PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Kota-kota di Indonesia terutama Surabaya sejak dulu menjadi kota yang banyak disinggahi oleh orang asing, seperti Portugis, Spanyol, Inggris, Belanda, Jepang, Arab, dan Tionghoa. Keberadaan mereka telah banyak mengubah perjalanan bangsa ini baik di bidang politik, ekonomi, dan budaya.
Peran negara yang sangat membantu perekonomian bangsa Indonesia kala itu salah satunya ialah masyarakat Tionghoa. Kedatangan mereka pada awalnya adalah untuk mengubah kehidupan mereka dari yang sebelumnya terpuruk dalam kemiskinan di negara asalnya dan berusaha mencari peruntungan di negara Indonesia.
Masyarakat Tionghoa ini banyak yang melakukan usaha perdagangan dan membuka toko-toko di kota besar seperti Batavia, Soerabaia, Semarang, dan lain-lain. Apa yang telah mereka lakukan sudah banyak mengubah kehidupan mereka menjadi lebih baik ketimbang sebelumnya.
Di Surabaya sendiri, keberadaan orang-orang Tionghoa ini sangatlah banyak sehingga muncullah pusat-pusat perkampungan Cina yang tersebar di Surabaya, seperti di daerah Kupang Dukuh, Kapasan dan Kembang Jepun.
Meskipun mereka sudah lama tinggal di Indonesia, namun kebudayaan dari nenek moyangnya tetaplah diwariskan turun-temurun. Sehingga ajaran-ajaran asli Cina seperti Kong Hu Chu dan lainnya tetap bisa dijaga keberadaannya meskipun di Indonesia.
- Sepintjoek Tjerita
Tahun 1951 jumlah penduduk Surabaya hanya sekitar 300 ribu jiwa saja. Padahal, saat ini, tahun 2011,penduduk Surabaya sudah berjumlah jutaan jiwa (sekitar empat juta jiwa). Yang menarik, daerah pecinan masih tetap tidak berubah dan masih favorit bagi etnis Tionghoa untuk tinggal dan berdagang. Ini terbukti dari banyaknya toko-toko dan perusahaan-perusahaan dagang baik besar maupun kecil di daerah pecinan yang pada umumnya milik etnis Tionghoa.
Di pecinan Surabaya, ada dua pasar utama, yaitu Pasar Pabean dan Pasar Kapasan. Pasar Kapasan, walaupun lebih kecil daripada Pabean, merupakan pusat perdagangan emas dan perhiasan di Jawa Timur. Sebaliknya, Pasar Pabean merupakan pasar yang menjual barang-barang keperluan sehari-hari. Di dalam pasar ini terdapat banyak toko yang menjual barang pecah-belah, alat-alat rumah tangga, sembako, atau makanan-makanan Tionghoa seperti haisom atau teripang, jamur kering, ikan asin.
Kembang Jepun sendiri adalah kawasan paling tua di Surabaya karena bersebelahan dengan sungai Kalimas dan Pelabuhan Tanjung Perak di utaranya. Bangunan di sekitar kawasan itu sangatlah kotor dan banyak yang tak terawat. Tapi di sinilah tepatnya sejarah Surabaya Tua (Old Surabaya) berawal serta kegiatan bisnis yang tidak pernah berhenti. Toko perlengkapan kantor, bank, toko tekstil, mesin diesel dan pakaian melengkapi pemandangan di kawasan ini.
Berbicara mengenai Kembang Jepun tentu tak lepas dengan Jembatan Merah (Willenstraat) seperti Jalan Rajawali (Heerenstraat), Jalan Karet (Chineezenvorstraat) dan Jalan Kembang Jepun sendiri (Hendelstraat), yang merupakan pemukiman orang Tionghoa hingga sekarang.
Kembang Jepun dulunya adalah kawasan bisnis utama dan pusat kota Surabaya. Walaupun bukan menjadi yang utama, kawasan ini tetap menjadi salah satu sentra bisnis hingga saat ini. Pada zaman Belanda, pemerintahan saat itu membagi kawasan menjadi Pecinan di selatan Kalimas, kampung Arab dan Melayu di Utara kawasan itu, dengan Jalan Kembang Jepun sebagai pembatasnya. Bangsa Belanda sendiri tinggal di Barat Kalimas yang kemudian mendirikan komunitas “Eropa Kecil”.
PEMBAHASAN
a. APAKAH AGAMA KONG HU CHU MASIH DIANUT OLEH SEBAGIAN BESAR WARGA TIONGHOA DI SURABAYA UTARA?
“…..Ada banyak budaya Tionghoa yang tergerus pada saat 32 tahun orde baru. Waktu itu membuat pergeseran budaya yang luar biasa. Hingga rekan etnis Tionghoa yang semula memiliki agama Konghuchu dan yang lain, bergeser ke agama Kristen, Katholik, bahkan Islam. Disinilah terjadi pergeseran hanya sedikit lapisan masyarakat Tionghoa yang masih merayakan sesuai dengan tradisi sebenarnya.”
Itulah adalah sedikit kutipan yang bisa didapat dari ucapan Freddy H. Istanto, dekan Fakultas Teknologi dan Desain Universitas Ciputra yang juga merupakan keturunan bangsa Cina. Terutama di Surabaya Utara, perubahan ataupun perpindahan agama banyak terjadi di antara warga Tionghoa di sana. Beberapa diantaranya disebabkan oleh masa Orde Baru di mana kebebasan bagi orang keturunan Cina untuk memeluk dan menjalankan agamanya menjadi sangat dibatasi sehingga memaksa dan mengharuskan mereka untuk berpindah ke agama lain yang tentu saja bakal mengubah secara keseluruhan warisan budaya yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka dari Cina.
Beberapa narasumber yang kami temui, dan salah satunya adalah Ibu Lani (60) yang asli keturunan Tionghoa mengatakan bahwa dirinya bukan lagi pemeluk agama Kong Hu Chu sejak ia mendapatkanilham dari-Nya dan memutuskan untuk berpindah agama.
Hal ini dapat disimpulkan bahwa kebanyakan dari warga Tionghoa di sana telah berpindah agama, dari yang semula Kong Hu Chu ke agama lainnya, seperti Hindu, Kristen, Katolik bahkan Islam dengan bermacam sebab.
b. APA SAJAKAH MATA PENCAHARIAN WARGA TIONGHOA DI DAERAH SURABAYA UTARA?
Itu adalah sedikit cuplikan wawancara kami dengan ibu Yatim (50) yang tinggal di daerah Songoyudan, Surabaya. Ia telah tinggal di sana sudah hampir 15 tahun sehingga setidaknya ia mengetahui gambaran kondisi mata pencaharian penduduk etnis Tionghoa di sana.
Selain sebagai pedagang toko kelontong, masyarakat etnis Cina di sana juga bekerja di kantor. Namun kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pengusaha yang sukses di kota Surabaya. Apa yang dilakukan mereka ini sebenarnya adalah turun temurun dalam keluarga sebagai pengusaha mandiri. Dan yang lebih mengherankan lagi, mereka semua kebanyakan menjadi orang yang sukses di negeri orang lain.
Pak Wido (40), penjual es puter keliling asal Klaten ini juga mengatakan hal serupa jika beberapa orang Cina di kawasan Kembang Jepun, khususnya Songoyudan adalah para pengusaha yang sukses. Di lain sisi, orang-orang Cina yang tinggal di sana juga bermata pencaharian sebagai pemilik apotek, karyawan, dan lain-lain.
c. BAGAIMANAKAH POLA TEMPAT TINGGAL MASYARAKAT TIONGHOA INI?
Dari beberapa pengamatan yang telah kami lakukan di daerah pecinan Kembang Jepun (khususnya Songoyudan) dan Kapasan dapat diketahui bahwa pola tempat tinggal mereka yaitu mengikuti jalan sempit atau biasa kita sebut dengan gang. Gang ini sangatlah kecil, bahkan mobil pun nampaknya tidak mungkin untuk bisa masuk ke dalamnya. Beberapa gang yang kami amati juga terlihat kumuh, pengap, berbau air seni, dan jorok. Kemungkinan hal ini juga disebabkan karena letaknya yang dekat dengan pasar (Pasar Pabean).
Namun ada juga gang yang sangat bersih dan nyaman. Bentuk rumahnya sendiri rata-rata sama dengan rumah orang Jawa pada umumnya, hanya saja bangunannya bertingkat dua atau lebih (karena lahan yang sempit) dan di bagian depan rumah mereka terkadang terdapat simbol-simbol Mandarin. Beberapa rumah juga identik bercat merah.
d. BAGAIMANAKAH SISTEM KEKERABATAN MEREKA?
Kebanyakan warga keturunan Tionghoa di Surabaya, khususnya di daerah Kapasan dan Kembang Jepun sudah menjadi warga negara Indonesia. Beberapa diantaranya sudah tidak memiliki keluarga di daratan Cina lagi. Salah satunya adalah keluarga Ibu Lani yang semuanya sudah tinggal menetap di Indonesia, terutama di kota Surabaya. Meskipun sudah tidak tinggal lagi di Cina, mereka tetap mempertahankan kebudayaan asli mereka.
Orang Cina yang tinggal di Kembang Jepun kebanyakan telah tinggal sendiri setelah mereka dirasa sudah sukses dalam hidupnya. Meski begitu mereka tetap menjaga silaturahmi dengan keluarga utama terutama pada saat perayaan Imlek dan Cap Go Meh, layaknya orang Jawa pada umumnya. Kunjung-mengunjung antar rumah saudara juga masih menjadi ciri khas mereka.
e. BAGAIMANAKAH DENGAN PERKEMBANGAN IPTEK MEREKA?
Penguasaan IPTEK yang mereka miliki telah berkembang sesuai dengan perkembangan jaman yang menuntut mereka juga berubah. Beberapa bentuk bangunan rumah mereka misalnya, sudah hampir jauh dengan bentuk-bentuk rumah di daratan Cina aslinya. Di Kembang Jepun juga bisa dilihat bangunan-bangunan tua bekas masa kolonialisme yang tetap dijadikan kediaman oleh beberapa etnis, semisal Arab dan Cina kebanyakan.
Kemajuan jaman juga menuntut etnis Cina ini untuk berkembang. Rumah-rumah telah dilengkapi dengan berbagai furniture modern namun di beberapa sudut rumah tetap memasangkan benda-benda klasik nan oriental.
f. BAGAIMANA DENGAN KESENIAN MEREKA SAAT INI?
Masyarakat Tionghoa di Surabaya hingga saat ini masih menjaga kesenian yang merupakan budaya asli Tionghoa seperti kaligrafi Tionghoa dan dapat dilihat dari bentuk atap gerbang masuk kawasan pecinan di Kembang Jepun, seperti pada gambar di samping. Bahkan, Masyarakat Tionghoa memiliki suatu komunitas Pecinta Kaligrafi Tionghoa, yang masih eksis, hingga saat ini. Meskipun para anggotanya sebagian besar adalah lansia, tetapi kelompok ini masih menunjukkan eksistensinya dengan turut serta meramaikan acara Golden Anniversary ITS beberapa bulan yang lalu.
Dalam acara itu mereka secara tidak langsung memperkenalkan budaya Tionghoa pada masyarakat Surabaya. Selain itu, kesenian Cina juga dapat kita lihat dalam wujud barongsai, yang ditampilkan saat perayaan Imlek dan Cap Go Meh tiba.
g. BAGAIMANAKAH HUBUNGAN SOSIAL DENGAN MASYARAKAT SEKITAR?
Masyarakat Tionghoa di daerah Kembang Jepun sudah berbaur dengan masyarakat etnis lain di Surabaya, dan tidak memandang perbedaan agama maupun suku. Kata Ibu Lani, penduduk di kawasan Kembang Jepun sudah berbaur satu sama lain tanpa membedakan. Hal ini dikarenakan mereka sudah lama tinggal dalam satu kawasan yang sama, sehingga lama-kelamaan menimbulkan rasa tenggang rasa dan gotong-royong diantara mereka dengan sendirinya.
h. MASIHKAH MEREKA MENGGUNAKAN BAHASA MANDARIN?
Bahasa mandarin tidak mutlak menjadi Bahasa wajib masyarakat Tionghoa di kawasan Kembang Jepun, mereka telah menggunakan bahasa Indonesia serta bahasa Jawa sebagai bahasa keseharian mereka. Tetapi, bahasa Mandarin tetap mereka gunakan sesekali, sebagai Bahasa Ibu. Bahkan ada suatu fakta menarik jika masyarakat etnis Cina ini ada yang benar-benar mampu menguasai behasa Jawa dengan lebih baik ketimbang orang Jawa aslinya
KESIMPULAN
Dari beberapa fakta dan analisis masalah yang telah kami dapat, kami bisa menarik kesimpulan bahwa masyarakat etnis Cina di kawasan Surabaya Utara, khususnya di Kembang Jepun dan Kapasan adalah kelompok masyarakat yang telah berbaur dengan kebudayaan Jawa pada umumnya, tapi di beberapa hal mereka masih mengagungkan budaya asli asal tanah nenek moyang mereka dulu.
Karena bebarapa sebab, kebudayaan mereka ini terkadang dipaksa untuk mengikuti apa yang terjadi di Indonesia seperti pandangan mengenai agama yang kini telah banyak mereka anut. Ini semua telah mengubah jejak asli mereka tapi beberapa dari mereka pun masih menjaga keaslian diri mereka.
Salah satu hal yang juga berubah dari mereka adalah jarangnya perkumpulan antar sesama warga etnis Cina sejak ditutupnya Kya Kya kembang Jepun sekitar 3 tahun lalu. Dulunya masih bisa dilihat beberapa kebudayaan asli Cina serta kuliner khas Cina namun kini sudah tidak terlihat lagi.
Bagaimanapun juga, mereka masih dapat menjaga silaturahmi dengan berbagai macam etnis yang tinggal di sekitar rumah mereka sehingga keharmonisan antar warga disana dapat dijaga.
Komentar
Posting Komentar
Mohon untuk tidak memasang Iklan
ADMIN