Langsung ke konten utama

SEJARAH REPUBLIK RAKYAT CINA 1

SEJARAH RRT (1949 – . . . .)
Bagian I
Membenahi Pemerintahan (1949-1953)
      RRT yang dikuasai oleh Partai Komunis Tiongkok (PKT) memusatkan perhatiannya untuk pertama-tama mempertahankan perdamaian dan kesejahteraan rakyatnya (setelah bertahun-tahun mengalami peperangan saudara dan kesengsaraan) dalam masyarakat tanpa kekacauan politik, ekonomi maupun sosial. Para pemimpin PKT berpendapat bahwa rakyat seluruh Tiongkok harus dikendalikan dan diawasi dengan indoktrinasi ideologi Marxisme Leninisme sambil memberi harapan untuk tumbuhnya hari depan yang gemilang dan kehidupan yang sejahtera.
      Sebenarnya para pemimpin itu pada tahun 1930-an sudah membentuk negara dan pemerintahan ketika masih berperang gerilya melawan pasukan KMT dan baru menguasai Tiongkok Timur-Laut dalam perjuangannya menuju Tiongkok Selatan untuk merebut Beijing. Pada waktu itu kekuasaan MZD dalam masalah ideologi dan strategi sudah sangat kokoh dan perintahnya tidak bisa dibantah lagi (terutama setelah Hijrah Akbar -HA). Para pemimpin PKT bekerjasama sebagai satu tim yang kokoh membahas kebijakan negara dalam badan yang paling berkuasa selama RRT berdiri, yaitu Panitia Tetap Biro Politik Komite Pusat PKT (PANTAP-BIRPOL- KOMPUS PKT). Tokoh-tokoh pimpinan negara terdiri dari para komandan Tentara Merah di lapangan yang tangguh dan berpengalaman seperti Peng Dehuai (PDH), Lin Biao (LB) Nie Rongzhen, Chen Yi, Zhou Enlai (ZEL), Liu Shaoqi (LSQ) dan Deng Xiaoping (DXP). Mereka sudah mengabdi PKT sejak jaman gerilya di Yan’an dan merasakan pahit-getirnya perjuangan bersama MZD selama beberapa tahun melawan KMT dan kemudian juga pasukan Jepang. Pada masa itu para pemimpin tsb merupakan kelompok kecil yang kompak, walaupun dalam perjalanan sejarah PKT kelak timbul sengketa sewaktu-waktu yang kemudian menjadi perseteruan yang tidak bisa didamaikan lagi.
Membenahi lembaga-lembaga pemerintahan dan Ekonomi
Untuk menjalankan pemerintahan, PKT mengerahkan semua potensi dari bermacam-macam kalangan dengan membentuk semacam “Front Persatuan masyarakat Demokratik” pada tahun 1949. Pada tahun itu juga dibentuk Majelis Permusyawaratan Politik Rakyat Tiongkok (MPPRT) yang berfungsi sebagai badan legislatif tertinggi sementara, sebelum Majelis Rakyat Nasional (MRN) yang definitive terbentuk. Para anggota MPPRT) terdiri dari anggota PKT maupun yang bukan anggota PKT. Sidang-sidang paripurna MPPRT menjalankan fungsi dan kekuasaan legislatif tertinggi negara (tetapi di bawah PKT). Sidang paripurna MPPRT yang pertama telah membuat dan menentukan:
Tiga “Carta Agung” yaitu
(1) Program Umum (Pengganti UUD yang baru akan ibuat tahun 1954), UU Organik MPPRT, dan                                                     UU Organik Pemerintah Rakyat Pusat.
(2) Lagu Kebangsaan RRT dan
(3) Ibukota RRT yaitu Beijing.
Sidang paripurna memilih MZD sebagai “ketua” (julukan lain untuk presiden RRT) dan Zhude serta lima orang lainnya sebagai wakil “Ketua” Pemerintah Rakyat Pusat (lembaga eksekutif tertinggi).
Dalam sidang paripurna kedua MPPRT pada tanggal 25 Des. 1954 menyerahkan fungsi dan kekuasaan legislatif tertingginya kepada Majelis Rakyat nasional – MRN (atau MPR di Indonesia) yang baru terbentuk. Sidang juga memutuskan bahwa Program Umum diganti dg UUD dan MPPRT akhirnya hanya berfungsi sebagai semacam organisasi rakyat (ormas) saja. Pada waktu itu masih banyak jabatan penting yang dipegang oleh orang-orang yang bukan anggota PKT.
Membenahi Birokrasi (Pemerintahan)
        Pada tahun-tahun pertama para pemimpin RRT beranggapan bahwa untuk pemulihan ekonomi yang sudah porak poranda, diperlukan tiga tahun untuk menggalang semua potensi rakyat sebelum bisa mngubah sistem kemasyarakatannya menjadi masyarakat yang sosialis. Supaya tidak ada kekosongan dalam tenaga pemerintahan maka tindakan pertama-tama pimpinan PKT membiarkan mantan pegawai pemerintah KMT memegang administrasi pemerintahan dan mendapat gaji seperti sebelumnya. PKT belum memiliki cukup banyak tenaga birokrasi untuk menjalankan seluruh pemerintahan negara dari pusat sampai daerah-daerah yang paling terpencil. Jumlah mantan pegawai KMT ada sekitar dua juta sedang PKT baru bisa menyediakan ¾ juta orang pegawai saja.
Membenahi ekonomi negara

 Tindakan berikutnya adalah mengendalikan inflasi dgn pelbagai cara:
 (1) mengambil alih seluruh sistem perbankan untuk menguasai asetnya
 (2) membentuk usaha-usaha dagang untuk setiap komoditas utama agar dapat mengendalikan
      arus serta penyediaan dan distribusi barang
(3) membayar para pegawai negara dg bahan makanan dan kebutuhan pokok (in natura), agar para pegawai pemerintah tidak tergantung lagi pada fluktuasi (naik-turunnya) harga barang-barang keperluan sehari-hari. Mereka mendapat bahan pangan dan pakaian menurut kebutuhan masing-masing. Dg demikian inflasi yang sudah mencapai tingkat yang tidak masuk akal ketika KMT berkuasa itu, bisa ditekan menjadi tinggal 15% saja.
            Namun celakanya, baru setahun setelah RRT diproklamasikan, RRT harus membantu tetangganya (Korea Utara – KORUT- yang juga komunis), berperang melawan AS dan Sekutunya. Pada bulan Oktober 1950, menjelang musim dingin, RRT mengirim 2,3 juta pasukan TPR termasuk 2/3 bagian dari AD, artileri dan kavalerinya (tank-tanknya) ke perbatasan RRT dan KORUT. Ketika akhirnya tercapai gencatan senjata antara KORUT dan AS pada tahun 1953, pasukan RRT sudah kehilangan ratusan ribu prajurit, baik karena perang maupun karena cuaca musim dingin yang sangat kejam di wilayah itu. RRT juga harus menanggung sendiri biaya perang yang sangat mahal sehingga menguras sumber kekayaan negara. RRT tidak bisa mengandalkan KORUT untuk memikul biaya perang karena KORUT sendiri masih melarat sekali.
            Namun demikian peperangan itu sangat berfaedah secara moral dan ideologi, untuk menggalang seluruh rakyat RRT demi persatuan dan dukungan kepada pemerintah RRT yang baru berdiri itu dg “menciptakan” musuh yang “mengancam” negara yaitu AS. Seluruh penduduk RRT dapat dikendalikan dg mudah seperti ketika PKT bergerilya melawan KMT maupun Jepang pada tahun 1930-an.
            Pada tahun 1950-an, rakyat Tiongkok memuji-muji pemerintahnya dan percaya sekali akan kemampuan PKT memimpin negara serta pasukan TPR. Lagipula rakyat menyaksikan bahwa TPR itu sangat sopan, berdisiplin dan sangat membantu rakyat, berbeda sekali dg pasukan KMT yang pada tahun-tahun terakhir pemerintahannya sangat korup, suka menjarah kekayaan rakyat dan memperkosa rakyat Tiongkok sendiri. Mereka sekarang sangat senang dan bangga terhadap pemerintah RRT yang telah berhasil mengendalikan inflasi dan menghapus hak-hak istimewa negara-negara asing. Pemerintah RRT juga berhasil mmembasmi penyalahgunaan candu dan membrantas korupsi pada umumnya, serta mengajak penduduk melakukan kegiatan kemasyarakatan seperti memperbaiki jalan-jalan, jembatan, salurann irigasi dan infrastruktur lainnya. TPR juga membantu membrantas buta aksara dan mengendalikan penyakit, seta bergaul akrab dengan rakyat jelata.
 Pembersihan sisa-sisa aparat (birokrasi) pemerintahan KMT.
         Setelah merasa mapan, pemerintah RRT secara ideologis mulai membersihkan aparat pemerintahannya. Yg menjadi sasaran pertama-tama adalah mantan pegawai pemerintah KMT yang dipekerjakan sejak 1949 karena kebutuhan darurat. Mereka menjadi sasaran apa yang disebut “Gerakan Anti-Tiga” yaitu:
(1)   Gerakan melawan pemborosan
(2)    korupsi
(3)    birokratisme.
Gerakan itu dilancarkan dari bulan Desember 1951 hingga Juni 1952. Pada tgl 1 Januari 1952 MZD menganjurkan agar seluruh rakyat melancarkan gerakan ini secara besar-besaran di kalangan yang lebih luas lagi, antara lain thd aparat pemerintahan pada umumnya, industri, dan aparat di dalam PKT sendiri. Banyak sekali kader (pemimpin) PKT yang menjadi sasaran karena mereka ternyata juga terlibat korupsi dan pemborosan di mana-mana. Akibatnya terjadilah kekacauan dan kebingungan di kalangan PKT maupun pemerintahan pada semua tingkat.Dalam situasi yang kacau balau ini, PKT lalu melancarkan apa yang disebut "Gerakan Anti Lima". Gagsan ini mula-mula dilontarkan oleh Bo Yibo, Menteri Keuangan pada tanggal 9 Januari 1952. Kelima “Anti” tersebut dilancarkan untuk melawan:
1)      suap kaum kapitalis terhadap para pegawai pemerintah
2)      menghindari pajak
3)       pencurian harta-kekayaan milik negara
4)      penipuan kontrak dengan pemerintah
5)      mencuri info dari sumber pemerintah.
        Ketika “Gerakan “Lima Anti” itu dilancarkan semua perusahaan milik swasta pribadi diambil alih oleh pemerintah. Aset perusahaan-perusahaan itu diperkirakan mencapai 2,2 milyar USD. Kemudian gerakan ini digabungkan dengan gerakan “Anti Tiga” dan merupakan salah satu dari kampanye utama selama pembenahan ekonomi Tiongkok. Banyak orang yang tersingkirkan dalam suasana yang mencekam ini walaupun masih banyak juga yang dibiarkan bekerja di pemerintahan mapun perusahaan (negara).

Membenahi pedesaan.
Pembenahan itu terutama sekali berupa gerakan pengkolektifan (jitihua) semua kegiatan, maupun kepemilikan. Membenahi pedesaan termasuk penduduk, kehidupannya, kepemilikan tanah nya, pertaniannya. Upaya para pemimpin RRT pertama-tama adalah pengkolektifan pertanian (nongyeh jitiha), meneruskan upaya pengaturan kembali kepemilikan tanah (tudigaigeatau landreform). Tudigaige sebenarnya sudah dilakukan ketika PKT melakukan perang gerlya melawan KMT pada tahun 1930-an yaitu ketika PKT/TM merampas tanah para tuan tanah dan membagi-bagikannya kepada petani yang tidak memiliki tanah. Tudigaige telah menumbuhkan ekonomi pertanian, yaitu memberi tanah kepada buruh-tani (gunong) yang tidak punya tanah samasekali tetapi mendapat nafkahnya dari bekerja di pertanian untuk orang lain; petani miskin (pinnong) dan petani menengah (zhongnong) dengan menyediakan sarana dasar untuk bertani, yaitu lahan pertanian, sandang dan pangan yang cukup utk keluarganya hidup layak. Dg demikian pemerintah PKT mendapat dukungan masyarakat luas karena para petani merupakan sekitar 85% dari seluruh penduduk RRT. Usaha pertanian kolektif dilakukan selangkah demi selangkah. Pertama-tama pada bulan Desember 1953 dibentuk apa yang disebut “kelompok saling bantu” (huzhuzu) di antara para petani. Satu kelompok terdiri dari tiga atau empat rumah tangga. Para anggota kelompok saling bantu bekerja bersama-sama mengerjakan sawah ladangnya dengan cara bergantian mulai dari mengolah tanah, menanam bibit memelihara tanamannya sampai panen. Semua keluarga dengan seluruh anggotanya yang masih kuat, bekerja bersama-sama dalam satu kelompok itu secara bergiliran. Pemilik sawah atau ladang yang mendapat giliran lahannya dikerjakan harus menyediakan makan bagi semua orang yang ikut bekerja. Cara itu dilakukan berapa kali sehingga lahan ketiga atau keempat keluarga mendapat giliran semuanya.
            Setelah “Kelompok Saling bantu”dianggap bisa berjalan dengan baik, maka pada tahap berikutnya dibentuk oleh PKT, Koprasi Produksi Pertanian tingkat pertama (Chuyi Nongyeh Shengchan Hezuoshe) Pada tingkat ini, para petani diminta untuk mengumpulkan lahan pertaniannya dan alat-alat pertanian mereka, lalu setelah dikumpulkan, seluruhnya dikerjakan bersama-sama oleh seluruh anggota koperasi. Pada tahap ini para tuan tanah (dizhu) dan petani kaya (funong) masih dibiarkan memiliki tanah walaupun sudah sangat berkurang luasnya karena sebagian besar sudah dibagi-bagikan kepada petani yang tidak mempunyai tanah samasekali ketika tuigaige baru dilaksanakan. Sampai awal 1950 tanah masih bisa diperjualbelikan dengan bebas. Tetapi tidak lama kemudian pemerintah melaksanakan tahap ketiga yaitu Koperasi Produksi pertnian tingkat Tinggi (gaoji nongyeh shengchan hezuoshe) Pada tahap ini pertanian sudah benar-benar bersifat kolektif (jitihua). Mereka bekerja untuk mendapat upah tidak peduli berapa besar harta kekayaan yang dimilikinya (tanah, alat pertanian, hewan dll) untuk diikutsertakan ke dalam koperasi tingkat tinggi. Jadi sebenarnya tanah yang baru saja diperoleh para petani miskin ketika dilakukan tudigaige, sekarang sudah harus diserahkan kembali bahkan ditambah alat-alat dan ternak mereka. Pada hakikatnya mereka belum lama mereka menikmati miliknya. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau di sana-sini ada yang mengeluh dan menggerutu karena tidak senang. Namun sekalipun Koperasi tingkat tinggi mendapat banyak perlawanan dari para petani sendiri, akhirnya dengan desakan dan pengawasan para (ganbu)kader desa PKT, upaya pengkolektifan pertanian bisa dilaksanakan (dg paksa) pada tahun 1956.
Luas sebuah Koperasi Tingkat tiggi kurang lebih sama dengan luas sebuah desa. Pada tahun 1958-1678 unit-unit itu disebut “tim produksi” (shengchandui) yang merupakan lapisan paling bawah dari unit adiministrasi pedesaan. Di atasnya ada apa yang disebut “tim produksi besar” (Shengchan dadui) Akhirnya “Tim besar produksi digabungkan ke dalam apa yang disebut “komune Rakyat atau Renmin gongshe”.
Dengan demikian sejak RRT berdiri, negara telah menyusup masuk kedalam kehidupan keluarga yang sekarang telah menjadi bagian dari Koperasi tingkat Tinggi Pada hakikatnya para petani tidak lagi memiliki tanah atau harta kekayaan lain, tidak dapat menyewa tanah atau menggunakan tanah sendiri maupun menikmati hasil jerih payah tenaganya sendiri.
Kemudian setiap individu diberi “status kelas masyarakat”, (chengfen) dan wajib ikut serta dalam pekerjaan (produksi), rapat-rapat, dan semua kegiatan kolektif yang merupakan andalan hidupnya, artinya mereka semua, masing-masing tergantung pada segala macam organisasi dan kegiatan yang diatur oleh pemerintah melalui para kader partai (PKT) di pedesaan. Akhirnya PKT berhasil menguasai seluruh penduduk RRT.
            Akibat lain dari kekuasaan PKT yang telah menyusup ke mana-mana dan ikut-campur dalam segala urusan pribadi serta kehidupan sehari-hari penduduk (petani), tumbuhlah sebuah kelompok elit baru yang terdiri dari para kader pedesaan PKC menggantikan kaum shenshi jaman dulu (ketika KMT berkuasa). Melihat kesempatan yang diberikan PKT, para kader partai yang masih sangat muda-muda itu sangat berambisi dan bernafsu meniti karier di dalam struktur kekuasaan di pedesaan. Mereka menjalin hubungan dan menggunakan “koneksi” (guanxi) yaitu hubungan dengan para penguasa di pemerintahan maupun di PKT dengan cara menjilat atau menyuap. Kaum elit pedesaan ini makin lama makin jauh dari penduduk pedesaan dan mulai menyalahgunakan dana umum dan kekuasaan (korupsi)
Di permukaan, kolektifisasi pertanian tampak sukses dan oleh karena itu dipuji-puji oleh pemimpin negara sebagai langkah yang tepat menuju ekonomi kerakyatan yang menguntungkan penduduk pedesaan. Pada hakikatnya langkah tersebut merupakan upaya negara untuk ikut-campur dan masuk kedalam rumah tangga yaitu unit masyarakat yang paling dasar dan akhirnya juga untuk mengendalikan setiap individu dari seluruh mayarakat Tiongkok.
Membenahi Industri (gongyehua)
Kemenangan PKT pada tahun 1949 mendorong penduduk untuk bermigrasi dari pedesaan ke perkotaan. Pada tahun 1949 penduduk perkotaan diperkirakan berjumlah 57 juta tetapi pada akhir dasawarsa pertama 1957 meningkat menjadi hampir 100 juta, lalu pada tahun 1960 naik lagi menjadi 131 juta. Akibat yang timbul adalah pertambahan pengangguran di kota-kota. Jika di pedesaan bisa dilakukan nongyeh jitihua, maka pemerintah juga ingin menerapkan usaha jitihua itu di bidang industri di perkotaan. Sebenarnya para pemimpin PKT lebih mengenal pertanian ketimbang industri, oleh karena itu gongyeh jitihua merupakan usaha yang lebih sulit. Pada awalnya industri sebagian besar masih dikuasai swasta atau individu dan hanya sebagian kecil yang dikuasai negara. Industri milik swasta yang pada tahun 1949 merupakan ½ dari seluruh industri di Tiongkok, pada tahun 1957 tinggal 20% saja,, namun kerajinan rakyat (kria atau industri kecil) sebagian besar masih ada di tangan swasta.
            Walaupun masih menghadapi banyak kesulitan, para pemimpin PKT memaksa juga agar kolektivisasi industri dijalankan. Di atas permukaan, pengelolaan industri sudah dilakukan secara kolektif, tetapi pada hakikatnya pengelolaan itu masih banyak yang dilakukan secara individual. Para kader Partai tahu lebih banyak mengenai kolektivisasi pertanian ketimbang kolektivisasi industri. Semangat patriotic mereka dan ambisi pribadi yang menggebu-gebu menyebabkan mereka membuat proyek yang sasaran produksinya terlalu tinggi dan memberikan laporan yang dibesar-besarkan angka produksinya. Tindakan semacam itulah yang dipakai para perancang pemerintah menyusun REPELITA Pertama.
            Kelihatannya secara keseluruhan REPELITA Pertama merupakan sukses. Pendapatan Nasional (GNP) naik 8,9% setahun. Secara umum RRT mengikuti model “kolektivisasi industri cepat” Uni Soviet, yaitu mendahulukan industri berat dan meremehkan bidang pertanian, walaupun keadaan ekonomi dan persyaratan-persyaratan lainnya sangat berbeda. Sebagian pemimpin RRT mengabaikan kenyataan bahwa di Uni Soviet ratio penduduk dan sumber daya sangat mendukung dan industrialisasi dan sudah jauh lebih maju sebelum revolusi di Rusia, sedang di Tiongkok industrinya masih ketinggalan dan belum maju ketika RRT didirikan. Setengah dari investasi industri di Tiongkok dicurahkan ke dalam 156 proyek industri besar-besaran dan memerlukan penanaman modal yang juga besar sekali. Lagipula industri tersebut mengandalkan “bantuan” (yang sebenarnya adalah pinjaman) Uni Soviet. Dari 156 industri tersebut hampir semuanya merupakan industri berat dan terletak di pedalaman seperti Wuhan dan Baotou di Tiongkok Utara, maksud agar pabrik-pabrik tidak tergantung dari Shanghai dan Tianjin.
            Sementara Tiongkok harus menanam modal sebesar 25 milyar yuan dalam REPELITA Pertama. Ternyata “bantuan Uni Sovy bukan grant (hibah) tetapi pinjaman yang harus dibayar kembali dengan angsuran 60 juta setahun. Seluruh hutang kepada Uni Soviet hanya merupakan 4% dari jumlah keseluruhan penanaman modal dalam bidang industri. Faktor-faktor tersebut memaksa para pemimpin RRT menyusun REPELITA kedua dengan lebih hati-hati dan masuk akal
            Namun dalam REPELITA Kedua para pemimpin RRT dan para perancang pembangunan masih menganggap perlu industrialisasi, namun mereka juga berpendapat bahwa kemajuan pedesaan itu sangat perlu dalam jangka panjangnya untuk kemajuan perkotaan. Para perancang pembangunan menyadari bahwa pabrik-pabrik besar tidak akan banyak manfaatnya ketimbang pabrik-pabrik kecil di pedalaman. Pabrik-pabrik kecil lokal, walaupun teknologinya masih belum maju namun industri-industri kecil itu bisa menggunakan tenaga kerja dan bahan-bahan setempat sehingga bisa mengurangi biaya transport dan bahkan memulai industrialisasi di pedesaan. Sementara itu para pemimpin RRT juga ingin mengurangi ketergantungan Tiongkok dari Uni Soviet. Selain kenyataan bahwa kolekt’sasi pertanian sebenarnya tidak terlalu meningkatkan produksi pangan, Tiongkok juga menghadapi kesulitan lain, yaitu bahwa birokrasi negara telah membengkak sehingga biayanya sangat besar. Di kalangan luas juga ada keinginan untuk mengurangi sentralisasi pemerintahan.
            Hasil REPELITA Kedua tidak pernah diketahui umum karena pada awal tahun 1958 ada gerakan yang lebih banyak dipublikasikan yaitu “Gerakan Lompatan Jauh Ke depan” (Da Yuejin)
           
Membenahi bidang Kemiliteran
         Setelah ekonomi pedesaan dan industri perkotaan dibenahi maka pemerintah dan pimpinan PKT mulai membenahi bidang kemiliteran. Anggaran Belanja untuk bidang pemerintahan nasional yang hampir menyita ½ dari anggaran belanja negara pada tahun 1950-an mulai dikurangi dengan jalan antara lain reorganisasi TPR.
Peng Dehuai (PDH), panglima tertinggi pasukan RRT di dalam “Perang Korea”, kemudian menjadi MenHan. Dia yakin bahwa jika mau membangun kembali militer RRT, maka negara harus meniru tentara Uni Soviet yaitu mengembangkan tentara yang professional dan modern, dengan persenjataan yang juga modern dan tidak sekedar mengandalkan pada strategi perang gerilya yang memang berhasil pada tahun 1930-an. Tetapi lawan yang dihadapi RRT sekarang yaitu tahun 1950-an sudah berbeda sama sekali.
Keputusan PDH disetujui oleh pimpinan RRT yang lain. Salah satu keputusan yang sangat penting adalah mengurangi jumlah personil tentara dan memusatkan perhatiannya pada pembangunan tentara dengan pendidikan dan pelatihan yang modern, dibekali jaminan hidup dasar (sandang-pangan) yang cukup. Oleh karena itu, walaupun “Perang Korea” belum selesai, TPR sudah mulai mendemobilisasi tentaranya yang ada di dalam negeri begitu pemerintah sudah bisa menyediakan pekerjaan di pedesaan atau kota.
Pada tahun 1953 jumlah tentara turun menjadi sekitar 3,5 juta dari jumlah lima juta pada tahun 1950 dan pada tahun 1957 turun lagi menjadi hanya 2,5 juta orang.
            Akademi-akademi Militer di Beijing, Nanjing dan Dalian mulai mendidik generasi baru perwira-perwira muda yang mempelajari teknologi kemiliteran untuk menghadapi perang modern. Ada sejumlah besar perwira TPR yang dikirim ke Kiev Uni Soviet untuk mengikuti pendidikan kemiliteran lanjut di sana.
Pada tahun 1955 dikeluarkan UU wamil yang mengharuskan seyiap warga negara yang berumur di antara 18-20 tahun, kecuali pelaku tindak pidana, untuk menjalankan wajib militer selama 3 tahun untuk AD, 4 tahun untuk AU dan 5 tahun untuk AL. setahun. Angkatan-angkatan tsb dianggap sangat penting untuk pertahanan negara
Namun perkembangan professionalism dalam segala bidang TPR itu menurut MZD memberikan dampak negative untuk masyarakat dan PKT sendiri. Yang sangat dikhawatirkan adalah munculnya elitism kembalI di kalangan militer, padahal di masyarakat pedesaan maupun perkotaan ditekankan persamaan hak dan kewajiban setiap orang dan kerjabersama yang kooperatif dan kolektif.
            Di bidang militer pada pertengahan dasa warsa kelima abad XX, apa yang dilakukan demi modernisasi militer sudah bertolak belakang dengan taktik, semangat dan nilai-nilai bergerilya
            Persahabatan dalam militer lenyap setelah 14 jenis pangkat diperkenalkan beserta tanda-tanda dan baju seragamnya. Gaji juga dibeda-bedakan: misalnya, gaji seorang letnan 10 kali gaji seorang prajurit, dan gaji seorang colonel hampir 3 kali gaji seorang letnan. Pendidikan Tinggi dan kemampuan IPTEK bisa mendorong seorang tentara lebih cepat naik pangkat dan dikirim ke SESKOAB, lalu menjadi perwira tinggi. Para perwira, makin tinggi pangkatnya, makin banyak fasilitas yang diperoleh termasuk tunjangan untuk anak istrinya.
            Reaksi dari PKT adalah bahwa militer harus dikendalikan dan harus belajar dari bekerja untuk masyarakat pedesaan, yaitu di sawah ladang. Di banyak tempat tentara menjadi jengkel dan tidak mau tunduk kepada PKT. Pada pihak lain, sementara para prajurit dan perwira makin menguasai teknologi dan keahlian lainnya, dan makin professional, para aktivis (kader) PKT tidak bisa mendapat keterampilan-keterampilan itu jadi tidak bisa naik pangkat sehingga ketegangan antara TPR dan PKT makin parah.

Membenahi Cendekiawan (Zhishi fenzi).
Pada tahun-tahun pertama, kaum cendekiawan masih mencari-cari tempatnya (niche) dalam rejim baru RRT. Kebanyakan dari mereka berasal dari keluarga kaya, pemilik tanah atau perusahaan. Mereka yang bekerja di birokrasi (pemerintahan) tentu saja mantan pegawai negeri jaman sebelumnya. Yaitu pemerintah KMT musuh PKT. Banyak juga yang bekerja di universitas luar negeri atau diajar oleh dosen/guru-guru dari negeri Barat. Dengan latar belakang semacam itulah mereka mudah sekali di anggap sebagai kelompok yang feodal, borjuis, reaksioner, kapitalis yang dilontarkan oleh pemerintah yang baru (PKT/RRT). Untuk sementara pada awalnya pemerintah yang baru membiarkan mereka melanjutkan pekerjaannya dengan gaji seperti biasa. Banyak kaum cendekiawan seperti para mantan diplomat pemerintah KMT yang kembali dari luar negeri untuk membantu pemerintah RRT. Mereka semua sudah kecewa dan muak terhadap pemerintah KMT yang korup, dan penuh harapan dengan pemerintah RRT yang baru.
Namun sekonyong-konyong pada tahun 1950-51 puluhan ribu cendekiawan harus mengikuti “kursus” (semacam cuci otak) selama 6 – 8 bulan di kampus-kampus yang revolusioner. Selanjutnya mereka harus ikut serta dalam “gerakan Anti Tiga” dan “Anti Lima” untuk membersihkan diri. Mereka juga harus ikut serta gerakan tudigaige di pedesaan untuk menunjukkan kesetiaan mereka kepada pemerintah RRT dan PKT.

       Pada tahap-tahap pertama REPELITIA, MZD masih menyadari bahwa negara membutuhkan para cendekiawan seperti (penulis, sastrawan, sarjana, ilmuwan) agar mereka bekerja produktif (pangan) demi kepentingan rejim baru ini. MZD menyadari bahwa kaum cendekiawan tidak bisa ditakut-takuti dengan kampanye atau disuruh mengikuti kursus-kursus. Pimpinan negara/PKT terpecah belah ketika menghadapi masalah bagaimana menangani kaum cendekiawan yang dianggap moralnya sudah merosot itu. Dari sekian banyak pendirian para pemimpin tsb muncullah dua kubu yang menonjol:
1)      kubu yang setuju melanjutkan “Front Persatuan” Masyarakat yang terdiri dari PKT dan Kaum cendekiawan dengan alasan bahwa kepakaran mereka masih sangat diperlukan negara untuk melanjutkan REPELITA Pertama, dan untuk meningkat ke tingkat pertanian kolektif. MZD juga masih percaya bahwa kesetiaan kaum cendekiawan, bagaimanapun juga masih bisa diandalkan, sekalipun mereka mengecam PKT.
2)       Kubu kedua bersikeras bahwa persatuan dan kesatuan PKT itu mutlak perlu, dan bahwa hanya PKT-lah yang memimpin revolusi. Oleh karena itu sekarang tidak perlu da kerjasama angota PKT dengaan yang bukan anggota PKT dalam apa yang oleh MZF disebut “Front Persatuan“ Lagipula menurut kubu kedua PKT tidak bisa dan tidak boleh dikecam oleh orang luar partai, karena kecaman itu bisa menjatuhkan wibawa dan moral para anggota PKT lainnya.
            Di kalangan Biro Politik Komite Sentral PKT yang masuk kubu pertama adalah MZD, ZEL, Chen Yun sang pakar ekonomi negara, dan sekjen PKT yang baru Deng Xiaoping (DXP), serta Jendral Lin Biao. Yang masuk kubu kedua yang menghendaki disiplin partai yang lebih ketat dan yakin bahwa PKT tidak perlu lagi bekerjasama atau bersekutu dengan kaum cendekiawan, adalah para anggota Pantap BirPol KomPus PKT seperti Jendral Zude (teman dekat MZD dalam perang gerilya dulu, jendral PDH, dan walikota Beijing Pengzhen. Dari pertikaian politik tadi muncullah apa yang disebut “Gerakan Biarkan Seratus Bunga Berkembang, dan Seratus aliran gagasan bersaing (Baihua Qifang, Baijia zhengming Yundong)yang dilancarkan oleh MZD..
            Pada tahun 1956 April MZD masih menekankan perlunya hubungan erat antara anggota Parta dan golongan yang bukan anggota Partai. MZD ingin menghindari pertentangan di antara orang banyak. MZD juga mendesak para anggota PKT untuk mempertimbangkan pendapat-pendapat yang dikeluarkan orang luar, lebih memperhatikan golongan minoritas di Tiongkok dan bahkan belajar dari negeri Barat seperti belajar bahasa-bahasa asing. Didalam suatu sidang tertutup tanggal 2 Mei, MZD menjelaskan dengan panjang lebar gagasannya ttg “Seratus Bunga dst” dalam bidang budaya, serta “100 aliran bersaing” dalam bidang ilmu pengetahuan.
            Para pemimpin PKT (kubu kedua) juga prihatin mendengar huru-hara politik di Polandia pada bulan Juni tahun itu dan lebih-lebih ttg pembrontakan Hongaria thd dominasi Unisoviet. Sementara itu di Tibet yuga timbul protes thd kehadiran pasukan TPR/RRT di sana.
            Pertarungan Politik dan intelektual terus berlanjut hingga 1957. Pengikut garis keras Partai seperti walikota Beijing PengZhen yang menguasai terbitan media masa termasuk surat kabar, tidak mau menerbitkan gagasan MZD, oleh karena itu MZD menerbitkannya melalui media masa di Shanghai. Sekalipun banyak masalah di dalam negeri RRT, MZD masih bersemangat dan besar harapan.. Perpecahan dan kekacauan sudah lenyap untuk selama-lamanya menurut MZD. Pidato yang diucapkan dihadapan 1.800 anggota PKT dan yang bukan anggota PKT menimbulkan harapan baru kepada para cendekiawan. Tetapi pidato itu belum diterbitkan di Beijing, sedang Liu Shao Qi –LSQ- (dari kubu garis keras) tidak hadir dalam perteman tertutup itu. Para cendekiawan tersenyum-senyum memperhatikan pergumulan antara MZD dan LSQ itu. Tetapi mereka, kaum cendekiawan itu belum berani menyuarakan isi hatinya, sebelum ada tanda-tanda yang lebih jelas bahwa kebebasan bersuara memang sudah ada.
            Sejak waktu itu sebenarnya, kedua kubu itu sudah tidak bisa didamaikan selama bertahun-tahun. MZD menggunakan segala pengaruhnya agar kampanye “Seratus bunga dst”. Pada bulan April 1957, setelah berbulan-bulan MZD menekan PengZhen di Beijing, barulah semua terbitan di Being menerbitkan gagasan MZD itu. Kaum cendekiawan didorong dan dianjurkan mengeluarkan isi hatinya mengenai penyalahgunaan wewenang para pemimpin PKT. Menurut MZD kampanye itu ditujukan untuk melawan sikap birokrasi, klik-klikan dan subjektifisme. Setelah yakin bahwa setiap orang boleh menyuarakan isi hatinya termasuk kecaman terhadap PKT, dengan restu resmi dari pimpinan PKT, maka kaum cendekiawan baru berani buka suara dan isi hatinya. Selama lima minggu dari tanggal 1 Mei hingga dan Juni 1957, baik di rapat-rapat tertutup yang dihadiri anggota PKT dan media masa yang dikuasai pemerintah, maupun di poster-poster yang ditempel di dinding kampus dan unjuk rasa di jalan-jalan kaum cendekiawan mengeluarkan pendapatnya . DI luar dugaan MZD, kecaman dan protes itu meluas hingga menyangkut protes thd pengawasan dan pengendalian PKT thd kaum cendekiawan serta pembrangusan kampanye seperti tentang rendahnya taraf hidup rakyat serta pengawasan dan larangan terhadap masuknya bacaan dari luar negeri, tentang korupsi yang dilakukan oleh para kader PKT sendiri dan kenyataan bahwa anggota PKT menikmati banyak sekali hak-hak istimewa sehingga mereka merupakan kelompok elit yang baru di masyarakat. Kaum cendekiawan merasa bahwa HAM mereka dilanggar, Juga pemilihan wakil-wakil rakyat yang dilaksanakan pemerintah itu sebenarnya penipuan karena rakyat tidak tahu samasekali siapa dan apa yang dipilihnya. Rakyat hanya harus memilih saja. Menurut kaum cendekiawan, tidaklah benar bahwa semua petani secara sadar mau menjadi anggota koperasi atau ikut kegiatan atau kelompok kolektif, tetapi para petani itu dipaksa untuk ikut . Ada yang mengatakan bahwa kebebasan berbicara jauh lebih besar pada jaman KMT berkuasa daripada sekarang.
Perjuangan Anti Kaum Kanan (Fan Youpai douzheng)
            Tanggapan MZD dinyatakan pada awal bulan Juni setelah para cendekiawan menyuarakan isi hatinya. Menyadari bahwa kecaman-kecaman itu ditujukan kepadanya, maka MZD lalu mengubah isi pidato PKT, menjadi pidato yang isinya justru menyensor semua pernyataan yang akan dikeluarkan para cendekiawan. Lalu pidato versi baru itu disiarkan oleh semua media masa di seluruh Tiongkok. PKT lalu melancarkan Kampanye “Anti kaum Kanan” sedang Pengzhen pada bulan Agustus 1957 itu juga menuduh bahwa para pengecam (yaitu kaum cendekiawan yang baru mengeluarkan kecamannya thd PKT) itu sama dengan kaum yang anti komunisme, kontra rev.’ner dan pahlawan Chiang KaiShek.
 Sampai tahun 1957 ada dua kategori pejabat yang merupakan pimpinan pemerintahan (di birokrasi) RRT:
1)      patriot-patriot yang berpandangan liberal dan bukan komunis tetapi memilih tetap tinggal di Tiongkok ketika KMT menyingkir ke Taiwan, atau mereka yang baru kembali dari luar negeri (diplomat).
2)      kader dari luar, yaitu anggota PKT( yang dulu, jaman gerliya) mendapat tugas oleh PKT untuk “bekerja di bawah tanah” di wilayah yang dulu masih dikuasai KMT (alias semacam intel (sebelum 1910 –49). Orang-orang dari kedua kategori itulah yang sesungguhnya mempunyai banyak pengalaman dalam pekerjaannya, pandangan yang luas dan memiliki bakat yang diperlukan untuk memulai rejim dan pemerintah baru RRT. Orang-orang dari kedua kategori itu tentu saja masih memiliki pendirian yang liberal (tidak mau tunduk kepada perintah pimpinan saja tetapi bebas berpikir sendiri). Gagasan mereka mengenai revolusi berlainan dengan gagasan para gerilyawan PKT yang selalu dikejar-kejar pasukan KMT ke mana-mana di Tiongkok sebelum 1949. Menurut kader-kader yang liberal ini cita-cita revolusi adalah membebaskan dan meningkatkan taraf hidup rakyat Tiongkok dan bukan mengendalikan dan mengawasi rakyat Tiongkok. Oleh karena itu orang-orang dari kedua macam kategori itulah yang sangat menderita karena Gerakan “Anti kaum kanan”
            Pada pihak lain di kota-kota dan pedesaan, menjelang 1957 muncul sekelompok orang yang berasal; dari kaum petani dan buruh yang tidak begitu berpendidikan, tidak tahu-menahu tentang dunia luar, bersikapxenophobic (tidak suka dan membenciapa yang dating dari luar negeri) dan juga sangat anti kaum cendekiawan. Justru orang-orang semacam itulah yang muncul menjadi pemimpin-pemimpin PKT. Ketika kesempatan diberikan kepada mereka untuk menyerang “kaum kanan”, kelompok itu (tani dan buruh yang tidak berpendidikan) telah siap untuk menghancurkan sisa-sisa kelompok elit terpelajar dan modern, tidak peduli apakah kelompok elit itu pandai dan penting perannya untuk negara yang sedang membangun seperti RRT. Mereka samasekali tidak peduli bagaimana menyelesaikan masalah (negara). Mereka lebih bernafsu untuk melampiaskan dendam serta kebencian mereka thd kaum cendekiawan (yang elit) itu.
 Dengan menyingkirkan begitu banyak kaum terpelajar yang professionbal, dan menggantinya dg kelompok fundamentalis Partai yang tidak terdidik dan tdk berpengalaman mengelola pemerintahan dan negara, betapapun rendahnya tingkat pemerintahan itu (seperti desa), merupakan tindakan yang sangat gegabah dan berbahaya.
Tahun 1957 merupakan awal dari dua dasawarsa yang “hilang” (karena Dayuejin dan Wenhua geming), dalam arti bahwa negara tidak maju atau mundur, alias mandeg, karena para pemimpin PKT mengabaikan kaum cendekiawan. MZD lebih suka menggunakan orang-orang yang “kelas nmasyarakatnya proletar daripada kaum cendekiawan yang dianggap kontra revolusioner.


Komentar