Jakarta–Surabaya Hanya 2,5 Jam
JAKARTA – Pesatnya pertumbuhan masyarakat kelas menengah di Indonesia membuat kebutuhan moda transportasi kian tinggi. Karena itu, proyek kereta api supercepat Jakarta–Surabaya kini menjadi rebutan antara investor Jepang dan Tiongkok.
Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menyatakan, dalam pertemuannya dengan mantan Perdana Menteri Jepang Yasuo Fukuda yang kini menjadi presiden Asosiasi Jepang Indonesia (Japinda), investor Jepang terus menyatakan komitmen untuk membangun proyek prestisius tersebut. ’’Tadi bicara investasi dan perdagangan, termasuk (proyek) kereta supercepat,’’ ujar JK setelah bertemu Fukuda di Kantor Wakil Presiden Kamis (28/5).
Jepang memang menyatakan berminat membangun kereta supercepat sejak 2008. Namun, hingga kini proyek pengembangan kereta api layaknya Shinkansen di Negeri Sakura itu masih masuk tahap studi kelayakan.
Menurut JK, dirinya mengapresiasi komitmen Jepang tersebut. Namun, saat ini pemerintah harus mengkaji ulang seiring masuknya tawaran dari investor Tiongkok yang juga ingin membangun kereta supercepat Jakarta–Surabaya. ’’Nanti kami kaji mana yang terbaik dari berbagai aspek,’’ ucapnya.
Sebagaimana diketahui, investor Tiongkok seolah menyalip investor Jepang. Mereka langsung bergerak dengan menandatangani nota kesepahaman ataumemorandum of understanding (MoU) untuk memulai kajian pembangunan kereta supercepat di sela agenda Indonesia-China Trade Investment and Economic Forum di Beijing, November 2014.
Bagaimana tanggapan Jepang? Menurut Fukuda, kompetisi merupakan hal biasa dalam bisnis apalagi untuk proyek besar semacam kereta supercepat. Karena itu, pihaknya menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah Indonesia untuk memilih investor yang dianggap terbaik. ’’Keputusan ada di tangan pemerintah Indonesia,’’ ujarnya.
Hingga saat ini, hasil studi kelayakan pengembangan kereta supercepat memang sudah disampaikan. Misalnya, soal skema rute baru. Sebelumnya, jalur yang dipilih adalah Jakarta–Cirebon–Semarang–Surabaya. Namun, rute itu diubah dengan menyertakan Bandung sehingga menjadi Jakarta–Bandung–Cirebon–Semarang–Surabaya.
Rute proyek dengan nilai investasi minimal Rp 60 triliun itu akan dimulai dari Stasiun Sudirman, Jakarta Pusat, hingga Stasiun Pasar Turi, Surabaya. Dengan kecepatan kereta maksimal 350 kilometer per jam, total jarak sekitar 750 kilometer itu akan ditempuh dalam waktu 2 jam 30 menit saja. Sebagai gambaran, dengan kereta eksekutif Argo Bromo saat ini, dibutuhkan waktu 9–10 jam untuk menempuh jarak yang sama.
JK mengakui, Jepang sebagai pelopor kereta supercepat memang memiliki reputasi hebat. Namun, Tiongkok dalam beberapa tahun terakhir juga sukses membangun jaringan kereta supercepat dengan jarak ribuan kilometer. ’’Kalau dari sisi investasi, China (Tiongkok) bisa lebih murah,’’ ucapnya.
Namun, pemerintah tidak akan serta-merta memilih investor berdasar murah atau mahalnya rencana investasi. Sebab, aspek kualitas akan tetap menjadi pertimbangan utama untuk proyek jangka panjang. ’’Prinsipnyaquality infrastructure,’’ tegasnya.
Deputi Sarana dan Prasarana Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Deddy Priatna menambahkan, jika pemerintah nanti sudah memutuskan investor yang dipilih, diperlukan waktu 2–3 tahun lagi untuk bisa memulai proyek tersebut. ’’Untuk fase awal, dimulai pembangunan rute Jakarta–Bandung dengan waktu tempuh hanya 34 menit,’’ jelasnya. (owi/c5/end)
JAKARTA – Pesatnya pertumbuhan masyarakat kelas menengah di Indonesia membuat kebutuhan moda transportasi kian tinggi. Karena itu, proyek kereta api supercepat Jakarta–Surabaya kini menjadi rebutan antara investor Jepang dan Tiongkok.
Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menyatakan, dalam pertemuannya dengan mantan Perdana Menteri Jepang Yasuo Fukuda yang kini menjadi presiden Asosiasi Jepang Indonesia (Japinda), investor Jepang terus menyatakan komitmen untuk membangun proyek prestisius tersebut. ’’Tadi bicara investasi dan perdagangan, termasuk (proyek) kereta supercepat,’’ ujar JK setelah bertemu Fukuda di Kantor Wakil Presiden Kamis (28/5).
Jepang memang menyatakan berminat membangun kereta supercepat sejak 2008. Namun, hingga kini proyek pengembangan kereta api layaknya Shinkansen di Negeri Sakura itu masih masuk tahap studi kelayakan.
Menurut JK, dirinya mengapresiasi komitmen Jepang tersebut. Namun, saat ini pemerintah harus mengkaji ulang seiring masuknya tawaran dari investor Tiongkok yang juga ingin membangun kereta supercepat Jakarta–Surabaya. ’’Nanti kami kaji mana yang terbaik dari berbagai aspek,’’ ucapnya.
Sebagaimana diketahui, investor Tiongkok seolah menyalip investor Jepang. Mereka langsung bergerak dengan menandatangani nota kesepahaman ataumemorandum of understanding (MoU) untuk memulai kajian pembangunan kereta supercepat di sela agenda Indonesia-China Trade Investment and Economic Forum di Beijing, November 2014.
Bagaimana tanggapan Jepang? Menurut Fukuda, kompetisi merupakan hal biasa dalam bisnis apalagi untuk proyek besar semacam kereta supercepat. Karena itu, pihaknya menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah Indonesia untuk memilih investor yang dianggap terbaik. ’’Keputusan ada di tangan pemerintah Indonesia,’’ ujarnya.
Hingga saat ini, hasil studi kelayakan pengembangan kereta supercepat memang sudah disampaikan. Misalnya, soal skema rute baru. Sebelumnya, jalur yang dipilih adalah Jakarta–Cirebon–Semarang–Surabaya. Namun, rute itu diubah dengan menyertakan Bandung sehingga menjadi Jakarta–Bandung–Cirebon–Semarang–Surabaya.
Rute proyek dengan nilai investasi minimal Rp 60 triliun itu akan dimulai dari Stasiun Sudirman, Jakarta Pusat, hingga Stasiun Pasar Turi, Surabaya. Dengan kecepatan kereta maksimal 350 kilometer per jam, total jarak sekitar 750 kilometer itu akan ditempuh dalam waktu 2 jam 30 menit saja. Sebagai gambaran, dengan kereta eksekutif Argo Bromo saat ini, dibutuhkan waktu 9–10 jam untuk menempuh jarak yang sama.
JK mengakui, Jepang sebagai pelopor kereta supercepat memang memiliki reputasi hebat. Namun, Tiongkok dalam beberapa tahun terakhir juga sukses membangun jaringan kereta supercepat dengan jarak ribuan kilometer. ’’Kalau dari sisi investasi, China (Tiongkok) bisa lebih murah,’’ ucapnya.
Namun, pemerintah tidak akan serta-merta memilih investor berdasar murah atau mahalnya rencana investasi. Sebab, aspek kualitas akan tetap menjadi pertimbangan utama untuk proyek jangka panjang. ’’Prinsipnyaquality infrastructure,’’ tegasnya.
Deputi Sarana dan Prasarana Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Deddy Priatna menambahkan, jika pemerintah nanti sudah memutuskan investor yang dipilih, diperlukan waktu 2–3 tahun lagi untuk bisa memulai proyek tersebut. ’’Untuk fase awal, dimulai pembangunan rute Jakarta–Bandung dengan waktu tempuh hanya 34 menit,’’ jelasnya. (owi/c5/end)
Komentar
Posting Komentar
Mohon untuk tidak memasang Iklan
ADMIN