Meski berdarah Tionghoa, Go Tik Swan (K.R.T. Hardjonagoro), dikenal
sebagai penari, pembatik, arkeolog, dan pelestari budaya yang memiliki
jati diri Jawa seutuhnya. Sejak dekade 50-an hingga tahun 2008, ia
mengabdikan dirinya secara total di dunia perbatikan. Peraih anugerah
Bintang Budaya Parama Dharma 2011 ini telah menciptakan 200 motif batik
yang terkenal dengan trade marknya, Batik Indonesia.
Go Tik Swan lahir di Desa Kratonan,
Serengan, Surakarta, pada 11 Mei 1931. Keluarganya termasuk cukup
disegani pada masa itu. Ayahnya, seorang pengusaha batik bernama Go
Ghiam Ik, merupakan cucu dari Luitenant der Chinezen dari Boyolali
sedangkan ibunya, Tjan Ging Nio, cucu Luitenant der Chinezen dari
Surakarta. Dalam pergaulannya, keluarga Tionghoa terpandang ini dikenal
memiliki hubungan yang dekat dengan keluarga Keraton Solo.
Saat menginjak usia 7 tahun, sebagai anak dari keluarga berada, Tik
Swan menempuh pendidikan dasarnya di Neutrale Europesche Lagere School
(NELS) di Surakarta. Hanya warga keraton, anak-anak ningrat, pemuka
masyarakat, serta pejabat yang boleh mengenyam pendidikan di sekolah
Belanda itu.
Sementara itu, karena kedua orangtuanya sibuk berbisnis, sejak kecil
Tik Wan lebih banyak diasuh oleh Tjan Khay Sing, kakeknya dari pihak
ibu yang berprofesi sebagai pengusaha batik nomor satu di Solo. Sang
kakek memiliki empat tempat pembatikan, yakni dua di Kratonan,
sementara sisanya masing-masing terdapat di Ngapenan dan Kestalan,
dengan jumlah karyawan sekitar 1.000 orang.
Di bawah asuhan kakeknya, Tik Swan kecil amat dimanjakan, ia bebas
bermain apa saja yang disukainya. Ia juga mulai terbiasa dengan
aktivitas para pembatik. Bermain di antara para tukang cap, dengan
anak-anak yang membersihkan malam dari kain, dan mencucinya, mereka
yang membubuhkan warna coklat dari kulit pohon soga, serta para pekerja
yang tengah sibuk menulisi kain dengan canting, telah menjadi
keseharian Tik Swan saat itu.
Meski terlahir sebagai orang keturunan namun Tik Wan menunjukkan
ketertarikannya pada budaya tradisional khususnya budaya Jawa. Hal
tersebut terlihat jelas pada raut wajahnya yang begitu antusias tiap
kali mendengarkan tembang-tembang Jawa yang dilantunkan para pembatik
yang bekerja pada kakeknya, atau tatkala mendengarkan dongeng tentang
Dewi Sri dan berbagai cerita tradisional Jawa lainnya. Dari mereka
pula, ia belajar mengenal macapat, pedalangan, gending, suluk dan
antawacana (dialog) wayang, Hanacaraka dan tarian Jawa.
Ketika usianya makin bertambah, keingintahuannya pada budaya Jawa
pun kian tak terbendung. Segala sesuatu yang berbau seni tradisional
Jawa selalu menyedot perhatiannya. Kebetulan tak jauh dari kediaman
kakeknya di Coyudan, terdapat sebuah klenteng yang kerap mengadakan
pertunjukan wayang. Maka setiap ada kesempatan, Go Tik Swan hampir
tidak pernah absen untuk menonton.
Dari wayang, ia mulai tertarik mendalami tari Jawa pada putra
Pakubuwono IX yakni G.P.H. Prabuwinata yang dikenal sebagai seniman
keraton yang ahli di bidang karawitan, tari dan pedalangan. Di rumah
Prabuwinata yang letaknya berdekatan dengan kediaman kakeknya, Tik Swan
mulai berlatih gamelan dan menari. Selain pada Prabuwinata, ia juga
mendalami tari pada penari Jawa klasik yang juga merupakan tetangga sang
kakek, yakni Pangeran Hamidjojo, putra dari Pakubowono X . Tik Swan
yang sudah sejak awal terpesona pada gerakan-gerakan indah khas tarian
Jawa mulai tertarik untuk berguru pada indolog lulusan Universitas
Leiden, Belanda itu. Tak heran jika sejak kecil ia sudah dikenal
sebagai penari terbaik gaya Surakarta dari kalangan Tionghoa.
Sayangnya, ayah dan ibunya tidak menyukai kegiatan berkeseniannya.
Namun, lantaran tekadnya untuk terus menekuni kesenian Jawa sudah
sedemikian bulat, sulung dari empat bersaudara ini tak terlalu
memperdulikan sikap kedua orangtuanya.
Setelah lulus dari Neutrale Europesche Lagere School (NELS), Tik
Swan meneruskan studinya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO)
kemudian ke Voorbereiden Hoger Onderwys (VHO), keduanya berada di
Semarang. Begitu tamat dari VHO, orangtuanya mengirim Tik Swan ke
Jakarta pada tahun 1953 untuk berkuliah di Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia. Akan tetapi karena sudah terlanjur jatuh cinta pada
kebudayaan Jawa, ia lebih memilih untuk meneruskan pendidikannya di
Fakultas Sastra & Filsafat, Jurusan Sastra Jawa UI. Belajar aksara
Jawa untuk menghitung hutang, menonton wayangan dan tari-tari Jawa
membulatkan niatnya untuk memilih jurusan tersebut. "Saya diam-diam
masuk jurusan Sastra Jawa di Fakultas Sastra UI. Ketika ayah tahu,
beliau khawatir saya tidak bisa mencari nafkah yang memadai dengan
memilih bidang itu," ceritanya.
Saat orangtuanya mengetahui jurusan yang dipilihnya, segala biaya
dan fasilitas langsung ditarik. Meski demikian, Tik Swan tetap
bersikeras. Tanpa dukungan orangtua, ia tetap giat belajar. Semasa
kuliah, ia terlibat aktif pada berbagai kegiatan kemahasiswaan, seperti
menjadi anggota Senat Mahasiswa Fakultas Sastra dan ketua seksi
kebudayaan Dewan Mahasiswa UI. Ketika menimba ilmu di bangku kuliah, ada
dua orang dosen yang dianggapnya memberikan pengaruh besar padanya
yakni Profesor Dr. Tjan Tjoe Siem, seorang ahli sastra Jawa lulusan
Leiden yang berasal dari Solo dan Profesor Dr. R.M.Ng. Poerbatjaraka,
seorang otodidak yang legendaris.
Di saat yang bersamaan, minatnya untuk mendalami seni tari juga kian
tak terbendung. Di sela waktu luangnya ketika masih belajar di
Jakarta, ia sering mengunjungi rumah Prof. Poerbatjaraka untuk berlatih
tari Jawa. Sejak saat itu, ia kerap mendapat undangan untuk tampil
dalam berbagai pertunjukan. Misalnya, saat perayaan Dies Natalis
Universitas Indonesia tahun 1955. Tik Swan dan rombongannya mendapat
kehormatan untuk tampil membawakan tarian Gambir Anom di Istana Negara
Jakarta.
Dalam kesempatan itu, Go Tik Swan mulai menggunakan nama
Indonesianya, Hardjonagoro. Nama tersebut tak muncul begitu saja namun
ada latar belakangnya. Kakek buyutnya yang bernama Tjan Sie Ing dahulu
menjabat sebagai Luitenant der Chinezen van Soerakarta dan merupakan
orang pertama yang mendapat pacht (hak sewa) atas pasar yang paling
besar di Surakarta, yaitu Pasar Hardjonagoro.
Presiden Soekarno yang saat itu hadir tak urung dibuat terkesan
dengan tarian Hardjonagoro, terlebih saat itu boleh dikatakan belum ada
keturunan Tionghoa yang tertarik untuk menari Jawa. Begitu mengetahui
bahwa keluarganya sudah turun-temurun menjadi pengusaha batik, Bung
Karno kemudian menyarankannya untuk menciptakan batik yang tidak
beridentitas lokal seperti batik Yogya, Solo, Pekalongan, Lasem,
melainkan Batik Indonesia. Mendapat dorongan dari orang nomor satu di
masa itu, tak ayal membuat semangatnya tergugah. Pada tahun 1955, ia
pulang ke kampung halamannya untuk mendalami segala sesuatu tentang
batik, termasuk sejarah dan falsafahnya. Kuliahnya di Fakultas Sastra
UI yang baru sampai tingkat tiga pun ditinggalkan demi menapaki karir
barunya sebagai seniman batik.
Kedekatannya dengan keluarga Keraton Solo memungkinkannya belajar
langsung dari ibunda Susuhunan Paku Buwana XII yang memiliki pola-pola
batik pusaka. Pola batik langka yang tadinya tidak dikenal umum maupun
pola tradisional lainnya digali dan dikembangkan tanpa menghilangkan
ciri khasnya. Agar terlihat lebih menarik, pola-pola tadi diberi
sentuhan baru dengan warna-warna cerah seperti merah darah, pink, kuning
dan hijau, bukan hanya coklat soga, biru nila, hitam, dan putih
kekuningan seperti yang lazim dijumpai pada batik Solo-Yogya.
Ia mengaku mendapat inspirasi menciptakan batik dengan warna-warna
cerah dari Ibu Soed, pencipta lagu Indonesia yang juga dikenal piawai
dalam seni batik. Selain banyak memberi saran berharga karena seleranya
bagus dalam memadukan warna, sosok Ibu Soed juga membantu Go Tik Swan
dalam memasarkan hasil karyanya.
Bukan hanya soal warna, Tik Swan juga mengembangkan motif-motif baru
pada batiknya, namun tetap bermakna. Dari hasil pengembangan pola
tersebut, lahirlah Batik Indonesia. Batik dengan warna dan motif baru
hasil eksplorasinya antara lain Parang Bima Kurda, Sawunggaling, Kukila
Peksa Wani, Rengga Puspita dan Pisan Bali. Selain itu, ia mengembangkan
batik yang tetap dalam nuansa batik klasik keraton, seperti Tumurun
Sri Narendra, Slobog, dan Truntum.
Desain batik gubahannya banyak diminati kaum perempuan kalangan
atas, seperti Gusti Putri Mangkunegoro VII, putri keraton yang selera
busananya berkiblat pada trend busana Jakarta. Menurut tokoh batik
lainnya, yakni Iwan Tirta, daya cipta Go Tik Swan berdampak sama seperti
sensasi karya Yves Saint Laurent di Paris tahun 1970 yang sukses
mengadaptasi pakaian petani Rusia menjadi gaun pesta yang anggun
mempesona.
Inovasi yang dilakukan Go Tik Swan mengantarkan batik pada masa jaya
di tahun 1960-1970. Bahkan pada sebuah pameran di tahun 1953, Presiden
Soekarno, sebagai orang pertama yang memberinya motivasi berjanji akan
membeli apa saja yang dibuat Go Tik Swan. Undangan untuk tampil sebagai
pembicara tentang batik di mancanegara pun mulai berdatangan di sela
rutinitasnya melakukan berbagai penelitian di bidang kebudayaan, serta
menggelar pameran.
Tak hanya menciptakan batik dengan warna dan motif indah yang akan
mempercantik penampilan pemakainya, Go Tik Swan juga menjadikan batik
ciptaannya sebagai wadah untuk menyalurkan aspirasi. Batik Kembang
Bangah yang berarti bunga yang berbau busuk, diciptakan Go Tik Swan
sebagai ungkapan protes terhadap pemerintah yang tidak memihak rakyat
tetapi memihak kaum kapitalis. Motif ini sering kali disinggung ketika
ceramah atau menulis tentang batik. Ternyata kreasinya itu mendapat
banyak penghargaan sehingga ia bangga dengan pola kembang bangah itu.
Di era Soekarno, tiap kali ada tamu negara, Go Tik Swan kerap
mendapat tugas sebagai anggota Panitia Negara Urusan Penerima Kepala
Negara Asing yang bertanggung-jawab menyelenggarakan pameran batik di
Istana Negara termasuk mendesain batik untuk cinderamata para tamu.
Setelah Soekarno meninggal, Go Tik Swan sempat kehilangan gairah
merancang batik. Ia bahkan merasa tersisih, tidak dihargai dan jerih
payahnya sia-sia.
Sepanjang karirnya dari tahun 1950an hingga 2008, Go Tik Swan telah
menciptakan sekitar 200 motif batik Indonesia, bahkan diantaranya
banyak yang menjadi koleksi museum-museum di Eropa, Amerika, Australia,
serta para kolektor batik. Tak jarang ia juga mendapat pesanan dari
para tokoh nasional salah satunya adalah Presiden Megawati
Soekarnoputri. Motif batik yang secara khusus dipersembahkannya untuk
putri kedua Bung Karno itu diberi nama Parang Megakusumo. Selain Mega,
ada sejumlah nama lain seperti Fauzi Bowo dan Harmoko yang menjadi
pengagum batik karya Go Tik Swan.
Selain sebagai penari dan pengusaha batik, ia juga dikenal sebagai
seorang kolektor benda purbakala seperti naskah sastra kuno, buku yang
ditulis tangan para pujangga, arca-arca kuno, bahkan keris. Ia juga
mendirikan tempat pembuatan keris di Yogyakarta dengan bantuan The Ford
Foundation dari AS serta membidani kelahiran hampir semua tempat
pembuatan keris di Jawa dan Bali.
Di samping itu, pada tahun 1959, Go Tik Swan bersama K.G.P.H.
Hadiwijaya mendirikan paguyuban pecinta keris dengan nama Bawarasa
Tosan Aji (BTA). Kegiatan utama BTA adalah mengadakan perbincangan atau
sarasehan tentang tosan aji yang dilakukan satu bulan sekali. Selain
itu juga diadakan pameran dan ceramah. Bahasa pengantar yang digunakan
adalah bahasa Jawa baik ngoko maupun krama. Sementara untuk materi yang
dibahas antara lain ilmu tosan aji (krisologi), lingkungan atau
pusat-pusat pembuatan dan penyebarannya, jenis, kegunaan dan
kedudukannya, kecuali masalah jual beli. BTA memang tidak melarang
anggotanya melakukan jual beli tetapi hendaknya secara wajar.
Kedekatan keluarganya terutama kakek dan neneknya di Solo dengan
keluarga Pakubuwana sangat mempengaruhi Go Tik Swan. Kesetiaannya
mengabdi pada keraton Kasunanan sangat tinggi. Berbagai upaya terus
dilakukannya demi melestarikan budaya warisan keraton, antara lain
dengan memprakarsai berdirinya Art Gallery Karaton Surakarta. Berkat
perhatiannya yang amat mendalam pada seni dan budaya Jawa, Sri Sultan
Pakubuwono XI menganugerahkan Go Tik Swan pangkat Bupati Anom bergelar
Raden Tumenggung (R.T) Hardjonagoro. Pemberian gelar tersebut dilakukan
bertepatan pada saat perayaan Jumenengan (kenaikan tahta), 11
September 1972.
Selanjutnya di tahun 1984, pangkatnya dinaikkan setingkat lebih
tinggi, menjadi Bupati Sepuh, dengan gelar Kangjeng Raden Tumenggung
(K.R.T.). Sepuluh tahun kemudian, pangkatnya kembali dinaikkan menjadi
Bupati Riyo Nginggil dengan gelar Kangjeng Raden Hariyo Tumenggung
(K.R.H.T.). Pada 1998, ia mendapat gelar pangerannya yaitu Kangjeng
Pangeran Tumenggung (K.P.T.) yang kemudian disusul dengan gelar keduanya
yakni sebagai Kangjeng Pangeran Aryo (K.P.A.) di tahun 2001.
Gelar dan pangkat yang diberikan oleh keraton menunjukkan bahwa
derajat pengabdiannya sangat tinggi. Hampir dalam setiap upacara
keraton, Go Tik Swan Hardjonagoro selalu berperan penting, misal
upacara Jumenengan, Kirab Pusaka, Garebeg Mulud. Ia hampir selalu
berperan sebagai pengatur laku. Demikian juga apabila keraton menerima
tamu penting, ia selalu menjadi juru bicara atau pemandu. Yang tak kalah
penting adalah peranannya ketika membangun kembali keraton yang hancur
akibat terbakar. Ketika Pakubuwana XII wafat, Go Tik Swan mengakhiri
pengabdiannya. Tetapi oleh Pakubuwana XIII tetap dianggap sebagai salah
satu sesepuh keraton dan pada tahun 2005 diberi gelar tertinggi
sebagai Panembahan Hardjonagoro.
Kegiatan lain Go Tik Swan semasa hidupnya adalah mengabdi di Museum
Radyapustaka, Surakarta, sebagai direktur. Saat diserahi tanggung jawab
untuk mengelola museum tersebut, ia merasa sangat prihatin dengan
potongan-potongan batu (andesit) patung purbakala yang berserakan di
mana-mana. Hal ini mendorongnya untuk melakukan perburuan di sela-sela
kesibukannya menciptakan beragam motif batik. Setiap kali mendengar di
suatu tempat ada batu kuno, ia akan datang dan membawanya pulang.
Potongan-potongan tersebut dipelajari dan dibentuk kembali sehingga
menghasilkan bentuk sebuah patung, diantaranya patung Syiwa, Nandi,
Kuwera, Durga, Makara, Avalokiteswara dan lain-lain.
Patung-patung yang dikumpulkan hampir semua istimewa baik dari segi
bentuk, estetika, nilai historis maupun makna simbolis yang
dikandungnya. Tahun 1965, perburuan terpaksa dihentikan karena alasan
politis dan keamanan. Dalam mengoleksi patung tersebut, ia tidak
bermaksud untuk memiliki tetapi untuk memelihara dan mengamankan. Pada
11 Agustus 1985 sebanyak 40 patung klasik yang berhasil diselamatkannya
diserahterimakan kepada Direktur Jenderal (Dirjen) Kebudayaan dan
Direktur Perlindungan dan Pembinaaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala.
Pada masa kepemimpinanannya, museum Radyapustaka juga menghadapi
berbagai masalah. Seperti yang terjadi pada tahun 1971, saat pihak
museum digugat ahli waris Wirjadiningrat yang mempermasalahkan tanah
dan bangunan yang digunakan. Buntutnya, setelah melalui sidang
berkali-kali, Yayasan Radyapustaka harus memberikan ganti rugi kepada
penggugat. Lima tahun setelah kasus tersebut, museum harus menghadapi
persoalan baru saat pemerintah memutuskan untuk menghentikan
subsidinya.
Di tengah beragam masalah itu, Tik Swan terus berupaya agar museum
tetap hidup dan berfungsi. Sejumlah kegiatan pun diselenggarakannya,
antara lain menggalang kerja sama dengan Cornell University dalam
pembuatan micro film buku-buku koleksi museum, pameran antar museum
internasional di luar negeri, menerbitkan buku Abdulkamit Herucakra
Kalifatullah Rasulullah di Jawa 1787-1855 dan Urip-urip tulisan Soewito
Santosa dalam rangka memperingati seabad Museum Radyapustaka di tahun
1990. Hingga pada akhirnya, ia merasa tidak dapat bekerja secara aktif
lagi, Go Tik Swan pun menyerahkan tampuk kepemimpinan Radyapustaka
kepada Suhadi (K.R.H.T. Darmadipura).
Go Tik Swan menghembuskan nafas terakhirnya pada usia 77 tahun pada 5
November 2008. Rekam jejaknya baik sebagai penari, pembatik, pelestari
budaya dan warisan nenek moyang menampilkan sosoknya sebagai seorang
Tionghoa yang dibesarkan dalam lingkungan Jawa yang amat menyadari
adanya keharusan untuk mencari dan membangun jati diri Jawa pada
dirinya untuk bekal hidup di tengah-tengah komunitas dan masyarakat,
tanpa harus mengingkari ketionghoaannya.
Kentalnya darah Jawa yang mengalir dalam dirinya bisa dilihat dari
kediaman sekaligus pusat kegiatannya sejak tahun 1950-an yang berlokasi
di Kratonan 101 atau sekarang Yos Sudarso 176. Di rumah itu, selain
berfungsi sebagai tempat tinggal juga ada beberapa bangunan lain, mulai
dari perpustakaan, ruang untuk berlatih gamelan, bangsal untuk
display/pameran batik, bangunan los untuk membatik, untuk besalen keris,
serta gudang penyimpanan barang-barang antik.
Atas jasa-jasanya sebagai budayawan dan pembatik, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono memberikan penghargaan sebagai putra terbaik dengan
tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma yang diterima ahli
warisnya KRAr Hardjo Suwarno dan istrinya, Supiyah Anggriyani pada
tahun 2011.
Tanda kehormatan itu membuat keduanya semakin termotivasi untuk
menggali dan menghidupkan kembali motif-motif batik Indonesia ciptaan
Go Tik Swan. Keduanya mengungkapkan rasa terima kasih yang sangat
mendalam kepada pemerintah atas pengakuan dan penghargaan terhadap Go
Tik Swan yang telah mengabdikan hidupnya untuk pengembangan budaya.
”Keinginan kami selaku ahli waris adalah menjunjung tinggi
nilai-nilai kehidupan yang diajarkan oleh beliau panembahan KRT
Hardjonagoro, diantaranya tentang kesederhanaan dan kesabaran, nrimo
ing pandum, mikul dhuwur mendhem jero, serta terus menghidupkan
karya-karya beliau agar bisa dinikmati masyarakat,” jelas Suwarno.
Komentar
Posting Komentar
Mohon untuk tidak memasang Iklan
ADMIN