Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2016

Liem Koen Hian

Liem Koen Hian merupakan seorang tokoh wartawan dan politik Indonesia. Ia dilahirkan di Banjarmasin pada 1897 dalam keluarga pedagang kecil Tionghoa peranakan, dan wafat di Medan, 5 November 1952. Ia tidak lulus sekolah di HCS—hanya sampai kelas 6 dari 7 kelas—karena dikeluarkan dari sekolah, sebab menantang berkelahi seorang gurunya yang berkebangsaan Belanda. Lalu ia bekerja sebagai pegawai kecil di sebuah perusahaan. Akan tetapi minatnya pada jurnalisme membuatnya beralih kerja ke sebuah harian di Balikpapan. Pada 1915 ia pindah ke Surabaya dan bekerja di harian Tjhoen Tjhioe. Pada 1917 ia menerbitkan mandblad (bulanan) Soe Liem Poo, tetapi penerbitan itu tidak bertahan lama, karena Liem kemudian pindah ke Aceh untuk berdagang. Pada akhir 1918 Liem pindah ke Padang dan menjadi pemimpin redaksi Sinar Soematra hingga 1921, ketika ia diminta untuk memimpin redaksi Pewarta Soerabaia oleh The Kian Sing. Tahun 1925, Liem mengundurkan diri dari surat kabar in

Prof. Dr. Tjan Tjoe Som

Beliau merupakan orang pertama yang memperkenalkan studi sinologi klasik dan modern di Indonesia, serta mendidik angkatan pertama dari para Sinolog pada tahun 1950-an. Karenanya beliau disebut sebagai Bapak Sinologi Indonesia. Lahir di dalam keluarga peranakan Tionghoa Jawa yang tinggal di Surakarta pada 15 Februari 1903, keluarga beliau sudah bermukim sejak 1800-an di Indonesia. Beliau masuk ke sekolah dasar dengan sistem Belanda (Hollands-Chinese School/HCS) dan MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), SMP berbahasa Belanda sebelum perang Dunia I meletus. Kemudian beliau melanjutkan pendidikan di Agemene Middlebare School (AMS) Yogyakarta dan terpaksa kembali ke Solo untuk menjalanakn pabrik milik keluarga yang hampir gulung tikar. Sejak kembali ke Surakarta, beliau mempelajari sinologi, islamologi, filsafat dan antropologi secara otodidak. Adalah Prof.Duyvendak yang mendorongnya mempelajari sinologi. Beliau menyelesaikan studinya dalam bidang Sinologi di kemudian har

Yap Thiam Hien

Seorang pembela Hak Asasi Manusia yang gigih di Indonesia ini juga merupakan tokoh yang kontroversial. Beliau pernah membela orang kiri, kanan, Kristen dan bukan. Ia juga pernah berpolemik dengan tokoh masyarakat Indonesia tentang masalah Tionghoa. Dilahirkan di Banda Aceh, pada 25 Mei 1923, beliau merupakan cucu seorang kapitan Cina pada masa colonial. Bersekolah di ELS (Europeesche Lagere School), sekolah dasar khusus untuk orang Belanda, meneruskan ke MULO Banda Aceh dan AMS A-II (setingkat SMA) di Yogyakarta. Kemudian beliau melanjutkan pendidikannya di Chineesche Kweekschool (Sekolah Guru Belanda untuk Orang Tionghoa) selesai 1934. Selesai bersekolah di sana, beliau mengajar di sekolah Hollandsch Chinese Zendings School di Cirebon, lalu di Tiong Ho Hwee Koan (THHK) – HCS dan sempat bekerja sebagai pegawai kantor asuransi Lloyd. Beliau melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum di Jakarta, tapi ditinggalkan dengan bekerja sebagai pegawai di

Go Tik Swan

Meski berdarah Tionghoa, Go Tik Swan (K.R.T. Hardjonagoro), dikenal sebagai penari, pembatik, arkeolog, dan pelestari budaya yang memiliki jati diri Jawa seutuhnya. Sejak dekade 50-an hingga tahun 2008, ia mengabdikan dirinya secara total di dunia perbatikan. Peraih anugerah Bintang Budaya Parama Dharma 2011 ini telah menciptakan 200 motif batik yang terkenal dengan trade marknya, Batik Indonesia. G o Tik Swan lahir di Desa Kratonan, Serengan, Surakarta, pada 11 Mei 1931. Keluarganya termasuk cukup disegani pada masa itu. Ayahnya, seorang pengusaha batik bernama Go Ghiam Ik, merupakan cucu dari Luitenant der Chinezen dari Boyolali sedangkan ibunya, Tjan Ging Nio, cucu Luitenant der Chinezen dari Surakarta. Dalam pergaulannya, keluarga Tionghoa terpandang ini dikenal memiliki hubungan yang dekat dengan keluarga Keraton Solo. Saat menginjak usia 7 tahun, sebagai anak dari keluarga berada, Tik Swan menempuh pendidikan dasarn

Kwee Thiam Tjing

Penulis dalam bahasa Melayu Tionghoa, lahir di Pasuruan, 9 Februari 1900. Thiam Tjing semasa hidup pernah menjadi wartawan di Pewarta Soerabaia bersama Liem Hoen Hian. Tokoh ini dikenal sebagai tokoh y ang kritis terhadap pemisahan golongan Tionghoa antara Peranakan dan Totok. Salah satu tulisannya yang kritis terhadap pemisahan golongan tersebut dimuat di Koran Pembrita Djember. Tulisan lainnya di temukan di harian Indonesia Raya. Selain menjadi wartawan, tokoh ini pernah pula menjadi serdadu sukarela dalam Stadswacht Belanda di Surabaya. Tulisannya yang sudah dibukukan yaitu Indonesia dalam Api dan Bara dan Menjadi Tjamboek Berduri, himpunan tulisan dari nama pena Thiam Tjing. Kwee Thiam Tjing meninggal pada 1974, beberapa bulan setelah peristiwa Malari.