafi tidak berjalan bersamaan. Diperkirakan masyarakat Tiongkok sudah mengenal seni kaligrafi pada abad-abad sebelum Masehi. Ini berkembang sejajar dengan kesusastraan dan seni lukis. Di Eropa kaligrafi muncul paling belakangan, yakni pada abad ke-16 sampai ke-19. Umumnya berupa penulisan-penulisan indah untuk kitab suci atau naskah-naskah lama yang diberi hiasan gambar.
Kemajuan kaligrafi yang paling pesat terjadi dalam kebudayaan Islam. Ini terutama berkat perkembangan pelajaran agama Islam melalui kitab suci al-Qur’an. Beberapa negara yang menjadi pusat kaligrafi Islam adalah Arab, Persia, Irak, Turki, India, dan Afrika Utara. Dari negara-negara itu berhasil tercipta berbagai bentuk dan gaya tulisan kaligrafi dengan aneka jenis dan variasi. Suatu hal yang tidak pernah dijumpai dalam sistem menulis atau melukis mana pun.

Seiring perjalanan waktu, seni kaligrafi berganti menjadi tulisan. Dari satu tulisan itu bisa dibuat berbagai macam bentuk hingga ratusan seni tulisan. Kaligrafi Tiongkok umumnya berbentuk syair, puisi, pantun, kata-kata mutiara, atau pepatah yang mengandung makna kehidupan.
Umumnya lukisan kaligrafi merupakan kutipan dari syair-syair pujangga terkenal zaman Dinasti Tang. Saat itu memang kesenian dan kebudayaan Tiongkok mencapai masa puncaknya. Salah satu penyair tersohor yang banyak dirujuk adalah Li Bai.
Selama berabad-abad banyak berkembang gaya kaligrafi Tiongkok, misalnya lishu, zhuanshu, kaeshu, shingshu, dan chaoshu. Masing-masing mempunyai perbedaan, tergantung lekuk dan tarikan hurufnya.
Lishu adalah jenis kaligrafi yang hurufnya kotak-kotak, kaeshu lebih rapi, shingshu cara menulisnya lebih cepat, dan chaoshu hurufnya agak sedikit tidak beraturan. Di Indonesia penggemar dan pelukis kaligrafi Tiongkok mulai banyak. Makanya di berbagai daerah, tempat-tempat kursus kaligrafi hampir selalu dipenuhi peminat.
Budaya memang tidak mengenal batas negara. Bangsa yang berbudaya adalah bangsa yang beradab. Bangsa Indonesia, Tiongkok, dan India memiliki budaya yang sangat tua. Maka sah-sah saja jika kaligrafi Tiongkok berkembang di Indonesia.
Untuk membuat lukisan Tiongkok maupun kaligrafi, biasanya digunakan kertas Shien Tze. Sedangkan pewarnaannya menggunakan warna cat air dari Jepang dan Korea yang pada awalnya menggunakan warna-warna asli dari Tiongkok.
Kaligrafi biasanya terdiri atas dua jenis, yaitu ditulis di atas kertas dan diukir menggunakan emas murni di atas papan hitam. Emas murni yang digunakan sebagai ukiran di papan hitam ini ada dua jenis, yaitu tinta emas dan kertas emas tipis.
Hasil karya yang menggunakan kertas emas sangat indah berkilauan. Sinarnya jauh lebih terang daripada yang menggunakan tinta emas. Harga kaligrafi emas ini dipatok mengikuti harga pasaran emas.
Kaligrafi yang paling awal dibuat dengan alat tulis tradisional Tiongkok, antara lain mopit, bak, dan kertas. Dalam sejarah Tiongkok terdapat banyak kaligraf terkenal. Wang Xizhi yang hidup pada masa abad ke-4 Masehi adalah salah satu di antaranya. Di Tiongkok karya kaligrafi hasil tokoh terkemuka sering diukir di atas batu gunung atau tugu di objek wisata yang terkenal, khususnya gunung-gunung yang indah pemandangannya.

Dalam bahasa Jepang kaligrafi disebut shodo. Pengetahuan akan seni kaligrafi adalah salah satu langkah penting dalam memahami budaya Jepang. Kaligrafi dianggap sebuah kombinasi antara skill dan imajinasi seseorang yang telah belajar secara intensif penggunaan kombinasi garis-garis.
Kaligrafi Jepang berupaya untuk membawa suatu kata ke dalam kehidupan. Gaya kaligrafi Jepang sangat individualistik, berbeda dari satu orang ke orang yang lain. Karakter-karakter dalam sebuah karya seni kaligrafi hanya boleh berupa satu kali coretan. Tidak boleh ada pengulangan, penambahan atau finishing di dalam karya tersebut.
Sejarah kaligrafi Jepang berhubungan erat dengan kebudayaan Tiongkok. Kemungkinan kaligrafi dibawa ke Jepang sekitar abad ke-6, bersamaan dengan awal mulanya sistem menulis Tiongkok (kanji) masuk ke Jepang.
Di masa Heian, orang Jepang sudah menunjukkan pencapaian yang cukup luar biasa di dalam bentuk seni yang baru itu. Pelopornya antara lain pendeta Buddha, Kuukai (774 – 835), Kaisar Saga (786 – 842), dan petugas kekaisaran Tachibana no Hayanari (778 – 842).
Ada 5 script dasar di dalam kaligrafi Jepang, yakni tensho (seal style), reisho (clerical style), kaisho (block style), gyosho (semi-cursive style), dan sosho (cursive style, atau disebut ‘tulisan rumput’). Kelima style muncul sebelum akhir abad ke-4.
Kemudian orang Jepang mengembangkan karakter kana pada abad ke-8. Karakter-karakter itu melambangkan bunyi, jadi bertolak belakang dengan karakter yang dipakai sebagai ideographik (kanji). Tiga jenis kana yang dikembangkan itu adalah manyogana, hiragana, dan katakana. Di antara ketiganya. hiragana lebih berkembang ke dalam script yang indah, yang menjadi gaya kaligrafi khas Jepang sekarang.

Uniknya ada kaligrafi yang merupakan gabungan seni Tiongkok-Arab. Kaligrafi ini dibuat oleh kaligraf asal Tiongkok, Haji Noor Deen . Kaligrafi Arab yang bergaya Tiongkok ini disebut khat ash-shini.
Seniman ini belajar seni dan kaligrafi Arab pada perguruan tinggi Islam di Zhenzhou. Dia juga meneliti kebudayaan Islam di Akademi Sains Henan. Pada 1997 Haji Noor Deen meraih penghargaan dari Mesir di bidang kaligrafi dan diterima sebagai anggota perkumpulan kaligrafi Mesir (Association of Egyptian Calligraphy).
Kaligrafi dalam bahasa kita sering diasosiasikan dengan tulisan Arab. Padahal tidak semua tulisan tangan yang indah, bisa disebut dengan kaligrafi. Mungkin karena bahasa Indonesia tidak mempunyai keaksaraan yang kuat, maka tulisan indah dalam bahasa Indonesia hampir tidak ada.
Sejak ditemukan kertas sebagai media, kaligrafi berkembang pesat. Di Tiongkok misalnya, budaya menulis kaligrafi menjadi ciri khas kaum terpelajar. Begitu juga di Jepang dan Eropa. Kaligrafi mengiringi kecemerlangan ilmu pengetahuan saat itu. Dengan bermodalkan sebuah kuas dan tinta, para sarjana di Tiongkok menorehkan puisi ke selembar kertas. Catatan-catatan penting di zaman Renaissance juga ditorehkan di dalam sebuah buku.
Sayangnya, perkembangan tulis-menulis kemudian bergeser. Sejak memasuki era digital –dengan diperkenalkannya sistem operasi komputer– seolah-olah kaligrafi sudah menjadi barang jadul nan usang. Ukuran huruf yang indah dengan komposisi yang sempurna bisa ditorehkan oleh sebuah software. Kemudian hasil output-nya dicetak menggunakan printer.

Dalam bahasa Arab, kaligrafi di sebut khat (khath). Sedangkan penulisnya dinamakan khathath. Cikal bakal kaligrafi Islam muncul sebelum pra-Islam, yaitu sekitar abad ke-5 Masehi. Asalnya dari sebelah Timur Laut Arab, menyebar di Hejaz (bagian Barat Arab), selanjutnya sampai ke Mekah dan Medinah. Huruf yang digunakan adalah huruf Arab Utara.
Huruf ini terdiri atas beberapa gaya dan menjadi huruf yang digunakan dalam penulisan al-Qur’an. Huruf ini kemudian berkembang lagi dalam tiga gaya tulisan, yaitu huruf Jazm, huruf Kufah, dan huruf Arab yang dipakai di dunia Islam sekarang. Setiap huruf tersebut memiliki gaya tersendiri, seperti membulat, segitiga, meluas, miring, dan persegi.
Dari beberapa gaya huruf yang ada, berkembang pula huruf kursif. Dari sinilah Abu Ali, ahli kaligrafi tersebut, mulai memberikan aturan dasar pada sistem kaligrafi dengan rombic dot sebagai sebuah unit ukuran. Sejak itulah kaligrafi memiliki kaidah penulisan secara ilmiah.
Pada abad ke-7 sampai ke-13 tulisan kaligrafi banyak menghiasi berbagai mihrab masjid, terutama di Mekah dan Medinah, berupa ayat-ayat al-Qur’an. Namun sesungguhnya kaligrafi juga sering digunakan untuk urusan sekuler, seperti untuk surat-menyurat, perdagangan, dan penulisan manuskrip. Empat huruf utama yang dikenal dalam periode ini adalah tumar (bentuk huruf besar dan ditulis pada gulungan kulit hewan/kertas), jalil (bentuk huruf sangat besar, biasanya hanya dipakai oleh pejabat tinggi), nisf (modifikasi dari huruf jalil), dan thuluth (modifikasi dari tumar).
Gaya tulisan dari abad sebelumnya kemudian diperindah oleh pakar kaligrafi selanjutnya. Bahkan ada yang ditulis dengan cara baru, yakni dengan memotong buluh pena sehingga menghasilkan tulisan dengan dimensi baru. Perkembangan ini mulai terjadi pada abad ke-13. Pada masa ini dikenal enam gaya huruf, yakni thuluth (digunakan untuk dekorasi dalam manuskrip/inskripsi dan al-Qur’an), nashki (untuk surat-menyurat pada kertas papirus), muhaqqad (untuk al-Qur’an di Mesir, Irak, Persia), rahyani (untuk al-Qur’an di Persia), tawqi (untuk menandatangani nama dan gelar, berkembang di Turki pada abad ke-15), dan riqa (untuk surat pribadi dan buku-buku sekuler).
Pada abad ke-13 banyak ornamen kaligrafi rusak akibat perang, terlebih oleh serangan Jenghis Khan. Negara pertama yang bangkit kembali adalah Irak. Bahkan Islam, oleh penguasa Bagdad waktu itu, dijadikan sebagai agama negara. Karena itulah kemajuan seni Islam termasuk kaligrafi sangat didukung kerajaan.
Pada abad ke-15 di Mesir dan Siria, seni kaligrafi mulai digunakan pada logam, gelas, gading, tekstil, kayu, dan batu. Di India perkembangan seni kaligrafi dimulai abad ke-14. Penulisannya menggunakan macam-macam warna terutama hitam dengan emas, merah, dan biru.
Berkembangnya pengetahuan dan kebudayaan menyebabkan kegiatan berkaligrafi tidak hanya dilakukan oleh para khathath, tetapi juga oleh para pelukis. Bahkan pelukis kaligrafi tidak lagi menulis pada papirus, kertas dan dinding masjid, justru di atas kanvas dengan media cat minyak, akrilik atau media batik. Dari sinilah bermula lukisan kaligrafi populer.
Sebagai peninggalan kebudayaan Islam kaligrafi telah menyebar ke berbagai penjuru dunia, termasuk ke Indonesia. Di Indonesia lukisan kaligrafi banyak menjadi hiasan masjid dan hiasan batu nisan. Sebagai hiasan rumah, lukisan kaligrafi juga banyak disenangi, termasuk kaligrafi lukisan kaca Cirebon dan berupa bacaan zikir yang berbentuk Semar. Lukisan kaligrafi dengan motif batik pernah dikembangkan oleh pelukis Amri Yahya.

Pada hakikatnya, lukisan kaligrafi adalah ungkapan rasa religius seorang pelukis ke atas kanvas dengan bentuk huruf dan permainan warna yang mencerminkan kepribadian dan kedalaman jiwa pelukisnya. [naskah asli/Djulianto Susantio]
Lihat di Intisari edisi September, halaman 168-175.

Komentar