Catatan : Tulisan ini adalah hasil rangkuman Ratna Setianingrum dari seminar yang dibawakan oleh Ardian Cangianto di Semarang dengan judul “Mengenal Agama Hua”.
Mendengar istilah “agama Hua/Huá jiào, mau tidak mau teringat isi Inpres no.14/1967 tentang pelarangan kepercayaan orang cina. Mangapa istilah yang dipakai adalah kepercayaan dan bukannya agama? Hal ini disebabkan karena sejak berabad yang lampau di Tiongkok, religion atau agama menjadi dua bagian yang besar, yaitu : institutional religion dan diffused religon. Umumnya rakyat Tiongkok menganut diffused religion.
Dan suatu kepercayaan dapat diakui pemerintah Indonesia sebagai “agama” bila dia memiliki kitab suci, memiliki nabi, percaya akan Tuhan, berbicara tentang alam kematian. Konteks ini adalah konteks agama samawi dan pengertian agama di Indonesia pada masa Orde Baru. Pengertian agama yang menganut konsep barat inlah yang menyebabkan banyak aliran kepercayaan yang ada di masyarakat Indonesia akhirnya tersisihkan.
Karakter “Jiào” ( 教 ) terbebtuk dari karakter孝 yang berarti “bakti” dan karakter攵 yang berarti “memukul” (tangan memegang tongkat atau cambuk ) arti sesungguhnya adalah pengajaran atau bimbingan . Dengan kata lain suatu cara untuk membuat orang berbakti dengan hukuman dan hadiah dengan tujuan untuk membuat suatu tatanan yang tertib
Karakter “Hua” 華 mengandung banyak arti, diantaranya : indah, agung, bagaikan bunga yang sedang mekar; corona ( sinar yang melingkupi matahari) ; mengagumkan; bunga Puspa ( Sankrit ) , diserap dalam Mahayana Tiongkok sebagai perlambang keindahan, tidak tercemar, keagungan; merujuk pada sekelompok orang yang tinggal di Tiongkok maupun keturunannya.
Pengertian agama yang ideal menurut G.Van Schie : “Religi ialah keseluruhan mitos, ritus dan tata hidup yang merupakan pernyataan serta pengungkapan kepercayaan manusia, dan bahwa Gaya Misterius mempengaruhi semua aspek kehidupannya.” Agama berperan dalam membentuk tatanan yang tertib dan berisi etika, tata ritual serta adat dan ajaran moral. Penjabaran agama dilakukan dengan 3 cara, bahasa oral, bahasa tulis, dan bahasa symbol.
Istilah “Agama Hua” pertama kali lahir di Asia tenggara ( Nanyang). Istilah ini digunakan untuk menunjuk kepercayaan dari etnis Tionghoa yang berada di tengah berbagai etnis lainnya. Sedangkan sebutan lain yang berkembang adalah “Baishen jiao” 拜神教 ( Shenism ), Kepercayaan rakyat jelata 民間信仰, Agama Tao rakyat 民間道教, dan Agama Buddha rakyat 民間佛教. Agama Hua yang pada dasarnya merupakan Diffuse Religion pada perkembangannya mengalami pemaksaan untuk menjadi Institutional Religion yang menyebabkan umat menjadi korban karena dijadikan rebutan antar agama-agama yang diakui.
Apakah yang dimaksud dengan institutional religion (獨立宗教)? Secara umum institutional religion merupakan agama yang memiliki sistem Teologi yang kukuh, kosmologi, ritual yang kukuh, pendiri, sistem organisasi, tokoh yg utama. Sedangkan diffused religion ( 混合宗教 ) adalah agama yang secara umum tetap memiliki Teologi, kosmologi, ritual tapi lebih pada arah pragmastik, realistik, serta tetap mengadopsi system-sistem yang ada.
Fungsi agama pada dasarnya adalah sebagai pemenuhan kebutuhan manusia. Xun Zi berpendapat bahwa pada dasarnya manusia pada dasarnya jahat sehingga diperlukan pengorbanan. Sedangkan Meng Zi berpendapat sebaliknya. Sedang pendapat yang ketiga menyebutkan bahwa manusia pada dasarnya baik dan jahat. Konsep yang digunakan adalah konsep kesejahteraan, keselamatan, harmonisasi dua alam,serta jembatan antara nafsu dan akal ( alam bawah sadar dan alam sadar )dengan ritual dan pengorbanan.
Agama Hua memiliki beberapa konsep dasar, antara lain:
- Semua benda memiliki roh, konsep inilah yang mendasari adanya politheisme.
- Animisme.
- Agama purba ( shamanisme )/ Wu jiao. Agama purba ini sudah dikenal sejak jaman Xia dan Shang.
- Budaya Tionghoa
- Filsafat Tionghoa
Dasar dari agama Hua, adalah penghormatan leluhur ( 祭祖 ), sistem kekerabatan ( 家族), dan makanan (食餌) yang juga merupakan tiga pilar dalam Budaya tionghoa. Selain itu dasar agama Hua juga meliputi kebersamaan (公), setia dan berbakti (忠孝), serta harmoni (中庸/ 和合), ketiga hal ini sekaligus merupakan makna budaya Tionghoa. Agama Hua mengakui adanya penghormatan terhadap langit (天), bumi (地 ), pemimpin negara/ negara (君/國), kerabat (亲), guru (师), dan sahabat (友). Semua hal tersebut secara keseluruhan adalah kesusilaan dan tata karma yang mengandung nilai religiusitas.
Dalam perkembangan kebudayaan Tionghoa, dikenal adanya budaya atas (雅文化) yang ada di golongan kerajaan , dan budaya bawah (俗文化 ) yang berkembang di kalangan rakyat jelata. Agama Hua dalam perkembangannya menyerap komponen keduanya. Sebagai contoh sembahyang Tang Cik, dan adanya kue bulan. Contoh lain adalah sembahyang kepada langit, Sampai dengan jaman Qing, hanya kaisar yang boleh bersembahyang kepada Langit ( yang kemudian dipadankan dengan Yu Huang Shang Di), apabila rakyat berani bersembahyang kepada langit maka dianggap dia memberontak. Sampai pada jaman Sung akhir lahirlah pangeran ke 4 ( putra dari Yu Huang Shang Di ) yang disembah oleh rakyat sebagai pengganti menyembah kepada langit.
Pada masa lampau, kerajaan maupun shidafu 士大夫 ( pejabat dan pelajar yg memiliki posisi ) bersifat ambigu terhadap agama rakyat. Sebagian menekan kepercayaan rakyat, sementara sebagian menerimanya. Para Ruist masa Song dan Ming yang mendapat pengaruh Li Xue ( NeoConfuciusm Zhuxi ) hanya menekankan Xiao Dao 孝道 dan ritual yang hanya terkait pada leluhur saja. Agama rakyat tidak dipandang. Pada masa ini untuk mengawasi rakyat diadakan kanonisasi untuk mengangkat dewa-dewa dari tokoh-tokoh masyarakat. Penganugrahan ini menggunakan asas moralitas, asas nkontrol dan survival. Tokoh – tokoh yang diangkat menjadi dewa dilihat dari beberapa hal, antara lain tingkah laku nya selama hidup. Hal ini karena terkait dengan xiao dao ( 孝道 ) dan juga memberi ruang gerak pada kepercayaan rakyat. Tidak semua Dewa mengalami proses kanonisasi kerajaan, mereka yang diangkat menjadi Dewa biasanya adalah mereka yang mewakili moralitas yang luar biasa, mememiliki pengaruh/pengikut yang luar biasa, dan mereka yang mengabdikan diri pada Negara.
Agama Hua dalam perkembangannya menyerap berbagai kepercayaan. Di dalam agama Hua itu mencakup agama Buddhisme rakyat, agama Taoisme rakyat, agama Wu ( 巫教 ) , beragam tradisi yang ada.
Mengapa Buddhisme dan Taoisme yang paling banyak diserap oleh agama Hua? Hal ini disebabkan karena keduanya menerima adanya Dewa-dewa (Polytheisme ), mempunyai pandangan terhadap alam baka, memiliki asas keselamatan, kesejahteraan, penebusan dosa, asas moralitas yang terstruktur, Fuzhou 符咒, dan ritual penolak bala 祭煞科儀.
Ruisme juga memiliki peran dalam perkembangan agama Hua. Pengaruh Ru terutama dalam penekanan pada Xiao Dao dan etika. Ru juga memiliki nilai-nilai moralitas yang terstruktur, serta penghormatan terhadap leluhur.
Posisi Wu jiao dalam perkembangan agama Hua adalah sebagai jembatan penghubung, antara animism, dinamisme, serta mediumisasi. Hal-hal yang termasuk tabu juga banyak memberikan pengaruh, sebagai contoh angka 4, juga hal-hal yang termasuk penolak malapetaka dan pembawa keberuntungan, misalnya angka 8.
Posisi Ruisme, Buddhisme dan Taoisme dalam agama Hua: para pendeta Buddhisme dan Taoisme mendapat tempat terhormat sebagai pemimpin upacara/ritual. Jika tidak ada, maka orang yang dipercaya menguasai tata cara ritual untuk memimpin ritual dan umumnya adalah kaum pelajar Ru sebagai pemimpin upacara. Ketiganya ditempatkan pada posisi berimbang, dan kitab-kitabnya diterima sebagai bagian pengajaran serta menggunakan tataran filosofis kekosongan, ketidakkekalan dan harmonis ( 易 , 無常,空虛, 和)
Agama Hua berdasarkan pada beberapa sistem, antara lain sistem kekeluargaan ( clan dan marga), keseimbangan, hubungan alam manusia dan alam lain. Kebutuhan ekonomi sosial dan politik ( membangun hubungan dengan menggunakan “Dewa” dan “Tempat Ibadah” sebagai faktor pemersatu ). Serta pemujaan terhadap langit dan bumi, Dewa-Dewa serta penghormatan leluhur
Tuhan dalam agama Hua adalah Langit dan Bumi. Yuhuang Shangdi pemimpin dari alam Taiji dan merupakan bawahan Sanqing ( dewata utama dalam Taoisme ) diubah menjadi yang utama dan berpasangan dengan Xi Wangmu ( Yuhuang pemimpin dewa, Wangmu pemimpin dewi) . Kitab Sheng Yuan Jue 聖源覺 ( abad ke 19 ) adalah kitab yang berkembang di kalangan Hua Jiao dan isinya berbeda dengan Yuhuang Benji Jing 玉皇本集經 ( Song ).
Pada masa sebelumnya, rakyat jelata tidak boleh menyembah “Tuhan” atau Tian dan Di. Penempatan hiolo di rumah rakyat jelata utk sembahyang Tuhan disebarluaskan oleh orang-orang Ru kemudian diadopsi pula oleh Taoisme dan Buddhisme Rakyat. Penghormatan terhadap Yuhuang Shangdi yang dimulai pada dinasti Song dan bernafaskan Taoisme kemudian berkembang di rakyat jelata dan Yuhuang Shangdi menjadi Tuhan dalam agama Hua dengan hari lahirnya tanggal 9 bulan satu sesuai dengan kepercayaan Taoism. Hal yang paling menyolok terjadi di pulau Jawa, dimana banyak kelenteng yang akhirnya membangun pendopo 亭 untuk Yuhuang Shangdi di halaman depan kelenteng.
Di Asia Tenggara, banyak tempat ibadah agama Hua itu meminta lepas kasut saat memasuki altar, pengaruh ini didapat dari kebiasaan umat Islam. Ditemukan pula beberapa yang menggunakan tempat pembakaran kemenyan yang bersanding dengan hiolo. Ini menunjukkan bahwa agama Hua mengabsorbsi kepercayaan setempat, tidak bersifat kaku dan memperlihatkan adanya tatanan kesukuan/ etnisitas ( misalnya penggunaan tebu dalam sembahyang ).
Selayaknya agama-agama lain, Agama Hua juga memiliki kitabnya. Banyak kitab agama Hua yang disusun melaliu sistem pemanggilan dewa/ mediumship. Contoh : 4 Nasehat Liao Fan 了凡四訓, Wu Gu Jing 五穀經. Selain itu juga mengadopsi kitab suci dari 3 ajaran utama, dan itu semua saling menyerap.
Ada banyak Dewa yang diakui di agama Hua. Dewa-Dewa itu dapat dibagi menjadi beberapa, yaitu:
- Dewa Alam ( misal Dewa Bumi, Dewa Api )
- Dewa Ruang dan Waktu ( misalnya Dewa Tai Sui )
- Dewa Mitologi ( Nv Wa )
- Dewa Leluhur ( Sanhuang Wudi / 3 kaisar lima raja )
- Dewa yang berasal dari tokoh populer atau tokoh setempat, berjasa ( Tianshang Shengmu )
- Dewa yang berasal dari Novel ( Sun Wukong )
- Dewa profesi ( Bai Mudan: pelindung pelacur. Dewa LuPan: pelindung tukang kayu )
Degradasi
Agama Hua dalam perkembangannya juga menghadapi banyak rintangan. Pandangan para penganutnya secara tidak langsung menyebabkan Agama Hua terkungkung, dan pengikutnya menjadi kehilangan rasio ( contoh kasus Yi He Tuan ). Tujuan pengikutnya dalam melakukan ritual juga berubah dari tujuan luas menjadi tujuan pribadi, salah satu contoh adalah ritual ambil jiamsi. Dahulu pengambilan jiamsi pada awal tahun adalah untuk mengetahui apa yang terjadi di tahun yang akan datang ( misalnya panen akan berhasil atau gagal ), tetapi saat ini yang terjadi orang mengambil jiamsi untuk kepentingannya sendiri. Ritual-ritual dalam Agama Hua juga mulai keluar dari nilai filsofinya dan ritual sakral kehilangan kesakralannya. Beberapa kejadian dalam sejarah menunjukkan hal tersebut, misalnya kasus Bai Lian pada Dinasti Ming dan Qing, serta lepasnya kontrol kerajaan ( kasus Wu Tong ). Contoh lain yang banyak ditemui adalah cara menancapkan Hio di Hiolo yang sekarang sudah seperti sekedar “melempar” he dalam hiolo, tanpa memikirkan orang lain yang harus berjibaku untuk menancapkan hio nya.
Memasuki era modern, banyak pandangan negatif terhadap Agama Hua dan penganutnya. Agama Hua dipandang sebagai sesuatu yang kolot/ kuno. Hubungan vertical dan horizontal dalam agama Hua juga sering dipertanyakan, konsep ketuhanan dalam Agama Hua yang berbeda dengan konsep ketuhanan agama mayoritas juga menyebabkanan “persekusi” halus terhadap penganutnya. Ritual yang dilakukan penganut agama Hua juga menyebabkan pandangan bahwa agama Hua menyebabkan polusi udara dan penganutnya merupakan penyembah berhala ( dan ini diperparah dengan penganut agama Hua yang tidak mampu memberi penjelasan yang tepat). Dari istihah Hua yang merujuk orang Tionghoa, juga menyebabkan pandangan bahwa agama Hua adalah agama ekslusif untuk orang Tionghoa saja.
Pandangan itu tidak benar, karena sebenarnya Agama Hua adalah agama yang berkembang, hal ini disebabkan karena agama Hua tidak terkungkung pada satu factor institusional religion. Dia punya daya adaptasi yang tinggi karena tingkat toleransi terhadap kepercayaan kepercayaan lain yang tinggi, serta memiliki daya guna. Inti agama Hua adalah nilai filosofi, nilai kehidupan dan kosmologi Tionghoa. Dan agama Hua juga bersifat lintas etnis, mereka yang berlainan etnis juga bisa berdoa kepada dewa-dewi yang dipercayai orang Tionghoa tanpa harus menjadi penganut agama Hua. Karena prinsip utamanya menolong tanpa kenal pamrih dan ikatan kepercayaan dalam bentuk inisiasi sebagai pengikut ( contoh R.A Kartini ). Ini menunjukkan juga suatu point keunggulan agama Hua.
Agama Hua dalam perkembangannya mengusung semangat toleransi terhadap yang lain, menghormati alam ( prinsip harmonis ), menghargai hubungan kekerabatan, mengandung nilai-nilai kebersamaan,. Pengajaran yang dilakukan menggunakan bahasa-bahasa simbol. Kesimbangan dalam semua aspek kehidupan. Pewarisan moral dan etika kepada generasi penerus dalam upaya membentuk tatanan yang tertib serta kebersamaan.
Toleransi agama Hua terhadap yang lain sangat menonjol, hal ini disebabkan prinsip bahwa sesama penganut jalan suci harus saling menghormati. Segala sesuatu berasal dari Dao. Mengenal 84.000 jalan keselamatan dengan tetap memegang teguh asas orang suci ( 聖人 ). Perlu disayangkan saat ini Agama Hua dijadikan ajang pertarungan berebut pengaruh dan umat. Diperparah dengan terkikisnya nilai-nilai luhur yang di dalamnya sehingga makin banyak nilai luruh yang terlupakan.
Menurut Hushi ( 胡適), agama yang baik adalah agama yang memberikan kontribusi positif secara horizontal. Agama yang baik juga merupakan agama yang tidak menekankan vertikal secara berlebihan dan mampu memberikan kontribusi positif bagi perkembangan diri penganutnya. Secara singkat, agama modern adalah agama yang bisa dirasakan daya gunanya bagi masyarakat.
Dasar-dasar Etis Agama Hua adlah adanya perhatian moral bagi kesejahteraan manusia ( contohnya : perayan Qi Yue ( 搶孤/ 鬼節 ),ritual membeli dewa rejeki saat Xin nian (買財神), perayaan chóngyáng(重陽 , dan Jìshì (济世).
Norma untuk merealisasikan :Tri Ratna (三寶), pengajaran( 戒律),laku bakti(孝道),dan 5 jalan utama (仁義禮智信). Yang menjadi Golden Rule nya adalah “apa yang tidak ingin orang lain lakukan padamu, jangan lakukan pada orang lain” ( 己所不欲,勿施於人 ). Untuk melakukan itu maka diperlukan motivasi moral. Motivasi ini bisa didapat dari contoh hidup yang benar (sikap hidup yang benar dari pemuka, dewata ). Gaya hidup yang benar ( sikap pemuka, dewata dalam hidup ).
Berkah dan Rahmat yang didapat dengan : kekuatan utk melakukan kebajikan (德 ), melakukan kebajikan dengan senang (行善 ), Keberlimpahan welas asih dan semangat pengorbanan ( contoh: Ma Zu(媽祖),Guan Yin (觀音),ibu), dan
Universalitas (belas kasih untuk semua makhluk, seperti matahari yang tidak memilih akan bersinar untuk siapa).
Dalam hidup manusia ada satu “Moral horison” yang mencakup seluruh hidup manusia. Moral Horison adalah pandangan /wawasan yang memberi “Makna Tertinggi” dan “Makna yang Bertujuan/ makna yang berkesinambungan”. Makna Tertinggi : makna yang bukan dari aktifitas partikular tapi makna yang total.
Makna yang terunggul mencakup: hidup yang bertujuan (makna hidup), kebersamaan dan harmonis ( makna dunia), yang mengatasi kekecewaan, yang menyembuhkan dan berjuang mengatasi penderitaan. Menghadapi kematian dengan senyum sebagai tanda berani hidup.
Seseorang menemukan makna terunggul adalah saat dia saat berani hidup dan menghadapi kematian dengan senyum (Wén Tiān Xiáng文天祥), juga saat berjuang dan mencintai (Guānyǔ/ 關羽 ). Intinya adalah “ Tiga tidak lapuk ( 三不朽): menegakkan kata, menegakkan kebajikan, menegakkan jasa ( 立言 立德 立功 )”.
Dari semua paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa Agama Hua tidak hanya berdiri dan terbentuk dari satu faktor saja, tetapi bersifat amat luas. Agama Hua tidak lepas dari inti filosofi Tionghoa yang bersifat triadic. Agama Hua memiliki daya adaptif dengan tidak melepaskan dasar-dasarnya. Serta di masa sekarang banyak terjadi degradasi terhadap nilai-nilai luhur Agama Hua yang menyebabkannya dipandang sebelah mata.
DAFTAR PUSTAKA
李申, “中国儒教史”
叶舒宪,”中国神话哲学“
De Groot, “The Religious System in China”
John Lagerwey and Marc Kalinowski, ed, “Early Chinese Religion”
汤一介,张岱年, 朱博坤 等,“中国哲学史”
启良,“中国文明史”
Lin Yutang, “From Pagan to Christianity”
陈华文,”丧葬史“
陈支平 主编,“闽南宗教”
马倡议,“中国灵魂信仰”
陈偲, “比较儒道释的生死观”
郑镛,“闽南民间诸神探寻”
旃媛媛,“从宗教信仰看东南亚华侨华人的文化适应”
Cassier,Ernst, ” Manusia dan Kebudayaan : Sebuah Esei Tentang Manusia”
钟大荣 张禹东, “东南亚华侨华人宗教的历史角色与当代价值“
陈志华, “庙宇”
Dr.Toeti Heraty Noerhadi, “ Aku Dalam Budaya”
甘满堂,“宗教, 民间信仰,村庙信仰”
吉冈义丰,“中国民间宗教概说”
Komentar
Posting Komentar
Mohon untuk tidak memasang Iklan
ADMIN