Dalam banyak kesempatan, saat ini semakin banyak orang menggunakan busana resmi
peranakan pada berbagai event. Tidak hanya reuni, arisan, wisuda,
kumpul-kumpul atau bahkan ke acara yang sifatnya lebih resmi seperti ke
undangan kawinan. Walaupun batik, karena alasan praktis selalu menjadi
pilihan utama, tetapi penggunaan kebaya peranakan saat ini semakin marak
dijumpai. Warna warni yang cerah, dihiasi dengan bordiran aneka bunga
yang cantik atau aneka binatang (burung, merak, ikan, kupu-kupu, dan
lain-lain) yang dipadu dengan kecantikan kain batik peranakan dari
berbagai daerah seperti batik Pekalongan, Lasem, Cirebon, dan sebagainya
membawa pesona tersendiri bagi wanita yang memakainya. Tak peduli
berapa umur penggunanya, keelokan kebaya peranakan yang disesuaikan
dengan usia penggunanya, selalu memikat dan layak dikagumi.
Pada kesempatan-kesempatan resmi seperti ini, para pria umumnya
memilih untuk menggunakan batik. Dengan lengan panjang atau lengan
pendek, batik memang merupakan pilihan yang praktis dan cantik.
Namun apakah sebetulnya busana “resmi” pria peranakan? Tidak banyak
orang yang mengetahui, bahwa busana resmi pria peranakan adalah Tui-Khim. Dibawa pada saat merantau, baju tui-khim
adalah baju dengan bukaan di tengah dengan 5 kancing yang umumnya
dipadukan dengan celana komprang. Untuk kesempatan yang lebih resmi
digunakan thng-sa (jubah panjang). Dalam film Ip Man 3, Donnie Yen menggunakan tui kim ataupun thng-sa dalam versi yang lebih “modern”.
Menurut pengamat budaya Tionghoa peranakan, David Kwa, seperti dikutip Pradaningrum Mijarto dalam “Tui-Khim dan Celana Komprang Berganti Jas dan Pantalon,” di kalangan warga Betawi, tui-khim juga dipakai dan dikenal dengan sebutan baju tikim.
“Baju ini seperti baju koko, bukaan di tengah dengan lima kancing.
Dapat digunakan dengan celana batik. Untuk acara khusus dikenal thng-sa (baju panjang), sepanjang mata kaki. Hingga awal abad ke-20 pria Tionghoa di Indonesia masih menggunakan kostum tui-khim dan celana komprang (longgar) untuk sehari-hari,” kata David Kwa.
Selanjutnya David Kwa menuturkan bahwa sejak berdirinya Tiong Hoa Hwe
Koan (THHK) atau Perhimpunan Tionghoa – perhimpunan modern pertama di
Hindia Belanda pada 1900; kemudian runtuhnya Dinasti Cheng (Mancu) pada
1911; serta makin banyaknya pria Tionghoa yang diperbolehkan menggunakan
pakaian Belanda setelah mengajukan gelijkstelling (persamaan hak dengan warga Eropa), baju tui-khim, celana komprang, dan thng-sa
mulai ditanggalkan oleh orang-orang Tionghoa sendiri dan berganti
dengan pakaian gaya Eropa atau Belanda, kemeja, pantalon, dan jas buka
serta jas tutup.
Model baju koko adalah salah satu model baju nusantara yang merupakan akulturasi dari baju Tui khim. Bagaimana ceritanya tui-khim menjadi baju koko? Menurut Remy Sylado, karena yang memakai tui-khim itu engkoh-engkoh –sebutan umum bagi lelaki Tionghoa – maka baju ini pun disebut baju engkoh-engkoh. Dieja bahasa Indonesia sekarang menjadi baju koko.
Namun bukan hanya model baju koko yang berakulturasi dengan model baju
pria Nusantara. Salah satunya adalah Teluk Belanga yang merupakan
pakaian adat tertinggi dalam susunan adat Melayu Kepulauan Riau.
Akulturasi tui-khuim tidak hanya mempengaruhi baju-baju adat pria Nusantara saja, tetapi berakulturasi dengan pengaruh pakaian barat di Indonesia.
Komentar
Posting Komentar
Mohon untuk tidak memasang Iklan
ADMIN