Seorang pembela
Hak Asasi Manusia yang gigih di Indonesia ini juga merupakan tokoh yang
kontroversial. Beliau pernah membela orang kiri, kanan, Kristen dan
bukan. Ia juga pernah berpolemik dengan tokoh masyarakat Indonesia
tentang masalah Tionghoa.
Dilahirkan di Banda Aceh, pada 25 Mei 1923, beliau merupakan cucu seorang kapitan Cina pada masa colonial. Bersekolah di ELS (Europeesche Lagere School), sekolah dasar khusus untuk orang Belanda, meneruskan ke MULO Banda Aceh dan AMS A-II (setingkat SMA) di Yogyakarta. Kemudian beliau melanjutkan pendidikannya di Chineesche Kweekschool (Sekolah Guru Belanda untuk Orang Tionghoa) selesai 1934.
Selesai bersekolah di sana, beliau mengajar di sekolah Hollandsch Chinese Zendings School di Cirebon, lalu di Tiong Ho Hwee Koan (THHK) – HCS dan sempat bekerja sebagai pegawai kantor asuransi Lloyd. Beliau melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum di Jakarta, tapi ditinggalkan dengan bekerja sebagai pegawai di Balai Harta Peninggalan di Jakarta. Pada 1946 beliau melanjutkan studi di Leiden sampai mendapat gelar Meester in de Rechten yaitu Sarjana Hukum.
Selain bekerja sebagai advokat, beliau juga aktif di berbagai organisasi. Beliau merupakan salah satu pendiri Yayasan Pendidikan Gereja Indonesia pada 1950 hingga 1957, aktif di Kie Tok Kauw Hwee (Perkumpulan Kristen Tionghoa) di Jawa Barat dan juga ikut serta dalam pembentukan Baperki, sebuah organisasi massa keturunan Tionghoa yang didirikan 13 Maret 1954 di Jakarta.
Pikiran Yap yang penting yaitu mengenai masalah diskriminasi terhadap Tionghoa. Menurutnya diskriminasi terjadi karena adanya hubungan antar kelompok atau golongan yaitu golongan mayoritas dan minoritas. Masalah itu telah diwarisi sejak jaman kolonial dan diteruskan pada jaman-jaman selanjutnya. Dan selama masih ada masalah mayoritas dan minoritas, maka masalah diskriminasi Tionghoa tidak akan selesai.
Yap terkenal bersebrangan dengan tokoh Baperki yang terkenal yaitu Siauw Giok Tjhan. Yap menganggap Giok Tjhan akan membawa Baperki ke ideologi komunis yang tidak mungkin hidup di Indonesia, karena masyarakat Indonesia sebagian besar beragama Islam dan Kristen. Pertentangannya dengan Giok Tjhan membawa nya keluar dari kepengurusan Baperki.
Selain dengan Giok Tjhan, Yap juga tidak menyetujui pemikiran mengenai asimilasi total dari tokoh-tokoh Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB). Menurutnya asimilasi bisa dilakukan secara sukarela. Beliau juga menolak penggantian nama Tionghoa menjadi nama Melayu karena menurutnya penggantian nama tidak berguna bagi pembentukan bangsa yang bersatu.
Konsistensi pemikiran Yap ini merupakan dasar dari perjuangannya dalam menentang tindakan diskriminasi dan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Pada 1966 beliau mendirikan Lembaga Pembela Hak Asasi Manusia dan pada 1970, merintis Lembaga Bantuan Hukum bersama temannya Adnan Buyung Nasution.
Dilahirkan di Banda Aceh, pada 25 Mei 1923, beliau merupakan cucu seorang kapitan Cina pada masa colonial. Bersekolah di ELS (Europeesche Lagere School), sekolah dasar khusus untuk orang Belanda, meneruskan ke MULO Banda Aceh dan AMS A-II (setingkat SMA) di Yogyakarta. Kemudian beliau melanjutkan pendidikannya di Chineesche Kweekschool (Sekolah Guru Belanda untuk Orang Tionghoa) selesai 1934.
Selesai bersekolah di sana, beliau mengajar di sekolah Hollandsch Chinese Zendings School di Cirebon, lalu di Tiong Ho Hwee Koan (THHK) – HCS dan sempat bekerja sebagai pegawai kantor asuransi Lloyd. Beliau melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum di Jakarta, tapi ditinggalkan dengan bekerja sebagai pegawai di Balai Harta Peninggalan di Jakarta. Pada 1946 beliau melanjutkan studi di Leiden sampai mendapat gelar Meester in de Rechten yaitu Sarjana Hukum.
Selain bekerja sebagai advokat, beliau juga aktif di berbagai organisasi. Beliau merupakan salah satu pendiri Yayasan Pendidikan Gereja Indonesia pada 1950 hingga 1957, aktif di Kie Tok Kauw Hwee (Perkumpulan Kristen Tionghoa) di Jawa Barat dan juga ikut serta dalam pembentukan Baperki, sebuah organisasi massa keturunan Tionghoa yang didirikan 13 Maret 1954 di Jakarta.
Pikiran Yap yang penting yaitu mengenai masalah diskriminasi terhadap Tionghoa. Menurutnya diskriminasi terjadi karena adanya hubungan antar kelompok atau golongan yaitu golongan mayoritas dan minoritas. Masalah itu telah diwarisi sejak jaman kolonial dan diteruskan pada jaman-jaman selanjutnya. Dan selama masih ada masalah mayoritas dan minoritas, maka masalah diskriminasi Tionghoa tidak akan selesai.
Yap terkenal bersebrangan dengan tokoh Baperki yang terkenal yaitu Siauw Giok Tjhan. Yap menganggap Giok Tjhan akan membawa Baperki ke ideologi komunis yang tidak mungkin hidup di Indonesia, karena masyarakat Indonesia sebagian besar beragama Islam dan Kristen. Pertentangannya dengan Giok Tjhan membawa nya keluar dari kepengurusan Baperki.
Selain dengan Giok Tjhan, Yap juga tidak menyetujui pemikiran mengenai asimilasi total dari tokoh-tokoh Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB). Menurutnya asimilasi bisa dilakukan secara sukarela. Beliau juga menolak penggantian nama Tionghoa menjadi nama Melayu karena menurutnya penggantian nama tidak berguna bagi pembentukan bangsa yang bersatu.
Konsistensi pemikiran Yap ini merupakan dasar dari perjuangannya dalam menentang tindakan diskriminasi dan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Pada 1966 beliau mendirikan Lembaga Pembela Hak Asasi Manusia dan pada 1970, merintis Lembaga Bantuan Hukum bersama temannya Adnan Buyung Nasution.
Komentar
Posting Komentar
Mohon untuk tidak memasang Iklan
ADMIN