Bagian khusus (wijk) di Batavia yang ditempati orang-orang Cina. Orang Cina dulu tinggal di kampung berkumpul dengan penduduk asli. Namun dengan adanya Wijken-Stelsel (Staatblad 1919 No. 180), mengharuskan pendatang untuk berkumpul menjadi satu dengan sesama bangsanya. Maka, muncullah Kampung Cina atau Pecinan. Di Pecinan, pengaturan daerah secara admistratif dilakukan oleh sebuah Dewan Tionghoa (Kong Koan) yang beranggotakan kapitein dan letnan. Hanya tiga kota besar yaitu Batavia, Semarang, dan Surabaya yang memiliki Mayor Tionghoa dan mengetuai Kong Koan, yang hanya berwenang menyelesaikan perkara kecil di antara orang Tionghoa tapi atas nama pemerintah Hindia Belanda dan tetap harus menyerahkan perkara besar kepada pemerintah.
Sejarah orang Pecinan di Batavia, dapat ditarik mundur jauh sebelumnya, lima bulan setelah berkuasa, Jan Pieterszoon Coen mengangkat Souw Beng Kong (11 Oktober 1619) sebagai kapiten (administratur) penduduk Tionghoa di Batavia. Bencon, begitu kompeni (VOC) menyebutnya, saudagar besar Banten yang atas bujukan Coen bersama ratusan anak buahnya kemudian hijrah ke Batavia. Untuk mereka, Coen membangun perkampungan di muara Kali Ciliwung. Ia memegang jabatan sampai 1645. Ia digantikan Phoa Beng Gam, 'sang insinyur air' (1645-1663). Kapiten Phoa inilah pada 1648, yang meluruskan Ciliwung yang sebelumnya berkelok-kelok dan berbelok-belok. Hasil karyanya sampai kini masih terlihat dari sungai Ciliwung yang kiri kanannya diapit Jalan Hayam Wuruk dan Jalan Gajah Mada yang tidak lagi berkelok-kelok hingga muara.
Saat Ni Hoe jadi kapiten (1736-1743), timbul pemberontakan yang amat hebat di Batavia, yang berpusat di Glodok. Pemberontakan Cina ini memang dapat ditumpas VOC. Tapi harus dibayar mahal. Sekitar 5 ribu sampai 10 ribu Tionghoa yang tidak mau kehormatannya dibecek-becek VOC mati ketika mengadakan perlawanan. Konon, kala itu mayat-mayat bergelimpangan di Glodok, seperti korban tsunami di Aceh. Ketika orang Tionghoa semakin banyak di Batavia, Belanda mengangkat seorang mayor, yang membawahi kapiten dan leman. Khouw Kim An adalah mayor Cina terakhir. Karena sejak masa pendudukan Jepang (1942-1945) jabatan ini dihapuskan. Sampai awal 1990-an masih kita jumpai bekas kediaman Khouw di Jalan Gajah Mada, sekitar 100 meter dan pusat perdagangan Glodok. Tapi kini, rumah tersebut tertutup oleh pencakar langit yang dibangun Modern Group. Di Jakarta, peninggalan sejarah selalu dikalahkan oleh kepentingan ekonomi dan orang berduit. Keluarga Khouw sebagai layaknya Mayor Cina, mempunyai gedung-gedung di dekat tempat kediamannya.
Para kapiten dan mayor Cina itu, yang mengawasi masyarakatnya hidup laksana raja-raja Mandarin. Mereka jadi perantara dalam menerima uang pajak seperti jalinan rambut panjang, pajak kuku panjang (sebagai tanda orang yang santai), sumbangan pembangunan jalan, jembatan, dan kanal. Di samping memungut pajak dari suhian tempat pelacuran dan perjudian. Belanda sendiri heran terhadap kemajuan mereka, mengingat di Batavia mereka punya rumah sakit sendiri sama besamya dengan rumah sakit yang dibangun Belanda. Memiliki sekolah-sekalab yang lebih baik dari milik Belanda dan dalam jumlah yang lebih besar. Di samping rumah penampungan orang miskin, dan tentu saja kuil-kuil, balai-balai pertemuan, teater, restoran, dan rumah-rumah perjudian serta bordil.
Komentar
Posting Komentar
Mohon untuk tidak memasang Iklan
ADMIN