Langsung ke konten utama

POLA ASIMILILASI ETNIS CINA MUSLIM DENGAN WARGA MUSLIM PRIBUMI DI BENGKULU PASCA REFORMASI


A. Latar Belakang 


Keturunan asing yang paling kuat kedudukannya dalam masyarakat Indonesia antara lain adalah orang Cina (Suparlan,1989:5). Masyarakat Cina dianggap sebagai imigran karena mereka mulai mendatangi kepulauan Nusantara diperkirakan pada awal abad ke 9 masehi. Etnis Cina hadir ke Indonesia dianggap sebagai pembawa perubahan terutama pada sistem teknologi pertanian dan perdagangan, karena peradaban Cina merupakan peradaban yang tinggi dan salah satu peradaban tertua di dunia. Etnis Cina hidup dan berkembang sebagaimana etnis pribumi lainnya di Nusantara. 
Keberadaan orang Cina di Indonesia sudah berlangsung sangat lama dan secara yuridis formal mereka telah menjadi warga negara Indonesia. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa di Kota Bengkulu, kesan eksklusif masih terpola. Dalam kehidupan sosial mereka cenderung hidup berkelompok dan interaksi dengan etnik lain masih sangat terbatas. Hal tersebut ditandai adanya eksklusivitas lokasi pemukiman dan eksklusivitas pada sekolah-sekolah tertentu yang mayoritas muridnya orang Cina. Dalam percakapan sehari-hari masih banyak menggunakan bahasa Cina serta dalam bertetangga masih mempunyai kecenderungan untuk tidak menunjukkan ciri solidaritas. Hal lain adalah mereka masih enggan bekerjasama dalam bidang usaha tertentu dengan kelompok pribumi. Ikatan solidaritas yang dilakukan adalah ikatan solidaritas antara sesama mereka.
Indikasi tersebut menunjukkan bahwa peran orang Cina dalam berbagai bidang kehidupan ekonomi, sosial, dan agama belum dapat memberikan kesan yang berarti dalam peningkatan pembauran dengan penduduk setempat, termasuk pula tingkat solidaritas yang relatif rendah. Seperti yang dikemukakan oleh Suparlan (1989:66) hubungan etnik Cina dengan kelompok etnik pribumi pada umumnya tidak terlalu “dekat” dan tidak telalu “jauh”. Etnik lokal di satu pihak kurang menyenangi golongan etnik Cina lainnya, tetapi di pihak lain dapat bekerjasama bahkan hidup berdampingan.
Dalam penilaian Gungwu (1981: 261-264), Indonesia merupakan contoh sebuah negara yang mempunyai “masalah Cina” yang teramat kompleks. Salah satu masalah tersebut erat kaitannya dengan identitas kultural mereka sebagai golongan etnis non pribumi, terhadap identitas kultural mayoritas penduduk golongan etnis pribumi. Bertolak dari asumsi tersebut jelas bahwa kemungkinan terjadinya konflik antar etnis terutama golongan etnis keturunan Cina amatlah besar.
Secara kuantitatif, etnis Cina merupakan minoritas di tengah kemajemukan etnis yang ada di Indonesia. Pada tahun 1961, Coppel mengemukakan taksirannya bahwa ada sekitar 2,45 juta jiwa etnis Cina atau sekitar 2,5 % dari total penduduk Indonesia. Sementara Wibowo (2000: xv) menakar jumlah etnis Cina di Indonesia sekitar 3 %. Lebih tinggi dari dari kedua taksiran tersebut, Taher menyebutkan angka 4-5 %. 
Dari segi tempat tinggal mereka, persentase terbesar (78, 4 %) etnis Cina bertempat tinggal di perkotaan, sedangkan sisanya (21, 6 %) bertempat tinggal di pedesaan. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar etnis Cina berkegiatan ekonomi pada sektor perdagangan dan industri perkotaan. 
Sejauh ini keberadaan etnis Cina masih menyimpan kerawanan untuk disalah persepsi, sehingga belum tercipta asimilasi yang benar-benar mengakar di segala lini. Proses asimilasi, interaksi dan komunikasi antara etnis Cina dengan masyarakat pribumi bisa dikatakan masih bersifat kamuflase dan masih elitis. 
Realitas tentang belum tuntasnya pembaharuan atau hubungan etnis Cina dalam masyarakat Indonesia dengan jelas terlihat dalam peristiwa kerusuhan 13-14 Mei 1998. Dalam peristiwa terjadi perusakan dan penjarahan terhadap harta milik orang Tionghoa dan kriminalitas terhadap orang Cina. 
Peristiwa ini sedikit banyak telah mempengaruhi kehidupan masyarakat Cina. Mereka yang tadinya sudah mulai berbaur dengan masyarakat setempat, akhirnya menjadi ekslusif dan terpisah dari orang pribumi. Pemerintah di era reformasi telah melakukan berbagai langkah untuk menetralisir keadaan agar tidak terjadi stereotipisasi negatif terhadap etnis Cina, termasuk memperbolehkan penggunaan istilah Tionghoa, mengizinkan perayaan Imlek Cap Go Meh dan pentas kesenian Barong Sai, dan lain-lain. 
Walaupun diakui semenjak reformasi terutama ketika pemerintahan Gus Dur, kualitas interaksi etnis Cina dengan masyarakat pribumi sudah semakin membaik, namun hal ini bukan berarti sudah tidak ada lagi persoalan menyangkut asimilasi. Dalam kehidupan sosial, etnis Cina tetap mengambil jarak dengan masyarakat pribumi karena mereka beranggapan kelompoknya merupakan orang terpandang, mempunyai banyak uang serta berpendidikan tinggi. Hidup dan kehidupan etnis Cina terpisah dengan orang setempat membuat mereka terasing dan kebiasaan hidup mereka mewah. Perbedaan kelas dan status antara etnis Cina dengan warga pribumi di Bengkulu sering kali membuat kecemburuan sosial. Di tambah kehidupan orang Cina yang berkelompok dan memisahkan diri misalnya di Kelurahan Kampung Cina Bengkulu telah mencerminkan bahwa mereka tidak berasimilisasi dengan warga pribumi. Tempat tinggal yang tidak membaur ini merupakan faktor terjadinya jarak sosial antara etnis Cina dengan etnis pribumi Bengkulu. 
Bisa digaris-bawahi bahwa persoalan terhambatnya proses asimilasi kalangan etnis Cina dipengaruhi oleh sejumlah faktor: lokasi, jenis, nama, bahasa, sejarah, "totok" dan "peranakan", lingkungan, Pendidikan, status, sosial ekonomi, dan kepercayaan. Sementara faktor di luar etnis yang menjadi sebab dari permasalahan asimilasi etnis Cina ialah kepentingan, jati diri dan arah perubahan masyarakat.
Faktor renggangnya jarak sosial dan hubungan antar etnis keturunan Cina dan Pribumi menurut Sanjatmiko (1999) adalah: (1) Tidak terjadinya perubahan pola kultur etnis keturunan Cina ke dalam penduduk pribumi, sehingga masih kuatnya in group feeling penduduk etnis keturunan Cina terhadap kulturnya; (2) Anggapan kultur etnis keturunan Cina lebih tinggi dari komuniti pribumi: (3) Prasangka stereotipe negatif terhadap penduduk pribumi yang pemalas, bodoh, tidak bisa menggunakan kesempatan baik dsb. Sebaliknya steorotipe penduduk etnis pribumi terhadap etnis keturunan Cina disebut sebagai golongan yang maunya untung sendiri tanpa melihat halal atau haram; (4) Diskriminasi pribumi terhadap etnis keturunan Cina dalam kesempatan menduduki jajaran aparat desa/pemerintahan; (5) Nilai-nilai dan kekuatan konflik yang ditunjukkan dengan adanya perbedaan agama dan kesenjangan ekonomi di antara kedua etnis. Berbagai aspek di atas diduga sebagai faktor penyebab terjadinya jarak sosial antara etnis pribumi dan keturunan Cina.
Meskipun berbagai kendala ini masih menghadang, proses asimilasi tetap dianggap sebagai pilihan terbaik untuk menciptakan integrasi etnis Cina dalam masyarakat Indonesia. Asimilasi (pembauran) dianggap sebagai solusi dari kompleksnya problem hubungan antara etnis Cina dengan etnis pribumi. Proses pembauran bisa terjadi dengan melalui akulturasi maupun asimilasi secara kultural, yaitu melalui amalgamasi biologis (perkawinan campuran). Namun, tidak semua hal tersebut dapat dilaksanakan karena tergantung pada kesadaran dari masing-masing pribadi. Anggapan mereka, jika mereka melakukan amalgamasi, status sosial mereka akan jatuh menjadi warga kelas dua. Mereka menganggap orang Cina adalah warga kelas satu. Menurut Hidayat (1993:6) mereka menganggap dirinya berada di atas kelompok etnik lainnya. 
Asimilasi yang sekarang lebih di kenal dengan istilah pembauran sampai saat ini masih di anggap suatu cara yang cukup baik untuk menyatukan antara mayoritas dan minoritas keturunan Tionghoa. Upaya pemerintah dalam rangka mempercepat proses pembauran dilakukan dengan berbagai jalan antara lain membentuk Bakom-PKB (Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa) yaitu, suatu badan kemasyarakatan yang bertujuan memperlancar dan mempercepat peningkatan persatuan serta pembauran antara warga Negara Indonesia asli di segala bidang kehidupan. Usaha yang lain adalah mengizinkan pendirian PITI, yaitu semacam panitia kerja, bukan ormas, akan tetapi untuk membantu warga keturunan Tionghoa masuk Islam dan menyalurkannya ke pangkuan rakyat sesama Muslimin. 
Akan tetapi, masalah pembauran yang selama ini di jalankan oleh pemerintah masih menonjolkan segi politisnya belum disertai upaya-upaya yang sistematis dalam membangun asimilasi. Sehingga apa yang sering nampak misalnya pembatasan atau pelarangan membesar-besarkan masalah perbedaan SARA, (Robert E. Park, 1957: 403). Padahal masalah ini tetap bergulir dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Pangkal dari permasalahan SARA tetap dpelihara misalnya dengan mendikhotomikan masyarakat umum (pribumi asli) maupun masyarakat non pribumi seperti Etnis Cina.
Pembauran yang paling tepat adalah melalui agama kelompok mayoritas, yaitu Islam. Jika peranakan Cina berbaur ke dalam agama etnis mayoritas maka pembauran akan berjalan cepat. Dengan memeluk Islam, peranakan Cina akan dapat diterima dan disambut dengan hangat karena dalam ajaran Islam ditekankan bahwa mukmin satu dengan lainnya bersaudara meskipun berbeda suku bangsa dan etnis. Perbedaan di antara mereka semata-mata hanya untuk saling mengenal (ta'aruf) saja. 
Dari segi agama agaknya masih perlu menjadi pertimbangan untuk menganggapnya sebagai faktor pendukung, mengingat kesadaran agama di kalangan Cina tidak dapat dikatakan baik. Apalagi dihubungkan dengan agama masyarakat setempat yang mayoritas Islam. Namun demikian, terhadap orang Cina yang telah menganut agama Islam dan menunaikan kewajiban sebagaimana mestinya, proses asimilasi benar-benar telah tercipta. Dengan demikian, berarti agama dapat dipastikan sebagai faktor pendukung bagi proses pembauran. Berdasarkan kenyataan bahwa banyak orang Cina yang telah menganut agama Islam dan dapat hidup berdampingan secara intim dengan masyarakat setempat, maka pendapat yang mengatakan bahwa agama Islam khususnya merupakan kesulitan utama dalam proses asimilasi di Indonesia (Bengkulu) tidaklah benar.
Termotivasi untuk mendalami permasalahan ini maka penelitian ini difokuskan pada pengamatan terhadap pola asimiliasi etnik Cina muslim dengan warga pribumi muslim di Bengkulu 



B. Permasalahan Penelitian

Penelitian ini secara umum mempertanyakan bagaimanakah pola asimilasi etnis Cina Muslim dengan warga pribumi di Bengkulu? Aspek¬-aspek khusus yang menarik untuk diungkap dalam penelitian ini antara lain adalah:
1. Bagaimanakah sikap dan pandangan etnis Cina Muslim terhadap proses asimilasi (pembauran) dengan etnis pribumi di Kota Bengkulu?
2. Faktor-faktor apa saja yang menjadi pendorong terhadap proses asimilasi etnis Cina Muslim dengan warga pribumi?
3. Bagaimanakah bentuk-bentuk asimilasi yang telah dilakukan oleh etnis Cina Muslim terhadap warga pribumi di Bengkulu?



C. Tujuan Penelitian 

Penelitian ini dilakukan dengan tiga tujuan:
1. Mengungkap sikap dan pandangan etnis Cina Muslim terhadap pentingnya proses asimilasi (pembauran) dengan etnis pribumi di Kota Bengkulu.
2. Mendeskripsikan faktor-faktor yang mendorong terhadap proses asimilasi dengan warga pribumi 
3. Mengeksplorasi bentuk-bentuk asimilasi yang telah dilakukan oleh etnis Cina Muslim terhadap warga pribumi di Bengkulu



E. Kerangka Teori

Menurut Lan (1998) pencarian jati diri orang Cina di Indonesia dihadapkan pada beberapa pilihan – menjadi Indonesia, tetap Cina atau mengadopsi identitas lain. Namun demikian nampaknya pilihan-pilihan tidak selalu menempatkan orang Cina pada keadaan yang mudah. Pilihan dengan identitas Indonesia telah difasilitasi pemerintah Orde Baru yang memberlakukan asimilasi inkorporasi (total) bagi orang Cina untuk menghilangkan identitas Cina-nya dan menjadi Indonesia. Namun demikian motivasi pemberlakuan asimilasi inkorporasi nampaknya lebih bernuansa ‘hukuman’ karena sangkaan keterlibatan orang Cina dalam pemberontakan PKI tahun 1965. Pada kenyataannya kebijakan tersebut justru memberikan kontribusi terhadap berbagai kerawanan dan gejolak sosial yang memprihatinkan seperti prasangka, kerusuhan-kekerasan massa dengan sasaran etnis Cina. Kebijakan tersebut juga menyisakan trauma bagi golongan minoritas ini , selain akibat berbagai tindakan kekerasan yang dialaminya, juga akibat perlakuan diskriminatif yang membelenggu gerak hidup masyarakat Cina ini (Susetyo, 1999) Asimilasi inkorporasi (total) itu sendiri pada kenyaannya telah gagal, sebagaimana asimilasi Melting Pot yang pernah diberlakukan di Amerika. Pada kenyataannya tidaklah mungkin untuk meniadakan akar budaya suatu golongan masyarakat begitu saja. 
Memilih mempertahankan identitas sebagai orang Cina juga bukan persoalan yang mudah, karena ke-Cina-an lekat dengan berbagai citra yang kurang menguntungkan di mata etnis pribumi maupun kalangan birokrasi pemerintahan. Hal tersebut dapat dilihat dari berkembangnya stereotip, prasangka dan diskriminasi yang semakin mempertegas citra buruk etnis Cina di mata etnis Indonesia lainnya. Sementara di kalangan aparat, birokrasi pemerintahan, sampai sekarang mereka nampaknya masih menggunakan paradigma lama dengan perlakuan diskriminatif terhadap etnis Cina misalnya dalam hal status kependudukan ataupun status kewarganegaraan. 
Di kalangan internal masyarakat Cina sendiri juga sedang terjadi pergeseran dalam memaknai arti identitas Cina itu sendiri dalam format yang berubah. Menurut Lan (1998) pergeseran tersebut dari ke-Cina-an yang tradisionil dan berorientasi etnis dan negeri leluhur menjadi ke-Cina-an yang modern dan berorientasi nasional dan lokal (dalam hal ini Indonesia). Pergeseran ini nampaknya juga terkait dengan upaya meninggalkan trauma masa lalu, dimana identitas Cina yang berorientasi pada budaya negeri leluhur tidak jarang terjebak pada persoalan-persoalan yang bernuansa politik, misalnya ketika hubungan antara Indonesia dengan RRC memburuk.
Keberadaan etnis Cina sebagai etnis minoritas juga sering kurang menguntungkan dalam konteks relasi minoritas – mayoritas. Etnis minoritas selalu menjadi sasaran prasangka dan diskriminasi dari kalangan mayoritas. Beberapa kali etnis Cina menjadi sasaran pengganti (displacement), kambing hitam bagi rakyat yang frustrasi di era pemerintahan Orde Baru yang represif dalam bentuk kerusuhan anti Cina yang sempat marak. Kedudukan sebagai minoritas bagaimanapun selalu rawan, baik itu dalam posisi sebagai minoritas yang lemah maupun minoritas yang kuat. 
Jika dilihat dari format negara Indonesia yang indigeneus nation (negara suku) maka sudah selayaknya format yang pas adalah menempatkan etnis Cina sama kedudukannya dengan suku-suku lainnya (Suryadinata, 1999). Di jaman Orde Lama, Bung Karno pernah memunculkan ide bahwa orang Cina adalah salah satu suku di Indonesia yang setara dengan suku Jawa, Sunda, Minang, Batak dan sebagainya. Dengan demikian orang Cina telah menjadi orang Indonesia sejati tanpa asimilasi total. Namun akibat meletusnya pemberontakan G30S PKI ide tersebut kandas untuk diwujudkan ( Suryadinata, 1993). Bahkan di era Orde Baru orang Cina harus melakukan asimilasi total dengan meleburkan identitas etnisnya ke dalam identitas etnis Indonesia (Susetyo, 2002). Selama Orde Baru berjaya dalam 3 dekade lebih, selama itu pula etnis Cina banyak mengalami diskriminasi. n.
Proses pembauran bisa cepat terjadi dengan melalui akulturasi maupun asimilasi secara kultural, yaitu melalui amalgamasi biologis (perkawinan campuran) dan konversi ke agama lokal. Namun, tidak semua hal tersebut dapat dilaksanakan karena tergantung pada kesadaran dari masing-masing pribadi. Anggapan mereka, jika mereka melakukan amalgamasi dan konversi agama (agama mayoritas di Bengkulu yaitu Islam), status sosial mereka akan jatuh menjadi warga kelas dua. Mereka menganggap orang Cina adalah warga kelas satu. Menurut Hidayat (1993:6) mereka menganggap dirinya berada di atas kelompok etnik lainnya. Kalaupun mereka melakukan konversi agama, lebih banyak beralih ke agama Kristen atau Katolik. Menurut Ali (1999:2) agama ini menjadi mayoritas bangsa Eropa yang identik dengan kemajuan atau “modern” sehingga status mereka tidak akan jatuh. Di sisi lain, agama Katholik dan Kristen masih mentolerir pemujaan terhadap arwah leluhur dan kebiasaan sehari-hari mereka tidak hilang. Kebiasaan yang dimaksud adalah berjudi, pantangan dalam makanan dan minuman tertentu. Agama Budha merupakan ajaran yang identik dengan ajaran Konghucu.
Berbeda dengan konversi ke agama Islam. Menurut Clammer (dalam Ali, 1999:1) perpindahan ke agama Islam tidak hanya sekedar menyatakan perpindahan kepercayaan agama, tetapi mencakup suatu perubahan identitas budaya. Di samping itu, pandangan etnik Cina terhadap Islam masih bersifat fenomenologis, yaitu sebuah ajaran yang bersifat kasat mata yang dipraktikkan oleh orang-orang Islam yang terkait dengan pengalamannya dalam kehidupan sehari-hari melalui kontak langsung sehingga menimbulkan kesan yang negatif terhadap Islam. Jika terdapat keluarga atau warga mereka yang melakukan konversi agama, mereka menyayangkan bahkan berusaha menghalanginya. 
Secara sosiologis, pembauran menurut ogburn dan Nimkoff adalah : “The proces where by individualis or groups once dissimilar become similar. That is, become idenitified in their interest and out look” (suatu proses dimana individu atau kelompok yang tidak sama menjadi sama, yaitu menjadi sama dalam perhatian dan pandangannya). Jadi, pembauran merupakan suatu proses sosial dalam taraf kelanjutan yang di tandai dengan adanya usaha-usaha mengurangi perbedaan yang terdapat antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia dan juga meliputi usaha-usaha untuk mempertinggi kesatuan tindakan, sikap dan proses mental dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan dan tujuan bersama. 
Asimilasi setidak-tidaknya dilaksanakan dalam lima kehidupan sebagai berikut, politik, ekonomi, sosial, budaya dan kekeluargaan (pernikahan). Pelaksanaan pembauran di segala bidang kehidupan secara serentak itu pada hakikatnya tetap di titikberatkan pada assimilasi sosial (Max lerner 1957 : 150). 



F. Metodologi Penelitian 

Peneliti dalam studi ini menggunakan pendekatan kualitatitf untuk mengungkap proses asimilasi etnis Cina muslim dengan warga pribumi di Bengkulu. Sesuai dengan kerangka penelitian kualitatif, peneliti memahami peristiwa dalam kaitannya dengan orang dalam situasi tertentu secara wajar, langsung apa adanya, tanpa dipengaruhi unsur-unsur dari lingkungan (Lexy Moeloeng, 1995: 23). Analisis dalam peneletian kualitatif menggunakan cara induktif dengan mengesampingkan hipotesis awal, namun mencari pola, bentuk dan tema-tema dalam mengungkapkan data secara sistematis. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, dapat ditemukan data yang tidak teramati dan terukur secara kuantitatif seperti nilai, sikap mental, kebiasaan, keyakinan dan budaya yang dianut seseorang atau kelompok dalam lingkungan tertentu. Data-data tersebut dikumpulkan peneliti dengan pengamatan lapangan, wawancara mendalam dan penelitian dokumen. 
G. Hasil Penelitian

(1) Sejarah Cina Muslim Di Bengkulu

Agama Islam merupakan agama yang banyak dianut oleh Masyarakat dunia, termasuk orang Cina. Islam bagi masyarakat Cina merupakan agama yang tidak asing lagi bagi mereka. Agama Islam datang ke Tiongkok diperkirakan pada awal lahirnya Islam. Dalam ajaran Islam ada suatu konsep ideologic adalah Tuntutlah ilmu Walau ke Negeri Cina. Menurut catatan sejarah kuno, pada awal abad pertama Masehi di negeri Tiongkok telah dicetak buku yang dibuat dari kulit domba. Anjuran tersebut menunjukkan selain masyarakat Cina yang terkenal dengan ilmu dan teknologi yang tinggi sekaligus peradabannya yang termasyhur. Di camping itu hubungan antarperadaban Timur Tengah dan Asia tidak begitu jauh sehingga menjadikan agama Islam lebih cepat dikenal di negara Tiongkok. 
Sebagian besar sarjana berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Tiongkok pada pertengahan abad ke-7. Peristiwa penting tersebut terjadi pada masa Khalifah Usman bin Affan (577-656) mengirim utusannya yang pertama ke Tiongkok pada tanggal 25 Agustus tahun 651 M (2 Muharram 31 H). Ketika menghadap Kaisar Yong Hui dari Dinasti Tang, utusan dari Arab itu memperkenalkan keadaan negerinya serta agama Islam. Sejak saat itulah mulai tersebar agama Islam di Tiongkok (Yuanzhi, 2000:47).
Para pendakwah menyiarkan Islam waktu itu melalui jalur sutra yaitu perjalanan laut dan darat. Hubungan Islam dengan bangsa Tiongkok dimulai pada awal lahirnya Islam. Akan tetapi setelah Islam berkembang dengan pesat melalui ilmu pengetahuan dan peradaban, agama Islam semakin berkembang di Tiongkok terutama pada abad ke-13 banyak prang Islam di Asia Tengah dan Asia Barat yang dipimpin oleh Jenghis Khan berinteraksi dengan peradaban Tiongkok (Yuanzhi, 2000:48). Setelah abad ke-15, hubungan Islam dengan bangsa Cina semakin nyata terutama melalui perdagangan. Di samping para musafir muslim yang datang ke Tiongkok menikah dengan wanita setempat sehingga keturunannya menganut agama Islam.
Demikian juga pendakwah yang terkenal dari Tiongkok, Cheng Ho, sering mengadakan perjalanan ke seluruh pelosok Nusantara. Bahkan Cheng Ho di Indonesia merupakan tokoh Islam yang sangat berjasa bagi perkembangan Islam abad ke-15. Islam di negara Tiongkok merupakan agama modern yang datang dari dunia luar dari ajaran Kong Hu Cu. Akan tetapi agama Islam tidak terjadi pertentangan antara masyarakat pada masa itu. 
Di Kota Quanzhou di provinsi Fujian, terkenal sebagai pelabuhan perdagangan dan pusat penyebaran agama Islam di Tiongkok selatan sejak Dinasti Tang (619-907). Di kota tersebut banyak terdapat mesjid tertua di Tiongkok dan perkuburan para pendahulu agama Islam. Pada tanggal 31 Mei tahun 1417 (tanggal 14 rabiul akhir tahun 820 Hijriah), Cheng Ho sebelum mengadakan perjalanan yang ke-5 memerlukan datang ke Quanzhou untuk berziarah di perkuburan para pendahulu Islam di Bukit Ling, Quanzhou (Yuanzhi, 2000:36).
Di Indonesia, Cheng Ho merupakan tokoh etnis Cina yang sangat terkenal dan merupakan pendakwah sekaligus diplomat yang sangat berjasa terhadap Islam. Melalui Cheng Ho pemerintahan Tiongkok mengikat hubungan dilomatik sehingga Dinasti Tiongkok menyerahkan lonceng cakra Donya kepada Raja Pasai Bengkulu. Disamping itu Raja Pasai mengirimkan utsanya untuk bekerjasama dengan Raja Tiongkok, sehingga hubungan antarbangsa tersebut telah bejalan pada abad ke-12 dan ke-13.
Di samping itu di Indonesia banyak etnis Cina beragama Islam yang berperan dalam pengembangan dakwah seperti H. Karim Oei (1905-1988 (Jahja, 2002, 21). Karim Oei merupakan pendakwah yang terkenal dan mempunyai hubungan baik dan dekat dengan Presiden Soekarno. Di samping itu seorang etnis Tionghoa yang sangat berperan dalam mencerdaskan bangsa adalah H. Masagung (1927-1996) (Jahja 2002: 229). H Masagung aktif juga dalam pengembangan Islam terutama dalam penerbitan dan percetakan.
Ekspansi perdagangan Cina di Asia Tenggara dimulai pada abad ke-15, diketahui oleh Cheng Ho. Setelah itu banyak saudagar Cina yang merantau ke nusantara. Kebanyakan etnis Tionghoa pada abad ke-16 tinggal di Palembang. Setelah itu banyak etnis Cina tersebar ke seluruh kepulauan di Asia Tenggara. Kedatangan Etnis Cina ke Nusantara semula semata-mata mencari mata pencaharian atau berdagang. Misi dagang yang dipraktikkan ribuan tahun yang lalu menjadi peradaban yang diwariskan kepada generasi selanjutnya sampai saat ini. Oleh karena itu budaya dan motivasi bisnis di kalangan etnis Cina masih menjadi perhatian para pebisnis di dunia. Banyak etnis Cina Perantauan yang sangat berhasil dalam berbisnis sehingga para pebisnis dunia khawatir suatu saat etnis Cina menguasai bisnis dunia.
Awal kedatangan Muslim Tionghoa di Nusantara tidak diketahui secara tepat waktunya seperti juga awal kedatangan etnis Tionghoa ke Nusantara ini, kecuali dari riwayat dan bukti sejarah berupa peninggalan benda-benda arkeologis dan antropologis yang berhubungan dengan kebudayaan Cina yang ditemukan. Hal ini membuktikan bahwa hubungan dagang antara negeri Cina dengan Nusantara sudah terjadi sebelum masehi.
Sebagai agama, Islam masuk dan berkembang di negeri Cina, melalui jalur perdagangan. Begitu pula Islam masuk ke Nusantara. Kebanyakan sarjana berpendapat bahwa peristiwa masuknya agama Islam ke Cina, terjadi pada pertengahan abad VII. Saat itu kekhalifahan Islam yang berada di bawah kepemimpinan Utsman bin Affan (557-656M) telah mengirim utusannya yang pertama ke Cina, pada tahun 651 M. Ketika menghadap kaisar Yong Hui dari Dinasti Tang, utusan Khalifah tersebut memperkenalkan keadaan negerinya beserta Islam. Sejak itu mulai tersebarlah Islam di Cina (http://www.indocina.net/blog) 
Islam masuk ke Cina melalui daratan dan lautan. Perjalanan darat dari tanah Arab sampai kebagian barat laut Cina dengan melalui Persia dan Afghanistan. Jalan ini terkenal dengan nama jalur sutra. Sedangkan perjalanan laut melalui Teluk Persia dan Laut Arab sampai ke pelabuhan-pelabuhan Cina seperti Guangzhou, Quanzhou, Hangzhou, dan Yangshou dengan melalui Teluk Benggala, Selat Malaka dan Laut Cina Selatan. 
Keturunan asing yang paling kuat kedudukannya dalam masyarakat Indonesia antara lain adalah orang Cina (Suparlan,1989:5). Telah menjadi ciri khas bahwa hampir di semua tempat di Indonesia terdapat WNI keturunan Cina yang telah bermukim secara turun temurun. Soemardjan (1988:176), menyatakan bahwa dalam kehidupan sehari-hari mereka kebanyakan masih tinggal dan bermukim di daerahdaerah tertentu dengan mengelompok, sehingga kurang atau tidak terlibat secara aktif dalam kemasyarakatan, terutama dalam melakukan pembangunan di lingkungan tempat tinggalnya. 
Husodo (1985:38), menyatakan bahwa tempat tinggal golongan Cina di banyak tempat, selalu bergerombol dalam suatu tempat tersendiri yang disebut “pecinan” (Cina Town) dan memberikan kesan eksklusif. Keberadaan orang Cina di Indonesia sudah berlangsung sangat lama dan secara yuridis formal mereka telah menjadi warga negara Indonesia. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa di Kota Bengkulu, kesan eksklusif masih terpola. Dalam kehidupan sosial mereka cenderung hidup berkelompok dan interaksi dengan etnik lain masih sangat terbatas. Hal tersebut ditandai adanya eksklusivitas lokasi pemukiman dan eksklusivitas pada sekolah-sekolah tertentu yang mayoritas muridnya orang Cina. 
Menurut Clammer (dalam Ali, 1999:1) perpindahan ke agama Islam tidak hanya sekedar menyatakan perpindahan kepercayaan agama, tetapi mencakup suatu perubahan identitas budaya. Di samping itu, pandangan etnik Cina terhadap Islam masih bersifat fenomenologis, yaitu sebuah ajaran yang bersifat kasat mata yang dipraktikkan oleh orang-orang Islam yang terkait dengan pengalamannya dalam kehidupan sehari-hari melalui kontak langsung sehingga menimbulkan kesan yang negatif terhadap Islam. Jika terdapat keluarga atau warga mereka yang melakukan konversi agama, mereka menyayangkan bahkan berusaha menghalanginya. 
Kendati demikian, kecenderungan melakukan konversi ke agama Islam masih terdapat di kalangan orang Cina. Demikian pula halnya di Kota Bengkulu, kecenderungan perubahan pada perilaku religius untuk memeluk agama Islam relative banyak. Keadaan ini mendapat tanggapan yang sangat positif dari etnik lain khususnya yang beragama Islam.Diungkap oleh Rabeendran (dalam Dollah, 1986:23) bahwa di Malaysia kelompok imigran yang beragama Islam lebih mudah berasimilasi dibanding dengan kelompok imigran yang tidak beragama Islam. Contohnya, orang Jawa, orang Arab, dan orang India Muslim (Mamak), imigran yang tidak beragama Islam ialah Cina Baba (peranakan), Portugis, dan Hindu Perananakan. 
Sebuah penelitian yang mengambil fokus di Kampung Mata Ayer Malaysia diungkap oleh Dollah (1986: 86), bahwa jumlah orang Cina yang beragama Islam di kampung Mata Ayer tidak banyak. Mereka yang memeluk Islam biasanya pindah ke tempat lain. Dengan kata lain setelah mereka memeluk Islam, mereka memutuskan hubungan dengan keluarga asal yang bukan Islam. Istilah etnik Cina muslim dan nonmuslim digunakan oleh penulis berdasarkan pola interaksi yang dilakukannya dengan etnik lain yang mayoritas beragama Islam di Kota Bengkulu. Etnik Cina yang beragama Islam disebut etnik Cina muslim, dan istilah etnik Cina nonmuslim digunakan untuk membedakan tingkat solidaritas yang terjadi dengan etnik Cina yang bergama Islam (etnik Cina muslim). 
Secara garis besar, etnik Cina di Kota Bengkulu terdiri dari dua etnik yaitu Hakka atau Khek dan Tio Ciu yang rata-rata mempunyai tingkat perkenomian yang cukup tinggi. Mereka terdiri dari tiga golongan pedagang. Pertama, golongan pengusaha besar yaitu importir-importir, pemilik industri pertambangan, industri perkebunan, pemilik pasar swalayan dan lain-lain dan mereka ini biasa dikenal dengan istilah “cukong”. Kedua, golongan pedagang menengah, yang terdiri dari pemilik ruko-ruko yang berada di kawasan pusat perdagangan, dan berperan sebagai distributor. Ketiga, golongan pedagang kecil, yang umumnya pemilik toko-toko kecil yang tersebar di pemukiman penduduk sebagai pengecer. Golongan ini jumlahnya relatif kecil (Observasi dan wawancara, 2002).
Orang Cina di Kampung Cina dan daerah-daerah lainnya di Kota Bengkulu saat ini jumlahnya tidak begitu banyak. Berdasarkan data BPS, penduduk Kota Bengkulu sebesar 237.202 jiwa, sedangkan etnik Cina berkisar 14.187 jiwa atau 0,06 persen. Dari jumlah tersebut etnik Cina yang beragama Islam hanya sekitar seribu orang atau 1,2 persen. Keadaan ini menunjukkan bahwa etnik Cina muslim berjumlah relatif kecil. Namun demikian, pembauran yang terjadi antara etnik Cina muslim dengan etnik lain muslim memberikan kesan bahwa mereka relatif dapat diterima dengan penuh keakraban dan persaudaraan, frekuensi interaksi sosial mengalami peningkatan. Kenyataan ini menimbulkan pertanyaan, apakah setelah berbeda agama, tingkat solidaritas antara etnik Cina muslim dengan etnik Cina non-muslim masih tinggi.


(2) Sikap dan Pandangan Etnis Cina Muslim terhadap Proses Asimilasi 

Dari para responden yang berhasil ditemui peneliti terungkap bahwa asimilisasi (pembauran) merupakan sebuah langkah yang sangat positif untuk membangun kerukunan sosial. Salah seorang responden, Cuk Wan (Ali Dharmawan) menegaskan dirinya perlu berasimilasi dan berinteraksi dengan masyarakat pribumi karena sama-sama sebagai warga negara Indonesia. Cina asal Palembang ini yang mengaku masuk Islam sejak tahun 1980 ini sudah biasa berbaur dengan warga lokal yang beragama Islam dalam kegiatan sosial, kerja bhakti/gotong royong (Wawancara, 21 Oktober 2010). 
Berdasarkan penelusuran peneliti terungkap warga Cina Muslim Bengkulu menekuni profesi sebagai pedagang. Sebut saja salah satunya H. Ujang Cik (A Fong), 45 Tahun. Saudara-saudaranya yang lain, Antonie, Ion, Asri dan Asni juga mengikuti jejaknya memeluk agama Islam. H. Ujang Cik mengaku memeluk agama Islam sejak umur 17 Tahun. Dia sejauh ini telah berasimilasi dengan para pedagang dari Padang di pasar Minggu melalui kegiatan arisan, pengajian, shalat berjamah, peringatan hari besar Islam seperti Isra' mi'raj, halal-bihalal, tabligh muslibah dan lain-lain (Wawancara dengan H. Ujang Cik, 28 Maret 2010). 

Sikap untuk berasimilasi lebih positif datang dari etnis Cina yang beragama Islam. Mereka mendukung upaya-upaya asimilasi yang dilaksanakan oleh Pemerintah. Misalnya, program pemerintah seperti penyuluhan tentang P4. Pada penataran P4 dahulu, etnis Cina muslim mau mengikutinya. Etnis Cina Muslim bersedia datang ke penyuluhan maupun penataran. Hal ini berbeda dengan etnis Cina non-muslim yang sering kali enggan mengikuti program pemerintah. Bahkan ada yang melecehkan adalah mereka pergi ke kantor pemerintah hanya memakai celana pendek dan sandal jepit. Di samping itu pada saat mengikuti acara-acara misalnya, mereka enggan sekali mengurangi berbicara bahasa Mandarin di depan umum. Bahkan mereka mengatakan, orang Bengkulu boleh menggunakan bahasa Bengkulu, mengapa kami etnis Cina tidak boleh. Dengan kata lain, etnis Cina enggan berasimilasi melalui bahasa kecuali jika mempunyai hubungan langsung dengan orang Bengkulu. Oleh karena itu etnis Cina di Bengkulu terkesan sangat mempertahankan budaya leluhumya sekaligus terkesan adanya keterpaksaan dan tidak mau berasimilasi dengan masyarakat pribumi sekaligus sangat susah diminta mengikuti penataran dan penyuluhan yang dilancarkan oleh pemerintah. Sebaliknya, cina muslim di Bengkulu yang peneliti temui bisa berbahasa Indonesia dengan lancar dan sudah bersikap dan berkepribadian seperti orang Indonesia. Mereka sudah membiasakan dalam kesehariannya dengan berbahasa Bengkulu dan Bahasa Indonesia. 

Asimilasi yang terjadi dengan sendiri terutama melalui bahasa sangat berkesan bagi pribadi etnis Cina muslim yang biasa berbahasa Bengkulu. Fenomena ini jelas berbeda dengan kebiasaan orang-orang Cina pada umumnya yang sangat loyal terhadap bahasa dan teman-temannya di kalangan masyarakat. Bagi etnis Cina Muslim umumnya agak longgar dengan kebudayaan leluhurnya, bersikap inklusif (terbuka) dan mau membaur dengan masyarakat pribumi. Etnis Cina muslim yang dapat berbahasa Bengkulu terlihat perilakunya seperti orang Bengkulu sekaligus tidak membatasi diri dalam bergaul dengan siapa saja. Sedangkan bagi etnis Cina yang enggan berbicara bahasa Bengkulu maupun bahasa Indonesia, umumnya tinggal di komunitas Cina di Bengkulu. 

Etnis Cina muslim yang tinggal di tengah-tengah perkampungan dari komunitas etnis Bengkulu tentu saja sering berinteraksi dengan etnis Bengkulu. Kebanyakan dari mereka dapat berbahasa Bengkulu. Oleh karena itu sikapnya pun sangat bersahabat terhadap orang Bengkulu. jika etnis Cina yang bersangkutan sering bergaul dan berteman dengan etnis Bengkulu, maka jika diajak berkomunikasi akan lebih cepat akrab. Akan tetapi sebaliknya, jika ada etnis Cina yang sangat jarang berkomunikasi dengan orang Bengkulu, maka mereka masih sangat curiga terhadap etnis di luar etnisnya sendiri. Fenomena tersebut dapat dilihat dari pengamatan bahwa etnis Cina yang ekslusif selain sulit menyebutkan identitasnya sekaligus mereka sangat lama terbuka terhadap etnis lain. Dengan kata lain, etnis Cina muslim yang secara kebetulan sering berinteraksi dengan etnis Bengkulu lebih cepat akrab dan tidak menaruh curiga terhadap etnis lain. Sedangkan Etnis Cina yang tinggal di Bengkulu namun dalam setiap harinya hanya berkomunikasi dengan etnisnya sendiri, dan bagi kaum laki-lakinya minum kopi pun di warung kopi milik orang Cina maka mereka akan sulit berasimilasi. 



(3) Faktor-Faktor Pendorong Asimilasi Etnis Cina Muslim Bengkulu

Proses pembauran, interaksi dan solidaritas sosial etnik Cina muslim dengan warga pribumi di Kota Bengkulu dipengaruhi oleh faktor keluarga dan faktor agama sehingga membentuk ikatan solidaritas yang kuat di antara mereka. Pertama, peranan keluarga sangat berpengaruh dalam pembentukan pribadi etnik Cina muslim. Mereka mempunyai kepekaan sosial terhadap lingkungan sekitarnya, khususnya terhadap keluarga dan para tetangga sehingga membentuk solidaritas sosial yang kuat. Khusus Cina muslim laki-laki, setelah memeluk Islam ada perubahan nama. Namun, sebagian masih mencantumkan nama marga/klan. Hal tersebut disebabkan tanggung jawabnya sebagai keturunan laki-laki yang meneruskan tanggung-jawabnya terhadap kelangsungan garis keturunan sebagai pewaris, dan mereka masih berhak mendapatkan harta warisan dari orang tuanya, tentunya sesuai dengan kebijaksanaan dari orang tua tersebut. Demikian pula dengan penggunaan nama marga pada anakanaknya.
Namun demikian, penggunaan nama marga tersebut tidak berpengaruh pada pembagian harta warisan, karena pembagian harta warisan sudah menggunakan ajaran Islam. Hubungan keterikatan dengan masyarakat Cina masih sangat dekat, baik itu dengan pihak keluarga maupun dengan orang Cina lainnya, karena mereka merasa masih sebagai orang Cina. Di satu sisi orang Cina muslim masih terikat oleh tradisi dan ikatan kekerabatannya, namun di sisi lain pola sikapnya disesuaikan dengan ajaran Islam dan mereka membina pergaulan dengan masyarakat muslim. 
Kedua, agama berperan untuk memperbaiki akhlak manusia. Berdasarkan observasi dan wawancara selama penelitian lapangan, peran agama dalam keluarga etnik Cina merupakan unsur utama karena agama menurutnya mengandung nilai-nilai universal yang berisi pendidikan dan pembinaan pembentukan moral dalam keluarga. Rumah tangga juga dijadikan oleh etnik Cina sebagai wadah aktivitas upacara-upacara religi yang bersifat tradisional, yaitu pemujaan terhadap leluhur bagi anggota keluarga maupun bagi keluarga yang lebih besar dalam satu garis keturunan/shiang. 
Pola kepercayaan orang-orang Cina pada umumnya dipengaruhi oleh tiga sistem kepercayaan, yaitu Budha, Taoisme, dan Konfusianisme. Motivasi untuk beragama Islam sebagian besar bukan karena faktor keluarga, tetapi karena faktor pergaulan di lingkungan tempat tinggal. Artinya, keberagamaan dan keyakinan terhadap Islam merupakan bentuk kesadaran kehidupan religiusnya yang sudah melalui proses panjang, sehingga bentuk penyadarannya adalah implementasi dari sebuah keyakinan akan kebenaran agama. Pada umumnya etnik Cina untuk beralih ke agama Islam sangat sulit, karena menyangkut perubahan identitas budaya. Sebagaimana studi yang dilakukan oleh Clammer tentang etnik Cina Baba di Malaka (Afif,1999:1), perpindahan kepada Islam tidak hanya sekedar menyatakan perpindahan kepercayaan agama, tetapi mencakup perubahan identitas budaya. Pada tingkat yang lebih luas, perpindahan kepada Islam mensyaratkan khitan, pantang makanan yang diharamkan (seperti daging babi) dan pantang meminum minuman keras (beralkohol), berbuat lacur, bohong, dan berjudi. Semua itu dipandang sebagai bagian dari kebiasaan orang-orang Cina. Amalgamasi dan konversi agama ke agama Islam bagi etnik Cina di Bengkulu diperkirakan masih akan berlangsung hingga kini. Latar belakang kesadaran mereka untuk memeluk agama Islam karena faktor pergaulan dengan etnik lain yang beragama Islam. Kenyataan ini memberikan penguatan bahwa keberadaan mereka dapat diterima etnik lain dengan ditunjukkan adanya kesamaan keyakinan (agama).
Etnik Cina yang telah lama memeluk agama Islam umumnya menyekolahkan anaknya pada sekolah-sekolah agama (Islam), atau memberikan kursus mengaji pada anaknya. Alasannya, mereka menginginkan anak-anaknya setidak-tidaknya memahami ajaran Islam. Dengan sendirinya anak-anak mereka lebih banyak bergaul dengan umat muslim, walaupun tidak menutup kemungkinan untuk bergaul dengan keluarga mereka (orang Cina). Ikatan kekerabatan bagi Cina muslim tetap terjalin, dan identitas sebagai orang Cina masih melekat. Cara hidup, tempat tinggal, bahasa, adat istiadat menghormati leluhur, kesemuanya masih menampakkan identitas ke-Cinaannya. 
Pilihan terhadap sekolah-sekolah Islam ini dilakukan oleh keluarga Afong (H. Ujang Cik). Menurut penuturannya, dia memasukkan dua orang anaknya di sekolah-sekolah Islam seperti SDIT Iqra dan SMPIT Iqra’ Bengkulu. Anaknya yang pertama, Mutiara Redita Anjani selepas di SMPIT Iqra’ Bengkulu kemudian dikirim ke SMUIT Nurul Fikri Banten. Anaknya yang nomor dua, Kiki Bayu Rahardi selepas SDIT Iqra’ Bengkulu dikirim ke Ponpes Rafa Bogor (Wawancara, 22 Maret 2010).
Orang Cina Muslim Kota Bengkulu saat ini jumlahnya tidak begitu banyak. Dari jumlah yang sedikit tersebut jika dibandingkan dengan masyarakat pribumi, terbagi ke dalam dua kelompok berdasarkan asal kelahiran dan lamanya tinggal di Kota Bengkulu. Kelompok pertama adalah orang Cina yang lahir dan telah lama tinggal menetap di Kota Bengkulu, yaitu disebut Cina Bengkulu asli. Kelompok kedua adalah kelompok Cina pendatang, yang lahir di luar Kota Bengkulu dan tinggal menetap di Bengkulu belum terlalu lama jika dibandingkan dengan kelompok pertama. Pada umumnya kedua kelompok adalah golongan Cina peranakan, karena Cina totok sudah tidak lagi ditemukan dengan adanya perkawinan campur antara orang Cina dan orang Bengkulu, dan terhentinya arus migrasi orang-orang Cina dari daratan Cina ke Indonesia (Bengkulu).
Dari segi agama, kesediaan sebagian komunitas Cina memeluk agama Islam telah menjadi faktor pendukung terjadinya asimiliasi, karena menjadi mudah bergaul dengan agama masyarakat setempat yang mayoritas Islam. Jadi, bagi orang Cina yang telah menganut agama Islam dan menunaikan kewajiban sebagaimana mestinya, proses asimilasi benar-benar telah tercipta. Dengan demikian, berarti agama dapat dipastikan sebagai faktor pendukung bagi proses pembauran. Berdasarkan kenyataan bahwa banyak orang Cina yang telah menganut agama Islam dan dapat hidup berdampingan secara intim dengan masyarakat setempat, maka pendapat yang mengatakan bahwa agama Islam khususnya merupakan kesulitan utama dalam proses asimilasi di Indonesia (Bengkulu) tidaklah benar. 

(4) Bentuk-Bentuk Asimilasi Etnis Cina Muslim Bengkulu

a. Kontak dan Kerjasama

Dalam interaksinya dengan masyarakat pribumi di Bengkulu, Cina muslim tidak hanya berhadapan dengan orang-orang Cina saja, tetapi juga berhadapan dengan kelompok suku bangsa lain. Baik dari suku asli pribumi Bengkulu maupun suku-suku lain, yang juga ikut membaur, misalnya suku Padang, Batak, Suku Lembak, Palembang dan lain-lain. Umumnya mereka memandang suku bangsa lain, adalah sama dengan bangsa mereka sendiri, apalagi statusnya sama-sama menjadi perantau, sehingga hakikatnya sama saudara (Wawancara dengan Ujang Cik, tanggal 20 September 2010).
Adapun hubungan mereka dengan Cina beragama lain, tetap terjalin dengan baik dan tetap harmonis. Hal ini terjadi secara natural, bahwa bagi mereka agama adalah pilihan hidup, tetapi ikatan kekeluargaan adalah penting untuk terus di bina, bahkan beberapa pengakuan dari mereka (Cina Muslim), beranggapan selama hubungan yang terjalin berkaitan dengan urusan dunia dan tidak menyentuh pada aspek aqidah, maka hal itu harus terus di bangun. Hal ini akan berbeda dengan beberapa suku bangsa lain, ketika mereka melakukan konversi agama, maka akan diasingkan dan bahkan di putuskan jaringan sebagai keluarga. 
Sedangkan bentuk lain, sebagai perekat yang dapat menyatukan mereka dalam berhubungan sesama Cina biasanya terjadi karena adanya sesuatu event yang dapat mempererat hubungan mereka, dan mempermudahkan mereka dalam berinteraksi adalah datangnya tahun baru pada kalender Cina, yang dikenal dengan Imlek. Biasanya mereka setiap tahun merayakan peristiwa itu, dengan cara yang muda berkunjung kepada yang lebih tua, mungkin lebih tepat diumpamakan dengan umat Islam di Indonesia umumnya, melakukan kunjungan kerumah-rumah setiap idul fitri.
Komunitas Cina Muslim Bengkulu juga terlibat dalam organisasi kemasyarakatan. Salah seorang responden, Cuwan (Ali Darmawan) mengaku pernah menjadi salah seorang pengurus PITI Cabang Lubuk Linggau. Dia berkeinginan agar di Bengkulu di aktifkan organisasi yang bisa memediasi etnis Cina yang beragama Islam. Harapan ini disampaikan karena dirinya merasa tidak mampu lagi memelopori kegiatan keorganisasian ini karena sudah berusia senja (80 Thn). Demikian juga halnya dengan masyarakat Cina Muslim Bengkulu ada keinginan yang kuat untuk mengaktifkan organisasi PITI. Hanya saja di Bengkulu belum begitu nyata gerakan mereka dalam bentuk bangunan fisik seperti yang ada ditempat-tempat lain, sebagaimana dijelaskan di atas. Namun demikian, umumnya Cina muslim yang ada di Bengkulu, ikut berpartisipasi dalam kelompok PITI ini. 
b. Perdagangan
Etnis Cina muslim Bengkulu umumnya menekuni dunia bisnis. Bisnis mereka lebih berhasil dibandingkan dengan bisnis orang pribumi. jika sebuah perusahaan berhasil dalam bidang nonkeuangan, biasanya mengembangkan bisnisnya di bidang keuangan. Sehingga banyak etnis Tionghoa yang menguasai pasar secara nasional maupun internasional, terutama di Asia. Demikian halnya sebagian besar etnis Tionghoa di Bengkulu bergerak dalam bidang bisnis. 
Afong (H. Ujang Cik), adalah salah seorang pedagang yang sukses di Kompleks Pertokoan Prapto Kota Bengkulu. Nama pengusaha Cina muslim yang lain adalah H. Muhammad Irawan, pemilik toko bangunan Wijaya di Panorama. Afong setiap hari berinteraksi dengan orang-orang pribumi sehingga sangat akrab dengan warga pribumi. Di Bengkulu sejak dulu sudah ada orang-orang Cina yang bekerja dan berbisnis. Karena orang Cina banyak yang berbisnis dan berhasil (Wawancara, 28 Maret 2010). Menurutnya Etnis Cina di Bengkulu banyak yang berbisnis, termasuk emas. Namun dalam bidang perdagangan emas etnis Bengkulu juga berkembang dan tidak kalah bersaing dengan pedagang emas lainnya. Hubungan antara etnis Cina dan warga Bengkulu berjalan dengan baik. Menurut Ujang Cik, saling menghargai atas dasar prinsip perdagangan membuat kehidupan bisnis terutama sesama pedagang berjalan dengan harmonis. 
Sebagai seorang muslim, Ujang Cik tidak membatasi diri bergaul dengan etnis Cina. Teman-temannya orang Cina pun sangat menghargainya. Di samping itu beberapa keluarganya ada yang menikah dengan orang Cina, perempuan maupun laki-laki. Hubungan yang terjalin sesama rekan bisnis terjadi secara profesional sekaligus berimbas pada hubungan sesama kelompok pedagang. Artinya, kelompok pedagang sangat kompak dan saling memberi informasi. Demikian halnya ada perkumpulan pedagang di Pasar Prapto sesama anggota saling mengunjungi terutama pada hari raya Idul Fitri, pesta pernikahan, dan acara kematian pada orang Cina maupun warga Bengkulu. 
Hubungan bisnis antara orang Bengkulu dengan etnis Cina (termasuk Cina Muslim) dari dahulu hingga sampai saat ini masih terjadi. Karena jika orang Bengkulu tidak mempunyai hubungan bisnis dengan orang Cina maka orang Cina tidak berkembang di Bengkulu. Hubungan bisnis antara etnis Cina dengan orang Bengkulu diperkirakan sudah berjalan puluhan dan bahkan ratusan tahun. Muhammmad Irawan adalah salah satu contoh warga keturunan Cina yang puluhan tahun sudah bergaul dengan orang Bengkulu sekaligus menjalankan bisnisnya di Bengkulu. 
Hubungan bisnis yang dijalankan antara etnis Cina dengan etnis Bengkulu atas saling percaya dan saling menguntungkan. Saat ini banyak etnis Bengkulu yang bekerja pada etnis Cina dan hubungan di antara mereka berjalan lancar. Fenomena itu terjadi di waktu pagi terutama di pasar Bengkulu dan Pasar Bengkulu. Mereka tidak membedakan pedagang etnis Cina dan pedagang pribumi. Di Pasar Bengkulu setiap pagi banyak orang Cina berjualan kue dan pembelinya sangat beragam yaitu orang Cina dan orang Bengkulu. Hubungan tersebut berjalan sangat rasional.
c. Jalur Keagamaan (Pengajian)
Asimilasi melalui jalur keagamaan ini dilakukan oleh warga etnis Cina Muslim melalui pengajian keagamaan, jamaah shalat fardhu, shalat jum’at, shalat hari raya, halal-bihalal dan lain-lain. Di Bengkulu muncul salah seorang Ustad keturunan Cina, H. Martias SH yang aktif menjadi penceramah dan khotib. Dia menjadi khotib tetap di Masjid Marlbourgh Bengkulu (Wawancara dengan Zulkarnain, 24 Oktober 2010). 
Sebagian etnis Cina muslim yang lain aktif mengikuti kegiatan-kegiatan pengajian. Seperti diakui oleh H. Ujang Cik, ia aktif mengikuti pengajian yang digelar oleh kelompok pedagang asal Padang yang mengadakan acara pengajian rutin bulanan. H. Muhammad Irawan juga aktif mengikuti pengajian yang di gelar di masjid-masjid di Kota Bengkulu, seperti di Masjid Baitul Izzah, komunitas pengajian Halaqah Kiai Muhammad Syamlan dan pengajian-pengajian yang lain. Melalui forum keagamaan ini, mereka bisa berbaur dengan umat Islam dari berbagai etnis di Bengkulu. 
Agama memang bisa menjadi salah satu media untuk membantu memperlancar proses pembauran antara etnis Cina dengan warga pribumi. Pembauran dan asimilasi warga keturunan Tionghoa kedalam bangsa Indonesia dapat terbantu cara Islamisasi secara damai/kesadaran, bukan paksaan/tekanan. Anggapan ini muncul dari sebagian warga Negara Indonesia yang beragama Islam. Dengan masuknya mereka kedalam agama Islam, secara otomatis akan menjadi saudara seiman dan dapat meleburkan jurang pemisah yang sebelumnya menjadi ganjalan untuk dapat bergaul secara akrab. Seperti yang kita lihat sekarang ini banyak kaum keturunan yang ingin masuk kedalam agama Islam, adalah suatu bukti nyata bahwa Islam tidak menyulitkan bagi siapapun untuk memeluknya. Hal ini menandakan bahwa agama Islam sudah tidak di pandang sebagai agama interior oleh keturunan Tionghoa, karena di antara yang turut masuk Islam dari berbagai golongan mulai dari pengusaha, intelektual dan generasi muda keturunan Tionghoa. 
d. Pola Pemukiman
Dari segi sosiologis, warga Cina muslim relatif lebih berhasil dalam membangun relasi sosial. Komunitas Cina Muslim Bengkulu berhasil membangun asimilasi dengan warga-warga yang lain Bengkulu. Asimilasi sosial tercermin dalam kehidupan pemukiman atau tempat tinggal. Warga Cina Muslim berhasil melakukan pembauran, sehingga tempat tinggalnya mereka tak jarang berada di tengah-tengah warga-warga pribumi yang lain. Ketika peneliti menanyakan kepada responden, Ali Darmawan, ada sekitar 10 KK keturunan Cina yang beragama Islam di Desanya, Sumurmeleleh Kecamatan Teluk Segara. Mereka tinggal membaur dan bergaul dengan warga selama bertahun-tahun dengan harmonis. Bahkan, mereka merasa aman, dihargai dan dilibatkan dalam kegiatan masyarakat tanpa merasa didiskriminasikan. Warga Cina muslim ini tidak membuat sistem pemukiman block, namun tinggal berpencar-pencar menyatu dengan warga Bengkulu yang lain. Dalam catatan peneliti, warga Cina Muslim ini antara lain Hasan Salim, Sukrianto, Afi, Yam Kiam dan Mery (Wawancara dengan Cuk Wan, 22 Oktober 2010).
Etnis Cina Muslim, sebut saja misalnya H. Muhammad Irawan dan Ali Darmawan yang sudah lama tinggal di Bengkulu merasa nyaman dan tidak terasing dengan orang Bengkulu. Ia tidak tinggal di Kampung Cina, namun memilih berdomisili di tengah-tengah warga pribumi. Di samping rumahnya kini berdiam orang-orang dari berbagai etnis pribumi. Hubungannya dengan etnis Bengkulu berlangsung normal. Rumahnya diapit oleh rumah etnis Bengkulu. Kondisi yang serupa mewarnai etnis Cina muslim yang berdomisili di Desa Sumurmeleleh Kecamatan Teluk Segara. Jumlah mereka sebanyak 10 KK berbaur dengan masyarakat. Mereka berbicara dalam bahasa Bengkulu. Menurut Cuk Wan yang hidup berdampingan dengan etnis Bengkulu, setiap hari bila berjumpa dengan orang Bengkulu ia bercengkerama dan berkomunikasi seperti dengan orang lain. Cuk Wan yang memiliki toko di rumahnya, menye¬butkan bahwa interaksi antara ia dengan orang Bengkulu terjadi dengan sendirinya sebab ia tinggal di lingkungan orang Bengkulu. la pun dapat berbahasa Bengkulu sekaligus ia juga agak hitam war¬na kulitnya sehingga wajah dan perilakunya dan bergaul dengan orang Bengkulu, sehingga interaksinya dengan warga Bengkulu berlangsung harmonis. Ia setiap hari bertemu dengan orang Bengkulu. Karena itu, interaksinya dengan orang Bengkulu berlangsung normal.
Gambaran asimilasi yang seperti ini tentu saja tidak nampak di Kampung Cina. Kampung Cina dikenal sebagai pusat konsentrasi pemukiman etnis Cina di Bengkulu. Etnis Cina yang tinggal di dis sini, dulu memang dikondisikan oleh pemerintah Hindia Belanda, sehingga sampai saat ini mereka lebih senang tinggal di komunitasnya sendiri. Demikian halnya tradisi mempertahankan identitas budaya dan cinta kebudayaan membuat etnis Cina cenderung tinggal di tempat yang banyak dihuni oleh sesama etnisnya sendiri. Demikian halnya kebiasaan bisnis yang diwariskan secara turun-temurun membuat etnis Cina lebih betah tinggal di kelompoknya sendiri. Jaringan yang dipraktikkan oleh etnis Cina Perantauan di Bengkulu sampai sekarang masih berlaku dan mentradisi bagi etnis Cina sendiri. Jaringan yang dibentuk tersebut membuat mereka menjadi lebih dekat dan percaya terhadap etnis Cina daripada etnis lainnya.
e. Pernikahan 
Pernikahan Etnis Tionghoa dengan masyarakat pribumi yang beragama Islam bisa terjadi. Hal inilah yang bisa membawa Etnis Tionghoa untuk memeluk agama Islam. Bagaimanapun juga, kalau orang laki-laki pribumi yang beragama Islam menikah dengan seorang wanita Tionghoa maka pernikahannya akan diatur oleh hukum Islam, karena seorang istri harus mengikuti suami. Pernikahan diantara dua individu yang berbeda agama, masing-masing harus tunduk pada hukum-hukum yang dianut oleh hukum suami. Pernikahan antara Etnis ini mendapat perhatian khusus dari pemerintah Indonesia, khususnya pada masa Orde Baru.
Proses asimilasi antara etnis Cina muslim dengan warga pribumi di Bengkulu juga karena faktor maraknya pernikahan antar etnis Cina muslim dengan wanita pribumi. Proses perkawinan seperti ini bisa dikategorikan sebagai perkawinan antaretnik (asimilasi perkawinan atau amalgamasi). Menurut penelusuran, kebanyakan isteri-isteri etnis Cina Muslim berasal dari warga Bengkulu. Dalam model perkawinan seperti ini, antara pasangan suami isteri lebih melihat kesamaan agamanya, bukan melihat segi etnisnya. Berkaitan dengan persoalan ini, peneliti berusaha mengkofirmasikan dengan Ujang Cik. Dikatakannya, ia menikahi seorang muslimah asli Palembang, namanya Nyimas Tauhidah. Kejadian seperti ini mendapat respon positif dari warga. Dari data yang dihimpun terungkap bahwa salah seorang Cina Muslim, Muh. Irawan (pemilik toko bangunan Wijaya di Panorama) menikahi perempuan warga Bengkulu asli, Lindawati, Effendi Salim menikahi perempuan asal Malalo Padang, Hasan Salim juga menikah perempuan asli Bengkulu (Wawancara dengan Cuk Wan, 22 Oktober 2010). 
Setelah Islam datang ke Bengkulu, sistem kemasyarakatan, sistem ne¬gara atau dengan kata lain, sistem budaya Bengkulu diwarnai oleh Islam. Namun demikian sistem budaya dan kesenian sedikitnya masih banyak dipengaruhi oleh budaya India, sedangkan pakaian banyak dipengaruhi budaya India dan bahasa dipengaruhi oleh Indocina dan Arab. Etnis Cina yang datang ke Bengkulu dulu umumnya umat Kong Hu Cu dan Budha, dan mereka mengajarkan agama mereka kepada umatnya sendiri, sedangkan etnis Cina Islam yang terkenal sebagai Bahariwan dan pernah menyerahkan hadiah kepada Raja Bengkulu adalah Cheng Ho. Cheng Ho sebagai muslim yang tact dan diplomat ulung pada Dinasti Ming mengelilingi Asia Tenggara sampai 7 kali perjalanan. Selain Cheng Ho, juga ada penyiar agama Islam keturunan Cina seperti Kariem Oi, Masagung sedangkan yang lainnya tidak banyak diketahui sehingga sedikit diketahui etnis Cina yang menganut agama Islam. Jika pun ada yang beragama Islam, mereka telah menetap di Bengkulu.Asimilasi melalui agama Islam atau agama mayoritas merupakan suatu hal yang sangat mudah diterima oleh masyarakat. Namun demikian etnis Cina yang menganut agama Islam di Bengkulu sangat sedikit. 



f. Jalur keorganisasian dan Perpolitikan
Di Kota Bengkulu, secara struktural memang tidak tampak kegiatan-kegiatan mereka pada ormas Islam, hanya saja secara keseluruhan mereka tetap memiliki pegangan atau keikutsertaan dalam memilih pemahaman keagamaan terhadap ormas Islam, terdapat dari mereka yang mengikuti cara ibadah NU, Muhammadiyah, dan Tarbiyah Islamiyyah. Menurut mereka semua organisasi Islam pada dasarnya baik, dan memiliki landasan hukum yang jelas, hanya saja tetap saja memiliki peran dan pengalaman serta pilihan masing-masing individu dalam melaksanakan ibadah. Sebagian Cina Muslim di Bengkulu juga melibatkan diri dalam wadah Pembina Iman Tauhid Islam d/h Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI). PITI merupakan organisasi yang didirikan di Jakarta, pada tanggal 14 April 1961, antara lain oleh almarhum H.Abdul Karim Oei Tjeng Hien, almarhum H. Abdusomad Yap A Siong dan almarhum Kho Goan Tjin bertujuan untuk mempersatukan muslim Indonesia dengan Muslim keturunan Tionghoa dan muslim keturunan Tionghoa dan etnis Tionghoa erta umat Islam dengan etnis Tionghoa. 
Sejak didirikan sampai dengan saat ini, keanggotaan dan kepengurusan PITI bersifat terbuka dan demokratis, tidak terbatas (eksklusif) hanya pada Muslim keturunan Tionghoa tetapi juga berbaur dengan Muslim Indonesia. Ibarat sesosok tubuh manusia, maka “wajahnya adalah muslim keturunan Tionghoa”, bagian/ komponen tubuh lainnya adalah muslim Indonesia. Jika pada satu saat, karena kesepakatan anggota, kepanjangan PITI kembali menyandang/mempergunakan nama etnis Tionghoa pada nama organisasi ini, itu semata-mata sebagai strategi dakwah dan kecirian organisasi ini bahwa prioritas sasaran dakwahnya tertuju kepada etnis Tionghoa. 
Bagi etnis Tionghoa non muslim, PITI dapat jadi jembatan antara mereka dengan umat Islam. Bagi Pemerintah, PITI sebagai komponen bangsa yang dapat berperan strategis sebagai jembatan, penghubung antara suku dan etnis, sebagai perekat/lem untuk mempererat dan sebagai benang yang akan merajut persatuan dan kesatuan bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Muktamar Nasional III PITI di Kota Surabaya ini, tanggal 2-4 Desember 2005, untuk periode 2005-2010, memilih kembali sebagai Ketua Umumnya, HM Trisno Adi Tantiono. 
Dalam bidang perpolitikan, kecenderungan para warga etnis Cina Muslim adalah bergabung ke partai-partai yang berbasis keagamaan, misalnya PKS, PAN, PPP, PKB dan juga bergabung ke beberapa partai lainnya berbasis nasionalis seperti Golkar, PDI P, dan lain-lain. Bahkan salah seorang warga keturunan Cina yang beragama Islam, namanya Effendi Salim berhasil menjadi anggota DPRD dari PKS (Wawancara, 22 Oktober 2010). Melalui wadah parpol-parpol ini, mereka terlibat dalam proses penentuan arah dan perjalanan berbangsa dan bernegara, yang secara tidak langsung menjadikan mereka berasimilasi dengan etnis-etnis yang lain di Bengkulu. 
g. Berganti Nama/Tukar Identitas
Merupakan sesuatu yang sesuatu yang lumrah di kalangan beberapa daerah atau proses pembauran antar penduduk, terutama dalam etnis cina muslim di Bengkulu, melakukan pertukaran nama dari nama “cina” menjadi nama-nama yang lebih familier dengan masyarakat Bengkulu. Berdasarkan hasil penelitian, kebanyakan etnis Cina Muslim menggunakan nama-nama Islami, sementara nama Cinanya sudah tersamarkan. Contohnya, salah seorang responden memiliki nama Cina Afong, kemudian berganti nama Ujang Cik, Antonius kemudian berganti nama menjadi Ahmad Salahuddin. Anak-anaknya juga menggunakan nama-nama yang lebih dikenali yakni: Kiki Bayu Rahardi, Ahmad Fauzan Adima dan Mutiara Redita Anjani. Putera-puteri H. Muhammad Irawan, pemilik took bangunan H. Wijaya yang terletak di Panorama juga menggunakan nama-nama yang lebih dikenali: Mita Munawaroh, Ayudi dan Nursela. 
h. Seni Budaya
Masyarakat Tionghoa Bengkulu, agaknya, perlu bersyukur bahwa Imlek dijadikan hari besar Nasional Imlek 2553 Tahun Cina yang jatuh pada tanggal 12 Februari 2002 silam. Hal ini tak terlepas dari perjuangan sebuah lembaga yang menamakan diri Yayasan Lestari Kebudayaan Tionghoa Indonesia (YLKTI). Di Bengkulu Sendiri terdapat Yayasan Yasin merupakan kumpulan etnis Tionghoa asal Bengkulu. Masyarakat Tionghoa sendiri telah ada di Bengkulu telah ada di Bengkulu semenjak jaman penjajahan inggris di Bengkulu. Belum ada sumber yang dapat menjelaskan waktu yang pasti kapan kedatangan mereka di Bengkulu. Tapi pastinya sangat terkait dengan keberadaan pelabuhan Bencoolen di daerah kampung cina sebagai gerbang masuk seluruh pendatang. Walau tergolong pendatang tapi budaya tionghoa telah bercampur dengan budaya Bengkulu, baru-baru ini pun mereka ikut tampil dalam kesenian budaya Tabot Bengkulu. Apalagi di hari besar imlek, tarian barongsai dapat kita lihat di bebrapa sudut kota Bengkulu (http://ragam bengkulu.blogspot.com/ 2010/01/budaya-tionghoa-di-bengkulu.html
Asimilasi dalam seni budaya telah menumbuhkan saling apresiasi budaya yang sangat tinggi di antara warga. Hal ini mengakibatnya hidup dan tumbuh berkembangnya budaya-budaya warisan dari darah asal. Menurut warga, kesenian tradisonal khususnya yang bernuansa keagamaan bisa berkembang dengan memperoleh ruang secara lebih toleran di kawasan ini. Hal ini ditandai berkembangnya group-group kesenian barongsai dan dipentaskan pada acara-acara Tabot, Tujuh Belasan dan acara-acara penting yang lain. 
i. Penggunaaan Bahasa
Penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari orang-orang Cina Muslim di Kota Bengkulu, seperti di berbagai tempat lain, menggunakan Bahasa Indonseia dengan baik dalam berkomunikasi. Bahkan, dari mereka telah banyak yang telah membaur dengan masyarakat asli Bengkulu dengan menggunakan bahasa daerah Bengkulu dalam berkomunikasi sehari-hari (Wawancara dengan Cuk wan, 22 Oktober 2010).
Bahasa Bengkulu bagi Cuk Wan adalah suatu kebutuhan utama dalam menjalankan kegiatan sosial warga Cina di Bengkulu. Bahasa Bengkulu adalah bahasa daerah, menurut Afong (H. Ujang Cik), Bahasa Bengkulu banyak diketahui oleh etnis Cina, terutama yang tinggal di pinggir kota maupun yang berinteraksi langsung dengan orang Bengkulu. sebagai etnis Cina yang dilahirkan di Bengkulu Pak Ahsan lancar berbahasa Bengkulu. Fenomena tersebut karena sebagai salah seorang pengurus Yayasan sosial harus berinteraksi dengan orang Bengkulu setiap saat. Ahsan sebagai pengurus Toa Pe Kong, ia sering berbicara dengan penggali kuburan menggunakan bahasa Bengkulu. Demikian halnya jika pergi ke desa ia sering mempergunakan bahasa Bengkulu sehingga bahasa Bengkulu tidak asing bagi Ahsan. Demikian juga supir bis sekolah Cina dan mobil jenazah adalah etnis Bengkulu, sehingga Ahsan dengan sendirinya dapat berbicara dalam bahasa Bengkulu.
Menurut pengakuan Ali Darmawan, dirinya berko¬munikasi dengan para tetangganya dengan menggunakan bahasa Bengkulu. Asimilasi melalui bahasa daerah sebagai jembatan dalam berasimilasi. Asimilasi melalui bahasa Bengkulu terlihat pada etnis Cina yang tinggal di pinggir perkotaan maupun yang berjualan di pasar-pasar tradisional. Oleh karena itu bahasa Bengkulu mereka sangat lancar. Demikian halnya jika etnis Cina yang dapat berbicara dengan bahasa Bengkulu umumnya sangat akrab dengan orang Bengkulu sekaligus kehidupannya tidak eksklusif dan pergaulannya tidak terbatas pada etnis Cina saja tetapi bergaul dengan kelas di masyarakat. 
Bahasa Bengkulu sebagai bahasa ibu bagi masyarakat Bengkulu menurut penuturan Cuk Wan, ia sudah terbiasa mendengar orang Bengkulu berbicara bahasa Bengkulu. Oleh karena itu, Cuk Wan sudah lancar berbahasa Bengkulu. H. Muhammad Irawan sebagai pemilik toko bangunan Wijaya, yang semua konsumennya adalah orang Bengkulu menjadikan ia dengan sendirinya dapat berbahasa Bengkulu. Di samping itu Cuk Wan sebagai orang Cina yang berdomisili di Bengkulu, menyebutkan bahwa bahasa Bengkulu adalah bahasa yang sangat penting jika kita ingin berbisnis di Bengkulu. Oleh karena itu Cuk Wan saat ini sangat aman hidup dan tinggal di Bengkulu. Ia dan keluarganya tidak pemah membayangkan untuk hijrah ke tempat lain. Darwin selain dapat berbicara dalam bahasa Bengkulu secara fasih sekaligus anak-anaknya semua sekolah dan kuliah di Bengkulu sehingga pergaulannya semua dengan orang Bengkulu.
Dengan kata lain, asimilasi melalui Bahasa Melayu Bengkulu dilakukan oleh warga Cina dengan motivasi yang beragam. Sebagian dimotivasi untuk kepentingan bisnis dan harmonisasi social. Fenomena menunjukkan bahwa etnis Cina yang dilahirkan di Kota Bengkulu selain dapat berbahasa Bengkulu dengan lancar, mereka juga sangat menyatu dengan masyarakat Bengkulu. 
Anak anak ujang cik bersekolah di sekolah di Bengkulu. Ia waktu sekolah sering bergaul dengan etnis beragam yang mereka pergunakan bahasa Indonesia karena diajarkan di rumah maupun disekolah. Setelah berhari-hari berinteraksi dengan orang Bengkulu baru ia dapat berbahasa Indonesia. Saat ini ia sudah bisa bergaul dengan orang bengkulu karena sebelumnya setiap hari, mereka bergaul dengan etnisnya yang berbicara dalam bahasa melayu. 




j. Jalur Pendidikan 
Asimilasi melalui pendidikan sebagai proses sosialisasi yang dilakukan oleh etnis Cina Muslim di Bengkulu suatu kesengajaan dari etnis Cina, terutama para remaja. Karena di Bengkulu sekolah swasta Islam yang diunggulkan adalah SDIT dan SMPIT Iqra’ maka para orang tua dari etnis Cina Muslim yang anak-anaknya memperoleh pendidikan umum dan keagamaan yang maksimal cenderung menyekolahkan ke sekolah model Islam terpadu ini. Tercatat para orang tua dari kalangan etnis Cina Muslim antara lain: H. Muhammad Irawan dan Ujang Cik memasukkan anak-anaknya ke SDIT dan SMPIT Iqra’ Bengkulu. 
Melalui media pendidikan atau sekolah ini, proses asimilasi antara mereka dengan warga pribumi tercipta dengan sendirinya tanpa suatu pemaksaan. Sebab sekolah sebagai media pertemuan beragam etnis sekaligus media berinteraksinya siswa yang berbeda budaya atau subbudaya yang ada di Bengkulu. Dengan adanya asimilasi melalui pendidikan menciptakan suatu hubungan sesama etnis semakin harmonis. Oleh karena itu, asimilasi melalui media pendidikan sebagai awal dari asimilasi yang akan berkembang di kemudian hari, di antaranya melalui agama dan pernikahan. Asimilasi melalui media sekolah dapat membentuk suatu sikap kebersamaan, profesi, dan pembentukan kesatuan bangsa berbasis keindonesian. Karena sekolah, terutama sekolah pemerintah, berperan sebagai sekolah yang dapat menampung semua aspirasi ma¬syarakat Indonesia.



H. Simpulan 
Berdasarkan paparan di muka dapat ditarik beberapa poin pemikiran: 
1. Proses asimilasi etnik Cina muslim dengan etnis lain di Bengkulu dipengaruhi oleh faktor agama dan sosial sehingga membentuk ikatan solidaritas yang kuat di antara mereka. 
2. Etnik Cina Muslim di Kota Bengkulu dalam kehidupan sosial membentuk kelompok ikatan kekerabatan yang mencair dan inklusif (terbuka). Etnis Cina muslim sudah bisa menyerasikan dengan tradisi yang ada di agama Islam. Dalam memilih pasangan hidup pun Etnis Cina muslim sudah bisa lebih dalam
3. Ada beberapa bentuk asimilasi yang terjadi di kalangan etnis Cina Muslim di Bengkulu. Asimilasi itu terjadi melalui jalur: Kontak dan kerjasama, perdagangan, keagamaan/pengajian, pola pemukiman, pernikahan, organisasi dan perpolitikan, berganti nama/tukar identitas, seni dan budaya, penggunaan bahasa, dan jalur pendidikan. 







DAFTAR PUSTAKA



Afif, 1999. Etnik Cina dalam Kehidupan Sosial Masyarakat Majemuk. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
Ali, HM & Hariyudin (editor), 1999. Persepsi WNI Keturunan Cina terhadap Islam. Jakarta: Balai Penelitian Agama dan Kemasyarakatan.
Budiman, Amen. 1979. Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia. Semarang: Penerbit Tanjung Sari. 
Budiman, A.(1998). Cina atau Tionghoa. dalam Majalah Mingguan D&R. No.01/XXX/22 Agustus 1998.
Dollah, Hanapi, 1986. Asimiliasi Budaya, Kajian Kes Komuniti Cina di Kelantan, Malaysia, Penerbit Universiti kebangsaan Malaysia.
Eka, dkk. 2007. Sejarah Keturunan Tionghoa Indonesia htp//pantangpulang sebelumpadam. blogspot.com/ 2007/12/Sejarah-Keturunan-Tionghoa-Indonesia. html 
Garna, Yudistira K. 1996. Ilmu-Ilmu Sosial, Dasar-Konsep-Posisi. Bandung: Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung.
Harioyono, Paulus.,2006, Stereotipe Dan Persoalan Enis Cina di Jawa. Mutiara wacana, Semarang. 
------------Kultur Cina dan Jawa ( Pemahaman Menuju Asimilasi Kultural ). Jakarta : Sinar Harapan. 
Hidayat, ZM., 1984. Masyarakat Dan Kebudayaan Cina Indonesia. Bandung: Tarsito.
Husodo, Siswono Yudo, 1985. Warga Baru Kasus Cina di Indonesia. Jakarta: Yayasan Padamu Negeri.
John. E neveront, 1999 : 55-56. Jaringan Masyarakat Cina. (Jakarta. PT Golden Terayon Press. 
Kartodirdjo, Sartono. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta PT. Gramedia. 
Koentjaraningrat. 1993. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : PT Gramedia. 
Lan, T.J.(2000). Susahnya Jadi Orang Cina. Ke-Cina-an Sebagai Konstruksi Sosial. Dalam Wibowo, I (editor). Harga Yang Harus Dibayar. Sketsa Pergulatan Etnis Cina di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Pusat Studi Cina.
Leo Suryadinata, 2002. Negara Dan Etnis Tionghoa. Jakarta : Pustaka LP3S INDONESIA. 
Muhajir, Noeng, 2000. Metodologi penelitian kulitatif. Yogyakarta Rake Sarasin. Hal 183-188. 
Mackie, J.A.C. (1991). Peran ekonomi dan identitas Etnis Cina Indonesia . Jakarta: Pustaka Utama Grafika. 
Markhamah. 2005, Etnik Cina (Kajian linguistik Kultural). Surakarta, MU. Press. Universitas Muhamadiyah Surakarta. 
Misbah Zulfa Elizabeth, Cina Muslim Studi Ethnoscience Keberagamaan Cina Muslim (Semarang: Walisong Press, 2009). 
Park, Robert E.1957 : 281. Encylopedi Of The Social Science. Jakarta, PT. Sinar Harapan. 
Poerwanto, Hari, 2005. Orang Cina Khek dari Singkawang, Depok, komunitas Bambu. 
Ramli, dkk. 2006. Mengenal Islam. UPT. UNNES Press 
Saidi, Ridwan, 1986. Cina Muslim di Indonesia. Jakarta, Yayasan Ukhuwah Islamiah. 
Soemardjan, Selo, 1988. Streotip Etnik, Asimilasi, Intergritas Sosial. Jakarta: Pustaka Grafika Kita.
Suparlan, Parsudi, Yuswantoro, A. Kurnadi. 1989. Interaksi antar Etnik di Beberapa Propinsi di Indonesia, Depdikbud, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisonal, Proyek Investarisasi dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya
Suryadinata, L.(1999). Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa. Jakarta: LP3ES. 
Zastrow, Charles, 1989. Understanding Human Behavior and The Social Environtment. Chicago: Nelson, Hall.
Zein, Abdul Baqir, 2006. Etnis Cina Dalam Potret Pembauran di Indonesia, Jakarta, Prestasi Insan Indonesia.
Z.M, Hidayat, 1993. Masyarakat dan Kebudayaan Cina Indonesia, Bandung: Tarsito.

Komentar