Oleh
Puspa Vasanty
(universitas Indonesia)
- IDENTIFIKASI
Orang tionghoa yang berada di Indonesia, sebenarnya tidak merupakan satu kelompok yang berasal dari satu daerah di Negara Cina, tetapi terdiri dari beberapa suku bangsa yang berasal dari dua propinsi yaitu Fukien dan Kwangtung, yang sangat terpencar daerah – daerahnya. Setiap imigran ke Indonesia membawa kebudayaan suku bangsanya sendiri – sendiri bersama dengan perbedaan bahasanya. Ada empat bahasa Cina di Indonesia ialah bahasa Hokien, Teo-Chiu, Hakka, dan Kanton yang demikian besar perbedaannya, sehingga pembicara dari bahasa yang satu tak dapat mengerti pembicara dari yang lain.
Para imigran Tionghoa yang terbesar ke Indonesia mulai abad ke -16 sampai kira – kira pertengahan abad ke-19, asal dari suku bangsa Hokkien yang berasal dari propinsi Fukien bagian selatan. Kepandaian berdagang suku bangsa Hokkien telah terendap berabad – abad lamanya dan masih tampak jelas pada orang Tionghoa di Indonesia. Sebagian dari mereka sangat ulet, tahan uji dan rajin. Orang Hokkien dan keturunannya yang telah berasimilasi sebagai keseluruhan paling banyak terdapat di Indonesia Timur, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Barat Sumatra.
Imigran Tionghoa lain adalah orang Teo-Chiu yang berasal dari pantai Selatan negri Cina di daerah pedalaman Swatow di bagian timur propinsi Kwantung. Pusat daerah mereka adalah di pedalaman propinsi Kwangtung yang terutama terdiri dari daerah gunung – gunung kapur yang tandus. Selama berlangsung gelombang – gelombang imigrasi dari 1850 sampai 1930, orang Hakka adalah yang paling miskin diantara para perantau Tionghoa. Mereka bersama – sama orang TeoChiu dipekerjakan di Indonesia untuk mengeksploitasi sumber – sumber mineral sehingga sampai sekarang orang Hakka mendominasi masyarakat Tionghoa di distrik – distrik tambang emas lama di Kalimantan Barat, Sumatra, Bangka dan Beliton.
Di sebelah Barat dan Selatan daerah asal orang Hakka di propinsi Kwantung tinggallah orang Kanton (Kwong Pu). Orang Kanton terkenal di Asia Tenggara sebagai kuli pertambangan. Mereka mulai merantau ke Indonesia dalam kelompok – kelompok pada waktu yang sama dengan orang Hakka, namun keadaan mereka berlainan. Umumnya mereka datang dengan modal yang lebih besar dan mereka datang dengan ketrampilan teknis dan pertukangan yang tinggi.
Walaupun orang Tionghoa perantau itu, terdiri dari paling sedikit empat suku, namun dalam pandangan orang Indonesia pada umumnya mereka hanya terbagi ke dalam dua golongan ialah
· Peranakan
· Totok
Penggolongan tersebut bukan hanya berdasarkan kelahiran saja, artinya : orang peranakanitu, bukan hanya orang Tionghoa yang lahir di Indonesia, hasil perkawinan campuran antara orang Tionghoa dan orang Indonesia, sedangkan orang Totok bukan hanya orang Tionghoa yang lahir di Negara Tionghoa. Daerah di Indonesia yang paling pertama dan paling lama didatangi oleh para perantau Hokkien, mulai abad ke-16, adalah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kebanyakan dari mereka adalah perantau laki – laki dan karena hanya ada sedikit wanita Tionghoa waktu itu, maka perkawinan campuran dengan wanita – wanita Indonesia sering terjadi dalam waktu empat abad sampai permulaan abad ke-20 ini. Migrasi migrasi ke Asia Tenggara itu terjadi karena keadaan tekanan di Negara Cina, yang waktu itu mengalami zaman pergolakan dan revolusi.
Dalam zaman kolonial semua orang Tionghoa di Indonesia, secara yuridis diperlakukan sebagai golongan yang dikenakan system hukum perdata yang berbeda dengan orang Indonesia pribumi, ialah hukum untuk orang Timur Asing. Dalam tahun 1910 pernah ada suatau perjanjian antara negeri Belanda dan Negara Cina yang menetapkan ke dwiwarganegaraan bagi orang Tionghoa di Indonesia, agar mereka dapat dikenakan aturan – aturan hukum Hindia-Belanda. Keadaan ini diwarisi oleh Negara kita, waktu Belanda menyerahkan kedaulatannya kepada kita, dalam tahun 1949. Demikian waktu itu semua orang Tionghoa di Indonesia mempunyai ke dwiwarganegaraan itu, dan menjadi warga Negara Cina merangkap warga Negara Indonesia.
Dalam tahun 1955, waktu Konferensi Asia Afrika ke-1 di Bandung, Pemerintah Republik Indonesia mengadakan perjanjian dengan RRC untuk mengakhiri keadaan ini, sehingga orang Tionghoa di Indonesia dapat memilih menjadi salah satu, ialah warga Negara RRC atau warga Negara Indonesia (WNI). Untuk menjadi WNI, ia harus anatara lain bisa membuktikan di muka pengadilan bahwa ia lahir di Indonesia, dan kemudian menyatakan juga di muka pengadilan bahwa ia melepaskan kewarganegaraan RRC-nya. Ratifikasi dari perjanjian tersebut, baru selesai tahun 1960, sedangkan untuk implementasinya ditentukan waktu dua tahun.
- ANGKA – ANGKA DAN DATA – DATA DEMOGRAFI
Pada pertengahan abad ke-19, sebagian besar dari orang Tionghoa tinggal di pulau Jawa. Sebagian besar kota – kota perdagangan yang ramai waktu itu ada di pantai utara pulau Jawa. Sejak pertengahan abad ke – 19 sampai 1920 tambang – tambang timah di Bangka dan Biliton, serta perkebunan – perkebunan Sumatra Timur dibangun dan berkembang, dengan banyak mempekerjakan buruh – buruh Tionghoa yang didatangkan dari negeri Cina, sehingga berangsur – angsur penduduk Tionghoa di luar pulau Jawa bertambah.
- MATA PENCAHARIAN HIDUP
50% dari orang Hokkien di Indonesia adalah pedagang, tetapi di Jawa Barat dan di pantai Barat Sumatra ada banyak orang Hokkien yang bekerja sebagai petani dan penanam sayur – mayur, sednagkan di Bagan Siapiapi (Riau) orang Hokkien umumnya menjadi penangkap ikan.
Orang Hakka di Jawa dan Madura banyak yang menjadi pedagang, tetapi banyak juga yang menjadi pengusaha industry kecil. Di Sumatra orang Hakka bekerja dipertambangan, sedangkan di Kalimantan Barat banyak yang menjadi petani. Orang Teo Chiu kebanyakan bekerja sebagai petani dan penanam sayur – sayuran, tetapi didaerah perkebunan Sumatra Timur sebagian besar dari mereka adalah kuli diperkebunan – perkebunan tembakau. Untuk perkebunan mulanya mereka didatangkan dari Negara Cina. Di Kalimantan Barat pekerjaan mereka adalah sebagai petani. Di daerah lain dari Indonesia , jumlah yang terbesar dari mereka adalah sebagai pedagang, sedangkan di beberapa daerah mereka bekerja di perusahaan industri.
Orang Kanton atau Kwong Fu di Jawa untuk lebih dari 40% mempunyai perusahaan – perusahaan industry kecil dan perusahaan – perusahaan dagang hasil bumi. Di Sumatra banyak orang Kanton adalah petani, penanam sayur – sayuran atau buruh tambang. Di Bangka mereka merupakan kelompok yang penting sebagai pekerja tambang, sedangkan di Palembang ada banyak orang Kwong Fu, yang bekerja sebagai tukang dalam industry minyak.
Usaha perdagangan orang Yionghoa di Indonesia adalah tidak tetap, mereka selalu terancam kebangkrutan. Oleh karena itu banyak perusahaan mereka tidak bisa hidup lebih dari tiga generasi. Salah satu sebab kebangkrutan itu adalah kegoncangan harga di pasaran yang berada di luar pengetahuan mereka.
- PERKAMPUNGAN DAN RUMAH TIONGHOA
Perkampungan Tionghoa di kota – kota itu biasanya merupakan deretan rumah – rumah yang berhadap – hadapan di sepanjang jalan pusat pertokoan. Ciri khas dari rumah – rumah orang Tionghoa dengan tipe yang kuno adalah bentuk atapnya yang selalu melancip pada ujung – ujungnya, dan dengan ukir – ukirnya yang berbentuk naga. Dalam tiap – tiap perkampungan Tionghoa selalu ada satu atau dua kuil. Bangunan ini biasanya masih memiliki bentuk yang khas daan kaya dengan ukir – ukiran Tionghoa. Besar kecilnya kuil tergantung pada kekuatan dari umatnya untuk membiayai pembangunan dan pemeliharaannya. Kuil – kuil itu terbagi dalam tiga golongan yaitu
· Kuil Budha
· Kuil Tao
· Kuil yang di bangun untuk menghormati dan memperingati orang – orang yang pada masa hidupnya telah terbuat banyak jasa bagi masyarakat.
- SISTEM KEKERABATAN
Upacara perkawinan orang Tionghoa di Indonesia adalah tergantung pada agama atau religinya yang dianut. Upacara perkawinan orang Tionghoa Totok berbeda pula dengan upacara perkawinan orang Tionghoa Peranakan. Di dalam memilih jodoh orang Tionghoa peranakanmempunyai pembatasan – pembatasannya. Perkawinan terlarang adalah antara orang – orang yang mempunyai nama keluarga, nama she, yang sama. Kini perkawinan antara orang – orang yang mempunyai nama she yang sama tetapi bukan kerabat dekat (misalnya saudara – saudara sepupu), dibolehkan. Peraturan lain ialah seorang adik perempuan tidak boleh mendahului kakak perempuannya kawin. Peraturan ini berlaku juga bagi saudara – saudara sekandung laki – laki, tetapi adik perempuan boleh mendahului kakak laki – lakinya kawin, demikian juga adik laki – laki boleh mendahului kakak perempuannya kawin. Sering juga terjadi pelanggaran terhadap peraturan ini, tetapi dalam hal itu si adik harus memberikan hadiah tertentu pada kakaknya yang didahului kawin itu.
· Adat menetap sesudah nikah.
Tempat tinggal setelah kawin bagi masyarakat Tionghoa adalah di rumah orang tua si suami. Hal ini erat hubungannya dengan tradisi Tionghoa sendiri, bahwa hanya anak laki – laki tertualah yang merupakan ahli waris dan yang akan meneruskan pemujaan terhadap leluhurnya.
· Perceraian
Berhubungan dengan tradisi orang Tionghoa, perceraian diizinkan berdasarkan beberapa alasan. Perceraian jarang terjadi karena sebagai perbuatan yang tercela perceraian akan mencemarkan nama keluarga.
· Poligami
Perceraian terjadi karena istri tidak mau tinggal bersama dengan istri kedua dari suaminya. Dalam adat tionghoa, seorang laki – laki hanya boleh mempunyai seorang istri, tetapi ia dapat mengambil sejumlah wanita sebagai istri mudanya.
· Bentuk Rumah Tangga
Berdasarkan system kekerabatan orang Tionghoa maka bentuk rumah tangganya adalah keluarga-luas. Keluarga-luas Tionghoa ini, terbagi ke dalam dua bentuk yaitu.
- Bentuk keluarga-luas virilokal yang terdiri dari keluarga orang tua dengan hanya anak laki – laki tertua beserta isteri dan anak – anaknya dan saudaranya yang belum kawin.
- Bentuk keluarga luas virilokal yang terdiri dari keluarga orang tua dengan anak – anak laki-laki beserta keluarga – keluarga – batih mereka masing – masing.
Kini karena pengaruh luar dan pendidikan sekolah, maka bentuk rumah tangga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak – anak menjadi umum.
· Kedudukan Wanita
Kedudukan wanita pada orang Tionghoa dulu adalah sangat rendah. Mereka tidak mendapat bagian di dalam kehidupan di luar rumah. Keadaan demikan sekarang sudah ditinggalkan. Wanita dapat memasuki perkumpulan – perkumpulan, memasuki sekolah dan di dalam kehidupan ekonomi peranan – peranan wanita sebagai pembantu suaminya dalam perdagangan memegang peranan penting.
- SISTEM KEMASYARAKATN ORANG TIONGHOA
· Stratifikasi Sosial
Orang Tionghoa peranakan yang kebanyakan terdiri dari orang Hokkien, merasa dirinya lebih tinggi dari Tionghoa Totok karena mereka menganggap Tionghoa Totok umumnya berasal dari kuil dan buruh. Sebaliknya Tionghoa Totok memandang rendah Tionghoa Peranakan karena mereka dianggap mempunyai darah campuran.
Dengan adanya pemisahan pendidikan bagi anak – anak Tionghoa, yaitu sebagian yang mengikuti pendidikan Cina berorientasi ke Negara Cina dan sebagian yang mengikuti pendidikan Indonesia dan Barat (Belanda), maka telah timbul pemisahan antara golongan yang berpendidikan berlainan itu.
· Pimpinan Masyarakat
Bagi masyarakat Tionghoa di suatu daerah, pemerintah belanda dulu mengangkat seorang yang dipilih dari masyarakat itu sebagai pemimpin. Pemimpin – pemimpin yang diangkat Belanda itu memakai pangkat major (pangkat tertinggi), kapitein, luitenant dan wijkmeester(ketua RW menurut istilah sekarang). Pemimpin – pemimpin ini mempunyai tugas sebagai perantara yang menghubungkan orang Tionghoa yang ingin mengurus sesuatu hal dengan Belanda.
Tugas utama dari para pemimpin adalah menjaga ketertiban dan keamanan dari masyarakat Tionghoa yang terdapat di suatu daerah atau kota, mengurus al adat istiadat, kepercayaan, perkawinan dan perceraian dan memutuskan segala hal.
· Perkumpulan dan Organisasi Orang Tionghoa
Setelah Indonesia merdeka organisasi – organisasi yang sebelumnya ada dibubarkan dan dillebur ke dalam satu organisasi yang mewakili orang – orang Tionghoa peranakan dalam Dewan Perwakilan Rakyat yaitu Baperki. Di samping itu ada perkumpulan – perkumpulan agama Kristen, Sam kauw, dan lain – lain lagi.
- RELIGI
Di Indonesia umumnya orang menganggap bahwa orang Tionghoa itu memeluk agama Budha. Memang di Negara Cina sebagian terbesar rakyatnya memeluk agama Buddha, tetapi di Indonesia orang Tionghoa adalah pemeluk agama Buddha, Kung Futse dan Tao, ketiga – tiganya dipuja bersama – sama ole perkumpulan Sam Kauw Hwee (perkumpulan Tiga agama). Ajaran Kung Fu tze hanya merupakan ajaran filsafat untuk hidup dengan baik. Kung fu tze itu tidak dipandang sebagai agama oleh setiap orang Tionghoa. Ahli filsafat itu umumnya hanya dihargai sebagai seorang guru besar. Intisari filsafatnya diambil dari kekuasaan – kekuasaan dalam masyarakat yang pada zaman itu sudah lazim. Kekuasaan - kekuasaan itu oleh Kung Fu-Tze diberi bentuk yang tetap. Sampai pada suatu batas konsepsi “kebaktian” orang Cina bersatu padu dengan pemujaan leluhur.
Dalam pemujaan leluhur dengan memelihara abu dalam rumah, ayah menjadi pemuka upacara. Kewajiban ini kemudian turun kepada anak laki – lakinya yang sulung, dan begitu seterusnya.
Orang Cina biasanya tidak mengenal pemuka agama yang melakukan upacara, kecuali dalam agama Buddha di mana ada pendeta – pendeta. Pendeta Buddha itu diminta pertolongannya pada waktu kematian. Kebanyakan dari mereka itu adalah wanita, dan mereka itu membacakan kitab – kitab suci sepanjang malam sebelum dimakamkan.
· Hari – hari Raya Orang Tionghoa di Indonesia
Tahun baru Imlek di Indonesia oleh sebagian orang dirayakan. Pada hari itu dilakukan Sembahyang Tahun Baru di kuil atau di muka meja abu. Di Jakarta ada pula makanan keperluan tahun baru imlek yang khas, yaitu ikan bandeng. Hari raya orang Tionghoa yang juga dirayakan di Indonesia adalah Pek Chun atau pesta air, sembahyang Chioko untuk ruh – ruh yang tidak disembahyangkan oleh kaum kerabatnya di dunia, perayaan bulan purnama pada bulan ke-7 tahun Imlek, dan perayaaan Tong Che pada permulaan tahun baru.
- PENDIDIKAN
Orang Tionghoa di Indonesia terpisah – pisah, karena latar belakang pendidikannya. Pembagian pertama adalah ke dalam golongan peranakan dan totok. Kemudian mereka terbagi ke dalam golongan – golongan yang mendapat pendidikan Belanda, Indonesia atau Cina. Kebanyakan anak – anak Tionghoa dari golongan peranakan memasuki sekolah – sekolah Tionghoa Belanda dan Belanda. Sedangkan orang – orang Totok menunjukkan kecondongan untuk mencari pendidikan di sekolah Cina. Pada masa pendudukan Jepang sekolah – sekolah Cina Belanda dan sekolah – sekolah Belanda ditutup. Maka orang – orang Tionghoa peranakan banyakyang memasuki sekolah Cina. Pada masa itu tidak dibedakan oleh tentara pendudukan Jepang antara Peranakan dan Totok. kedua golongan itu dipandang sebagai orang Tionghoa yang terpisah dari masyarakat Indonesia dan Eropah. Dalam zaman Perang Dunia ke-II memang Jepang juga berperang melawan Negara Cina, maka sebagai akibat dari itu di Indonesia perlakuan Jepang terhadap orang Tionghoa sangat kejam. Demikian kedua golongan orang Tionghoa itu berate dan semangat nasionalis bersama – sama menentang jepang.
- POTENSI ORANG TIONGHOA WNI DALAM PEMBANGUNAN
Di dalam pengerahan potensi dari tiap – tiap suku bangsa atau golongan maka haruslah kita melihat potensi yang ada pada mereka. Golongan keturunan Tionghoa di Indonesia dapatlah kita anggap mempunyai suatu bagian besar di antara mereka, yang memiliki kepandaian dalam perdagangan. Kepandaian itu perlulah kita menfaatkan dalam sektor – sektor pembangunan ekonomi sekarang ini. Sifat keuletan dalam berusaha adalah memang suatu sifat yang dinilai tinggi diantara pedagang – pedagang keturunan Tionghoa itu. Sifat inilah perlu di perdalam dan di contoh.
Komentar
Posting Komentar
Mohon untuk tidak memasang Iklan
ADMIN