Dalam bagian ini akan dibahas kedudukan kewarganegaraan Kelompok Etnis Tionghoa di Indonesia. Dua undang-undang yang dikeluarkan oleh 2 pemerintah yang berbeda, yaitu negara Tiongkok dan pemerintah Hindia Belanda, telah membuat penduduk migran Tionghoa di Hindia Belanda sebelum Perang Dunia Kedua memiliki 2 kewarganegaraan secara sah. Undang-undang kewarganegaraan Tiongkok yang diumumkan tahun 1909 (ditegaskan kembali tahun 1929) menyatakan bahwa semua warga migranTiongkok yang berdiam di Hindia Belanda sebagai warganegara Tiongkok.
Sementara itu sebuah undang-undang yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda tahun 1910 mengakui semua penduduk migran Tiongkok yang berdiam di Hindia Belanda sebagai rakyat kerajaan Belanda. Keadaan ini merupakan hasil dari kebangkitan nasionalisme Tiongkok pada awal abad ke 20, ketika masing-masing negara, yaitu Tiongkok dan Hindia Belanda, ingin menarik kesetiaan warga Tiongkok perantauan ke pihak sendiri.
Sejak itu, sampai Indonesia merdeka tahun 1945, setiap warga Kelompok Etnis Tionghoa di Hindia Belanda menjadi warga dari 2 negara secara bersamaan. Inilah yang disebut dengan istilah dwi kewarganegaraan. Namun dalam percakapan sehari-hari mereka masih disebut sebagai bangsa Tiongkok oleh penduduk Pribumi, yaitu satu sebutan peninggalan zaman kolonial.
Pada bulan April 1946, pemerintah Republik Indonesia yang baru merdeka, yang dikuasai oleh Pribumi Indonesia, mengumumkan satu undang-undang kewarganegaraan yang baru, dengan azaz ius soli* dan sistem pasif. Di sini dinyatakan bahwa seluruh Pribumi Indonesia adalah praktis warganegara Republik Indonesia. Sementara itu golongan lain, termasuk Kelompok Etnis Tionghoa, baru akan menjadi warganegara Republik Indonesia, kalau mereka :
(1) Lahir di Indonesia, dan telah tinggal di Indonesia minimal selama 5 tahun.
(2) Tidak menolak kewarganegaraan Republik Indonesia.
Undang-undang ini ternyata kurang efektif menyentuh warga Kelompok Etnis Tionghoa karena kurang diketahui umum, dan pula situasi politik Indonesia masih belum menentu.
Pada awal tahun 1950, sesudah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Belanda dalam Konferensi Meja Bundar Desember 1949, diperkirakan jumlah penduduk Kelompok Etnis Tionghoa di Indonesia adalah 2.1 juta jiwa, dan sekitar 1.5 juta punya potensi untuk menjadi warganegara Republik Indonesia karena lahir di Indonesia. Namun demikian, menurut Kementerian Kehakiman Republik Indonesia, sejumah 390,000 orang dari mereka yang berpotensi itu menyatakan menolak kewarga-negaraan Republik Indonesia dan memilih kewarga-negaraan lain, sehingga mereka yang benar-benar berpotensi untuk menjadi warga negara Indonesia tinggal 1.1 juta jiwa. Alasan penolakan ini tidak dijelaskan, kemungkinan adalah ketakutan akan dijadikan tentara dan kuatir masa depan yang tidak terjamin di negara Republik Indonesia yang baru.
Pada tahun 1954 pemerintah Republik Indonesia merancang satu undang-undang kewarga-negaraan yang baru. Isi dari rancangan undang-undang ini antara lain menyatakan bahwa warga Keturunan Etnis Tionghoa di Indonesia tidak dapat menjadi warga negara Republik Indonesia, kecuali kalau mereka memenuhi syarat-syarat di bawah ini :
(1) Mempunyai bukti bahwa orang tua mereka lahir di Indonesia, telah tinggal di Indonesia selama 10 tahun.
(2) Menyatakan secara resmi menolak kewarga-negaraan Republik Rakyat Tiongkok.
Peraturan di atas secara khusus dilakukan untuk mengantisipasi perjanjian dwi kewarganegaraan antara Republik Rakyat Tiongkok dan Republik Indonesia yang diadakan pada tahun 1957, dan berlaku sejak tahun 1960. Butir (2) di atas, yaitu menyatakan secara resmi menolak kewarganegaraan Republik Rakyat Tiongkok, diperlukan oleh Republik Indonesia mengingat bahwa mereka itu berpotensi untuk punya dwi kewarganegaraan, yaitu warganegara Republik Rakyat Tiongkok dan Republik Indonesia.Ini tidak diinginkan oleh Republik Indonesia.
Peraturan ini tentu saja ditujukan kepada Kelompok Etnis Tionghoa yang punya potensi untuk menjadi warganegara Republik Indonesia, yang pada tahun 1950 diperkirakan berjumlah 1.1 juta jiwa. Sementara itu, sisanya, yang pada tahun 1950 diperkirakan berjumlah 1 juta jiwa, jelas berwarganegara asing, baik karena lahir di luar Indonesia maupun karena telah menyatakan penolakan untuk menjadi warga negara Republik Indonesia. Mereka inilah yang dikemudian hari menuai hasil dari pilihannya sendiri, yaitu mengalami kesulitan untuk memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia.
Pada tahun 1957 ditandatangani satu perjanjian tentang kewarganegaraan Kelompok Etnis Tionghoa di Indonesia antara Republik Rakyat Tiongkok dan Republik Indonesia. Dalam perjanjian ini dinyatakan bahwa Kelompok Etnis Tionghoa berkewarganegaraan ganda, yaitu Tiongkok dan Indonesia, diberikan waktu 2 tahun untuk memilih menjadi warga dari salah satu negara.
Yang mengabaikan pernyataan ini otomatis menjadi warga negara Republik Rakyat Tiongkok. Diperkirakan oleh Skinner bahwa pada tahun 1960 sekitar 600,000 sampai dengan 800,000 orang (dari 1.1 juta orang yang tercatat sebagai punya potensi untuk menjadi warganegara Republik Indonesia pada tahun 1950) memilih menjadi warganegara Republik Indonesia. Dengan demikian, sisanya yang 300,000 sampai 500,000 orang memilih kewarganegaraan Republik Rakyat Tiongkok atau stateless*. Mereka ini, bersama dengan 1 juta orang terdahulu yang memang warganegara RRT atau sudah menolak kewarganegaraan Republik Indonesia, berarti jatuh menjadi warganegara asing.
Jadi, perbandingan pada tahun 1957 itu adalah antara sekitar 600,000 sampai 800,000 ribu yang memilih kewarga-negaraan Indonesia (WNI) berbanding dengan 1,300,000 sampai 1,500,000 yang memilih kewarga-negaraan asing (WNA). Mereka yang memilih kewarga-negaraan asing jauh lebih banyak dari pada yang memilih kewarganegaraan Indonesia, termasuk Liem Koen Hian, seorang tokoh Tionghoa peranakan yang kontroversial dan pro perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dia memilih jadi warganegara Republik Rakyat Tiongkok karena kecewa dipenjarakan kabinet Sukiman selama beberapa bulan pada tahun 1951.
Lie Tek Tjeng, seorang pengamat masalah Tionghoa Indonesia, memperkirakan, terdapat 3 juta orang Kelompok Etnis Tionghoa di Indonesia pada tahun 1967. Setengah dari mereka adalah warga negara Republik Indonesia, 250,000 orang warga negara Republik Rakyat Tiongkok, dan sisanya 1,250,000 orang adalah stateless*. Sementara itu Direktorat Imigrasi Indonesia menyatakan bahwa pada tahun 1971 terdapat 1,010,652 orang Kelompok Etnis Tionghoa yang bukan warga negara Republik Indonesia, terdiri atas 871,090 warga negara Republik Rakyat Tiongkok, 149,486 stateless*, dan 66 orang memegang paspor Taiwan. Dengan kata lain, pada tahun 1971 itu sudah lebih dari 2 juta jiwa Kelompok Etnis Tionghoa yang menjadi warga negara Republik Indonesia. Angka ini dianggap terlalu tinggi oleh Suryadinata.
Masalah kewarganegaraan Kelompok Etnis Tionghoa ini terus menjadi masalah yang rumit, baik untuk dalam negeri Indonesia maupun dalam kaitan dengan hubungan diplomatik dengan RRT, meskipun kabarnya setiap bulan ada sekitar 300 orang kepala keluarga Kelompok Etnis Tionghoa yang mendapat kewarganegaraan Indonesia sejak tahun 1969. Dari taksiran mingguan Tempo, Suryadinata mengutip, pada tahun 1980 terdapat sekitar tiga sampai empat juta warga Kelompok Etnis Tionghoa, lebih dari satu juta adalah warga-negara asing, yaitu 914,111 warga negara RRT, 1,097 warga negara Taiwan, dan 122,013 tanpa kewarganegaraan.
Pada masa Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dus; 1999-2000), pemerintah Republik Indonesia memberi perhatian yang lebih besar terhadap masalah kependudukan Kelompok Etnis Tionghoa ini. Satu rancangan undang-undang kependudukan baru dipersiapkan. Di samping memperbarui undang-undang yang lama, rancangan ini juga mempertimbangkan kemudahan proses kewarganegaraan bagi Kelompok Etnis Tionghoa Maka pada tahun 2006 telah disahkan Undang-undang Republik Indonesia No. 12 tentang Kewarganegaraan. Dengan ini diharapkan masalah kewarganegaraan anggota Kelompok Etnis Tionghoa yang belum WNI akan dapat diatasi secara lebih baik dan adil.
Catatan * : Nampaknya mereka yang stateless inginnya menjadi warga negara Taiwan, tapi karena Indonesia tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan Taiwan maka mereka menjadi tidak jelas kewarganegaraannya.
*Asaz Ius soli atau jus soli (bahasa Latin untuk “hak untuk wilayah”) adalah hak mendapatkan kewarganegaraan yang dapat diperoleh bagi individu berdasarkan tempat lahir di wilayah dari suatu negara. Dia berlawanan dengan jus sanguinis (hak untuk darah).
Oleh : Amri Marzali, University of Malaya, Malaysia
Jurnal : MASYARAKAT INDONESIA, edisi XXXVII, No. 2, 2011. Jakarta: LIPI
Judul Makalah : Pemetaan Sosial Politik Kelompok Etnik Cina di Indonesia
Jurnal : MASYARAKAT INDONESIA, edisi XXXVII, No. 2, 2011. Jakarta: LIPI
Judul Makalah : Pemetaan Sosial Politik Kelompok Etnik Cina di Indonesia
Komentar
Posting Komentar
Mohon untuk tidak memasang Iklan
ADMIN