Langsung ke konten utama

FILSAFAT CINA


A.    Periodisasi Filsafat Cina
            Pada perkembangan melewati rentan waktu panjang yang dilalui Filsafat di Cina, disini Filsafat Cina dapat dikategorikan ke dalam empat periode besar :
1.      Jaman Klasik (600-200 S.M)
            Menurut tradisi, periode ini ditandai oleh seratus sekolah filsafat:seratus aliran yang semuanya mempunyai ajaran yang berbeda. Namun, kelihatan juga sejumlah konsep yang dipentingkan secara umum, misalnya tao (jalan), te(keutamaan atau seni hidup), yen (perikemanusiaan), i (keadilan), t’ien (surga) danyin-yang (harmoni kedua prinsip induk, prinsip aktif-laki-laki dan prinsip pasif-perempuan). Sekolah-sekolah terpenting dalam jaman klasik adalah:
a)      Konfusianisme
            Konfusius (bentuk Latin dari nama Kong-Fu-Tse, (guru dari suku Kung) hidup antara 551 dan 497 S.M. Ia mengajar bahwa Tao (“jalan” sebagai prinsip utama dari kenyataan) adalah “jalan manusia”. Artinya: manusia sendirilah yang dapat menjadikan Tao luhur dan mulia, kalau ia hidup dengan baik. Keutamaan merupakan jalan yang dibutuhkan. Kebaikan hidup dapat dicapai melalui perikemanusiaan (yen), yang merupakan model untuk semua orang. Secara hakiki semua orang sama walaupun tindakan mereka berbeda.[1]
            Confusianisme dielopori oleh K’ung Fu Tzu (551-479 SM), lahir di Shantung. Ia mengatakan, bahwa hendaknya raja tetap raja, hamba tetap hamba, ayah tetap ayah, anak tetap anak. Sistem kekerabatan harus didasarkan padasyian , yaitu suatu perasaan keterikatan terhadap orang-orang yang menurunkannya. Aspek inilah yang menjadikan budaya Tiongkok tetap diwariskan.[2]
            Menurut ajaran  Kong Fu Tze. Tao adalah sesuatu kekuatan yang mengatur segala-galanya dalam alam semesta ini, sehingga tercapai keselarasan. Masyarakat manusia adalah bagian dari alam semesta ini, maka tata cara hidup manusia diatur oleh Tao. Oleh karena itu, sesorang harus menyesuaikan diri dengan Tao, agar dalam kehidupan bermasyarakat terdapat keselarasan dan keseimbangan. Penganut aliran in percaya bahwa segala bencana yang terjadi di atas permukaan bumi ini karena manusia menyalahi aturan Tao. Selama 24 abad, ajaran Kong Fu Tze dianggap oleh bangsa Cina sebagai pegangan hidup, baik bagi rakyat maupun bagi rajanya. Bahkan sampai sekarang ajaran Kong Fu Tze sangat besar pengaruhnya terhadapa cara berfikir dan sikap hidup sebagian besar orang Cina.[3]
b)       Taoisme
            Taoisme diajarkan oleh Lao Tse (guru tua) yang hidup sekitar 550 S.M. Lao Tse melawan Konfusius. Menurut Lao Tse, bukan “jalan manusia” melainkan “jalan alam”-lah yang merupakan Tao. Tao menurut Lao Tse adalah prinsip kenyataan objektif, substansi abadi yang bersifat tunggal, mutlak dan tak-ternamai. Ajaran Lao Tse lebih-lebih metafisika, sedangkan ajaran Konfusius lebih-lebih etika. Puncak metafisika Taoisme adalah kesadaran bahwa kita tidak tahu apa-apa tentang Tao. Kesadaran ini juga dipentingkan di India (ajaran netina-itu: tidak begitu) dan dalam filsafat Barat (di mana kesadaran ini disebut docta ignorantia, “ketidaktahuan yang berilmu”).[4]
            Semua orang yang mengikuti Tao harus melepas semua usaha. Tujuan tertinggi adalah meloloskan diri dari khayalan keinginana dengan renungan secara gaib.Pemikirannya, orang hendaknya memberikan kasih sayangnya tidak hanya sebatas pada para anggota saja, tetapi harus pada seluruh anggota keluarga yang lain. Peperangan dan upacara ritual dengan pengeluaran biaya yang tinggi yang akan merugikan rakyat merupakan suatu yang bertentangan dengan dasar kecintaan manusia sehingga harus dicela. Kalau kita sayang kepada orang lain, orang lain akan sayang kepada kita, dan kita tidak perlu takut akan kejahatan orang lain.[5]
            Ajaran Lao Tze tercantum dalam bukunya yang berjudul Tao Te Ching. Lao Tze percaya bahwa ada semangat keadilan dan kesejahteraan yang kekal dan abadi, yaitu bernama Tao. Taoisme mengajarkan orag supaya menerima nasib. Menurut ajaran ini, suka dan duka, bahagia dan bencana adalah sama saja. Oleh karena itu, orang yang menganut Taoisme dapat memikul suatu penderitaan dengan hati yang tidak bergoncang meski bagaimanapun.[6]Semua perbuatan manusia harus sesuai dengan Tao itu, selalu menurut saja, bahkan tidak berbuat (wu-wei). Dalam perkembangan selanjutnya Taoisme berubah sifatnya menjadi magi belaka. Nama-nama yang terpenting adalah Chuang Tze dan Lio Tze.[7]
c)      Yin-Yang
            “Yin” dan “Yang” adalah dua prinsip induk dari seluruh kenyataan. Yin itu bersifat pasif, prinsip ketenangan, surga, bulan, air dan perempuan, simbol untuk kematian dan untuk yang dingin. Yang itu prinsip aktif, prinsip gerak, bumi, matahari, api, dan laki-laki, simbol untuk hidup dan untuk yang panas. Segala sesuatu dalam kenyataan kita merupakan sintesis harmonis dari derajat Yin tertentu dan derajat Yang tertentu.
d)      Moisme
            Aliran Moisme didirikan oleh Mo Tse, antara 500-400 S.M. Mo Tse mengajarkan bahwa yang terpenting adalah “cinta universal”, kemakmuran untuk semua orang, dan perjuangan bersama-sama untuk memusnahkan kejahatan. Filsafat Moisme sangat pragmatis, langsung terarah kepada yang berguna. Segala sesuatu yang tidak berguna dianggap jahat. Bahwa perang itu jahat serta menghambat kemakmuran umum tidak sukar untuk dimengerti. Tetapi Mo Tse juga melawan musik sebagai sesuatu yang tidak berguna.[8]
            Mo Tze mengajarkan “cinta kepada sesama manusia yang universal” sebagai dasar filsafatnya (chien ai). “Universal love” ini tak hanya menguntungkan bagi yang dicintai tetapi yang mencintai, jadi timbal-balik. Inilah dasar dari “utilitarisme” Mo Tze dan perbedaannya yang terbesar dengan filsafat Confucius.[9]
e)      Ming Chia/Dialektisi (kira-kira 370 SM)
            Ming Chia atau “sekolah nama-nama”, menyibukkan diri dengan analisis istilah-istilah dan perkataan-perkataan. Ming Chia, yang juga disebut “sekolah dialektik”, dapat dibandingkan dengan aliran sofisme dalam filsafat Yunani. Ajaran mereka penting sebagai analisis dan kritik yang mempertajam perhatian untuk pemakaian bahasa yang tepat, dan yang memperkembangkan logika dan tatabahasa. Selain itu dalam Ming Chia juga terdapat khayalan tentang hal-hal seperti eksistensi, relativitas, kausalitas, ruang dan waktu.[10]
            Meng Tze (372-280) adalah seorang murid Kong Fu Tze yang melanjutkan ajaran gurunya. Dalam mengajarkan ajarannya, Meng Tze bertentangan dengan Kong Fu Tze. Meng Tze tidak memberikan pelajaran kepada kaum bangsawan, tetapi memberikan pengetahuan kepada rakyat jelata. Menurutnya rakyatlah yang terpenting dalam suatu negara begitu pula apabila raja bertindak sewenang-wenang trhadapa rakyat, maka tugas para mentri untuk memperingatkannya. Apabila raja mengabakan peringatan-peringatan itu para mentri wajib menurunkan raja dari tahtanya.[11]Kung-su-Lung, Hui Ship. Perhatian besar untuk teori-teori pengetahuan, dengan kegemaran untuk membuat paradoks-paradoks, seperti terdapat pada Zeno.[12]

f)       Fa Chia (mazhab hukum)
            Fa Chia atau “sekolah hukum”, cukup berbeda dari semua aliran klasik lain. Sekolah hukum tidak berpikir tentang manusia, surga atau dunia, melainkan tentang soal-soal praktis dan politik. Fa Chia mengajarkan bahwa kekuasaan politik tidak harus mulai dari contoh baik yang diberikan oleh kaisar atau pembesar-pembesar lain, melainkan dari suatu sistem undang-undang yang keras sekali. Tokoh yang terkenal adalah Han Fei Tzu dan Li Sse.[13]
            Buku-buku yang terkenal adalah Chang Tze dan Han Fei Tze (kira-kira 395 SM), hukumlah yang merupakan asas persatuan suatu negara, seluruh kekuasaan harus dipusatkan di tangan raja, rakyat harus tetap miskin dan lemah, ketakutan akan pidana membawa orang ke kebajikan, oarang-orang jahat harus menguasai orang-orang baik, diktator yang amoral.[14]
            Tentang keenam sekolah klasik tersebut, kadang-kadang dikatakan bahwa mereka berasal dari keenam golongan dalam masyarakat Cina. Berturut-turut: (1) kaum ilmuwan, (2) rahib-rahib, (3) okultisme (dari ahli-ahli magi), (4) kasta ksatria, (5) para pendebat, dan (6) ahli-ahli politik.
2. Jaman Neo-Taoisme dan Buddhisme (200 S.M.-1000 M.)
            Bersama dengan perkembangan Buddhisme di Cina, konsep Tao mendapat arti baru. Tao sekarang dibandingkan dengan “Nirwana” dari ajaran Buddha, yaitu “transendensi di seberang segala nama dan konsep”, “di seberang adanya”.[15]
            Budhisme memasuki Tiongkok pada permulaan abad ke-1. Pengaruhnya besar sampai pada akhir abad ke-10. Beberapa nama yang terkenal adalah Chi-Tsang (549-632 M), Chih-K’ai (538-597 M), Shen Hsiu (600-700 M) dan lain-lain.[16]
3. Jaman Neo-Konfusianisme (1000-1900)
            Dari tahun 1000 M. Konfusianisme klasik kembali menjadi ajaran filsafat terpenting. Buddhisme ternyata memuat unsur-unsur yang bertentangan dengan corak berpikir Cina. Kepentingan dunia ini, kepentingan hidup berkeluarga dan kemakmuran material, yang merupakan nilai-nilai tradisional di Cina, sema sekali dilalaikan, bahkan disangkal dalam Buddhisme, sehingga ajaran ini oleh orang dianggap sebagai sesuatu yang sama sekali asing.
4. Jaman Modern (setelah 1900)
            Sejarah modern mulai di Cina sekitar tahun 1900. Pada permulaaan abad  kedua puluh pengaruh filsafat Barat cukup besar. Banyak tulisan pemikir-pemikir Barat diterjemahkan ke dalam bahasa Cina. Aliran filsafat yang terpopuler adalah pragmatisme, jenis filsafat yang lahir di Amerika Serikat. Setelah pengaruh Barat ini mulailah suatu reaksi, kecenderungan kembali ke tradisi pribumi. Terutama sejak 1950, filsafat Cina dikuasai pemikiran Marx, Lenin dan Mao Tse Tung.
            Inilah sejarah perkembangan filsafat China, yang merupakan filsafat Timur. Yang termasuk kepada filsafat Barat misalnya filsafat Yunani, filsafat Helenisme, “filsafat Kristiani”, filsafat Islam, filsafat jaman renaissance, jaman modern dan masa kini.[17]
B.     Ciri-ciri Filsafat Cina
            Pertama-tama karena masalah politik dan pemerintahan merupakan masalah sehari-hari yang tidak dapat dihindarkan, maka filsafat Cina berkecendrungan mengutamakan pemikiran praktis berkenaan masalah dan kehidupan sehari-hari. Dengan perkataan lain ia cenderung mengarahkan dirinya pada persoalan-persoalan dunia.
            Para ahli sejarah pemikiran mengemukakan beberapa ciri yang muncul akibat kecenderungan tersebut, Pertama, dalam pemikiran kebanyakan orang Cina antara teori dan pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan. Dengan demikian pemikiran spekulatif kurang mendapat tempat dalam tradisi filsafat Cina, sebab filsafat justru lahir karena adanya berbagai persoalan yang muncul dari kehidupan yang aktual.
            Kedua, secara umum filsafat Cina bertolak dari semacam ‘humanisme’. Tekanannya pada persoalannya kemanusiaan melebihi filsafat Yunani dan India. Manusia dan perilakunya dalam masyarakat dan peristiwa-peristiwa kemanusiaan menjadi perhatian utama sebagian besar filosof Cina.
            Ketiga, dalam pemikiran filosof Cina etika dan spiritualitas (masalah keruhanian) menyatu secara padu. Etika dianggap sebagai intipati kehidupan manusia dan sekaligus tujuan hidupnya. Di lain hal konsep keruhanian diungkapkan melalui perkembangan jiwa seseorang yang menjunjung tinggi etika. Artinya spiritualitas seseorang dinilai melalui moral dan etikanya dalam kehidupan sosial, kenegaraan dan politik. Sedangkan inti etika dan kehidupan sosial ialah kesalehan dan kearifan.
            Keempat, meskipun menekankan pada persoalan manusia sebagai makhluk sosial, persoalan yang bersangkut paut dengan pribadi atau individualitas tidak dikesampingkan. Namun demikian secara umum filsafat Cina dapat diartikan sebagaoi ‘Seni hidup bermasyarakat secara bijak dan cerdas’. Kesetaraan, persamaan dan kesederajatan manusia mendapat perhatian besar. Menurut para filosof Cina keselerasan dalam kehidupan sosial hanya bisa dicapai dengan menjunjung tinggi persamaan, kesetaraan dan kesederajatan itu.
            Kelima, filsafat Cina secara umum mengajarkan sikap optimistis dan demokratis. Filosof Cina pada umumnya yakin bahwa manusia dapat mengatasi persoalan-persoalan hidupnya dengan menata dirinya melalui berbagai kebijakan praktis serta menghargai kemanusiaan. Sikap demokratis membuat bangsa Cina toleran terhadap pemikiran yang anekaragam dan tidak cenderung memandang sesuatu secara hitam putih.
            Keenam, agama dipandang tidak terlalu penting dibanding kebijakan berfilsafat. Mereka menganjurkan masyarakat mengurangi pemborosan dalam penyelenggaraan upacara keagamaan atau penghormatan pada leluhur.
            Ketujuh, penghormatan terhadap kemanusiaan dan individu tampak dalam filsafat hukum dan politik. Pribadi dianggap lebih tinggi nilainya dibanding aturan-aturan formal yang abstrak dari hukum, undang-undang dan etika. Dalam memandang sesuatu tidak berdasarkan mutlak benar dan mutlak salah, jadi berpedoman pada relativisme nilai-nilai.
            Kedelapan, dilihat dari sudut pandang intelektual, Para filosof Cina berhasil membangun etos masyarakat Cina seperti mencintai belajar dan mendorong orang gemar melakukan penelitian mendalam atas segala sesuatu sebelum memecahkan dan melakukan sesuatu. Demikianlah pengetahuan dan integritas pribadi merupakan tekanan utama filsafat Cina. Aliran pemikiran, teori dan metodologi apa saja hanya bisa mencapai sasaran apabila dilaksanakan oleh seseorang yang memiliki pengetahuan luas dan integratitas pribadi yang kokoh.[18]

C.    Perbedaan antara Filsafat Timur (Tiongkok) dan Filsafat Barat
a)      Filsafat Timur (Tiongkok)
1.      Etika merupakan pusatnya.
2.      Tingkah laku dan sikap manusia terhadap dunia sekitar merupakan kesatuan yang selaras dan seimbang, sebagai mikro kosmos dan makro kosmos.Manusia harus menyesuaikan diri dengan kodrat alam, sehingga harus harmoni hubungan manusia dengan dunia .
b)      Filsafat Barat
1.      Rasio merupakan pusatnya
2.      Ontologi, yaitu ilmu tentang sebab sebab yang pertama menduduki tempat sentral.
3.      Manusia menempatkan diri berhadapan dengan objek yang dipelajari, sehinga manusia berpikir dengan pertanyaan, seperti apa sebab terjadi peristiwa itu?. Bagaimana peristiwa itu?. Dari mana datangnya?, dll.[19]Filsafat Barat menanyakan hubungan sebab-akibat, mencari mengapa dan bagaimana objek yang diselidiki secara objektif.[20]

D.    Kepercayaan Masyarakat Cina/tionghoa Dahulu.
            Mengakui adanya Tuhan Surga (Tien), Allah (Ti), dan Shang Ti, Tuhan Yang Mahatinggi yang mengatasi segala roh-roh (Shen). Magi (shu-shu) dan astrologi. Arwah-arwah prang mati akan hidup terus asal diberikan korban-korban.[21]
            Sebelum Kung Fu Tze dan Meng Tze mengajarkan ajarannya, bangsa Cina percaya terhadap para dewa. Mereka memuja dan menganggap dewa-dewa memiliki kekuatan alam. Menurut kepercayaan bangsa Cina, dunia digambarkan sebagai segi empat dan diatasnya ditutupi oleh langit yang trdiri dari 9 lapisan. Ditengah-tengah dunia yang trbentuk segi empat teretak T’ien-hsia, sebuah daerah yang didiami oleh bangsa Cina. Daerah T’ien-hsia merupakan daerah yang didiami oleh bangsa-bangsa yang biadab. Diluar daerah bangsa-bangsa biadab terdapat daerah kosong dan menjadi tempat tinggal hantu-hantu dan Dewi Pa, yang menguasai musim kemarau.
            Dewa-dewa yang menerima pemujaan  tinggi adalah:
o   Feng-pa (dewa angin)
o   Lei-Shih (dewa angin taufan dan digambarkan sebagai naga besar),
o   T’ai-Shah atau dewa yang menguasai bukit suci,
o   Ho-Po, tiap-tiap tahun diberi sesajen yang dijalankan oleh pendeta-pendeta perempuan dengan mempersembahkan gadis jelita sebagai istrinya. Gadis itu harus tercantik di seluruh cina dan sesudah dirias, ia disuruh terjun ke dalam arus sungai Hwang-Ho yang deras itu.[22]

            Pengetahuan mereka masih bercorak kudus (sacral, sacred), “ pemberian” dari Thian (langit) dan bukan obyektif-empirik, hasil ikhtiar manusia secara sistematik. Cara berfikir pada umumnya masih berdasarkan firasat dan renungan, belum kritik analitik. [23]Akar atau sumber alam pikiran rakyat Tiongkok adalah Taoisme dan Confuscianisme. Taoisme adalah pandangan hidup yang menitik-beratkan pada hal-hal yang sifatnya naturalistik yang berada dalam diri manusia. Selain itu, Conficianisme adalah suatu pandangan hidup yang menitikberatkan pada organisasi sosial dan menekankan kepada tanggunga jawab manusia terhadap masyarakat. [24]
            Di negeri Cina pendidikan itu terikat dengan ajaran Khong Hu Chu, dengan kepercayaan bahwa ada lima indera dan lima pengaruh bintang serta lima warna, begitu pula ada lima keutamaan, yaitu keadilan, kedisiplinan, hikmah, kejujuran dan kebaikan.[25]

Komentar