Agama Budha di Jakarta berkembang dengan baik, di antara kegiatan yang dilakukan bhikku antara lain: membantu pendirian Jawa Buddhist Association (perhimpunan agama Budha pertama) di Bogor dan Jakarta; menjalin kerjasama dengan bhikshu-bhikshu (hwesio) dari beberapa klenteng di Jakarta seperti Kim Tek Ie, Kwan Im Tong, Toeng Sam Tong dan lain-lain.
Di Jakarta perintis bangkitnya agama Budha adalah Kwee Tek Hoay, seorang direktur dan redaktur kepala majalah Moestika Dharma. Pada tanggal 3 Mei 1958 dibentuk Perhimpunan Buddhis Indonesia (Perbudi) berkedudukan di Semarang, tetapi sejak tahun 1965 dipindahkan ke Jakarta. Sejak tahun 1870 organisasi tersebut berubah menjadi PERBUDHI sebagai gabungan dan PERBUDI, PUDI, GPBI (Gerakan Pemuda Budhis Indonesia) dan Wanita Buddhis Indonesia. Pada tahun 1969 untuk pertama kalinya mahasiswa Buddhis di Jakarta mengadakan Upacara, Asadha di Gandhi Memorial School, Jakarta. Kemudian di tahun 1971 terbentuk keluarga Mahasiswa Buddhis Jakarta (KMBJ).
Pada 28 Mei 1972 dicetuskan ikrar persatuan dan kesatuan dari tujuh organisasi menjadi satu organisasi tunggal dengan nama Buddha Dharma Indonesia (BUDHI) denga ketua Suraji Ariakertawijaya dan sebuah majelis bernama Majelis Buddha Dharma Indonesia. Atas prakarsa Dirjen Bimas Hindu dan Budha tahun 1974 terbentuk Sangha Agung Indonesia (SAl). Pada tanggal 23 Juli 1975 Ibu Tien Soeharto meresmikan Arya Dwipa Arama di TMII dan menyerahkan penggunaanya kepada umat Buddha Indonesia yang diterima oleh Suraji Ariakertawijaya. Kemudian tanggal 11 Oktober 1976 terbentuk Majelis Agung Buddha Indonesia (MABI) sebagai forum konsultasi dari Majelis Agama Budha yang ada, yaitu MUABI, MAPANBUMI, Majelis Budha Dharma Indonesia, GTI, Majelis Kasogatan, Nichiren Shochu, dan PTITD.
Bagi golongan agama Budha tempat-tempat ibadah mereka dinamakan Vihara (Wihara), kemudian dalam bentuk yang lebih kecil disebut dengan Caita (Caitya). Adapun pemakaian istilah candi, seperti Candi Borobudur, berupa stupa besar mendapat pengaruh Hindu dimana bangunan rumah ibadat atau Dewa Laja itu biasanya berbentuk monumental yang disebut juga candi (temple). Di Jakarta terdapat cukup banyak Vihara dan Caitya yang digunakan untuk beribadat dan melaksanakan peringatan hari raya Budha. Sebagai gambaran di tahun 1971 jumlah tempat ibadat masyarakat Budha di Jakarta, sebagai berikut: Jakarta Selatan terdiri dari 32 buah Vihara, 1 buah rumah ibadat, dan 1 buah caitya; Jakarta Timur terdiri dari 2 buah vihara dan 1 buah caitya; Jakarta Utara ada 5 buah vihara; dan Jakarta Barat ada 9 buah vihara.
Komentar
Posting Komentar
Mohon untuk tidak memasang Iklan
ADMIN