Langsung ke konten utama

Etnis Tionghoa (Katanya) Tidak Mau Berbaur


Oleh Gabriella Ria Apriyani / @hujanriaa

"Mengapa semua Cina peranakan di Indonesia sejak dulu sampai sekarang tidak pernah mau berbaur dengan pribumi?"

Pertanyaan tersebut terlontar dari salah seorang teman pada saat presentasi budaya Cina di kelas Komunikasi Lintas Budaya(KLB) Jumat lalu. Alih-alih bertanya mengenai budaya dari negara yang sedang dipresentasikan, kelas KLB yang seharusnya menjadi ajang pertukaran pengetahuan soal budaya tersebut justru berubah menjadi kelas untuk memperdebatkan masalah sosial. Sebagai seseorang(dan mungkin satu-satunya di kelas itu) yang setengah darahnya Cina, saya merasa tertohok.

Premis selanjutnya dari teman saya adalah bahwa semua peranakan Cina di Indonesia sampai sekarang masih eksklusif. Mulai dari sekolah, gereja, hingga pergaulan. Semua berkumpul dalam satu komunitas tertutup dan ia menyebut peranakan Cina di Indonesia tidak mau berbaur dengan masyarakat yang bukan keturunan Tionghoa, atau dengan istilah yang mereka gemar gunakan adalah pribumi. Dalam hati saya, saya bertanya-tanya, benarkah?

Sejak TK saya masuk ke sekolah swasta Katolik dimana mayoritas siswa di sana memang keturunan Tionghoa. Yang saya ingat, ketika ayah saya menyekolahkan saya di sana sama sekali tidak bermaksud membuat sebuah pagar pembatas antara saya dengan kelompok pribumi. Ayah saya hanya ingin agar saya tetap dapat dekat dengan tradisi kami, dimana dia berharap saya bisa banyak belajar dan berbagi dengan teman-teman saya, apa yang mungkin tidak bisa dia berikan secara maksimal mengenai tradisi leluhur kami. Tidak ada maksud sama sekali untuk menjadikan saya manusia eksklusif.

Lingkungan tempat tinggal saya 99% bukan keturunan Tionghoa. Kami hidup rukun dan baik-baik saja. Teman main saya saat kecil semuanya bukan keturunan Tionghoa dan kami tidak pernah memperdebatkan soal suku dan identitas saat itu. Kami bermain, kami bertengkar, kami saling curang, tanpa harus berpikir apakah saya Tionghoa atau bukan.

Di sekolah saya, banyak juga mahasiswa yang bukan berasal dari keturunan Tionghoa. Dan selama 14 tahun saya bersekolah di sana, tidak pernah sekalipun saya dengar ada perdebatan mengenai asal-usul suku ataupun etnis. Tidak sekali-kalipun. Teman-teman saya juga tidak. Kami tumbuh dan berkembang bersama, tanpa perlu memikirkan perbedaan

Sekalipun saya tidak memungkiri bahwa ada saja beberapa keluarga yang memang masih tertutup pemikirannya seperti yang dikatakan teman saya tersebut. Misalnya saja ada beberapa  teman saya yang berasal dari keturunan Tionghoa diharuskan oleh orang tuanya untuk memilih pacar(pasangan) yang juga merupakan keturunan Tionghoa. Tapi lebih daripada itu, berkaitan dengan pergaulan pertemanan tidak pernah ada pembatasan.

Kalaupun mungkin misalnya yang tampak bahwa sebagian besar anak-anak etnis Tionghoa disekolahkan dan dikuliahkan di sekolah dan kampus tertentu, saya pikir itu bukan sepenuhnya karena tidak mau berbaur. Saya tidak akan bicara soal kualitas di sini. Tapi lebih kepada kedekatan identitas dan efisiensi.

Sebagian besar etnis Tionghoa di Indonesia memeluk agama Kristen, Budhist, atau Kong Hu Chu. Dan sebagian besar dari orang tua mereka ingin anaknya bersekolah dan kuliah di Universitas yang berbasis agama Kristen, Budhist, atau Kong Hu Chu(saya kurang tahu apakah ada universitas yang berbasis agama Budhist, atau Kong Hu Chu. Kalau sekolah saya tahu ada). Tindakan itu didasarkan alasan supaya mereka mendapat pelajaran agama yang layak dan memadai, tidak kesulitan. Menurut saya ini logis. Apa bedanya dengan orang tua Muslim yang menyekolahkan anaknya di sekolah berbasis agama Islam?

Untuk semua ketidaksetujuan saya itu, saya merasa perlu memberikan sebuah argumen. Saya tidak memungkiri bahwa memang masih ada saja keturunan Tionghoa yang cenderung bersikap eksklusif. Mungkin lebih tepatnya saya tidak suka dengan kata 'semua' yang teman saya itu gunakan. Yang saya tahu, sekarang ini sebagian besar dari kami sudah berbaur. Karena perkembangan zaman, interaksi itu tidak bisa dihindarkan lagi.

Tapi pertanyaan teman saya itu pada akhirnya menjadi sebuah bahan renungan bagi saya selama beberapa hari ini. Mungkin saya dan orang-orang keturunan Tionghoa yang lain harus mengecek ke dalam diri kami, apakah benar kami masih saja terlalu eksklusif? Namun, intropeksi diri ini juga menurut saya tidak bisa dilakukan sepihak saja. Saya tidak mau menutupi bahwa sampai saat ini masih ada saja masyarakat yang bukan keturunan Tionghoa yang melontarkan ejekan bernada SARA, sekalipun tidak frontal. Jadi bukankah ini berarti kedua belah pihak harus sama-sama intropeksi?

Entah kenapa sampai saat ini saya pribadi tidak pernah bisa menyukai istilah pribumi dan non pribumi. Istilah itu menjadikan identitas asal saya seolah sangat jauh dari Indonesia. Saya lahir di Indonesia, besar di Indonesia, pertama kali menapakkan kaki di sini, meminum airnya, menghirup udaranya. Saya benar-benar merasa Indonesia. Bukan berartikan mata yang sipit dan kulit yang lebih putih menjadikan saya bukan bagian dari Indonesia?

Jujur, saya takut terlalu lama istilah itu dipakai, nasionalisme saya terkikis karena lama-kelamaan saya bisa jadi merasa bahwa saya bukan orang Indonesia. Saya tidak kehilangan cinta pada negara ini, hanya saja pada sebagian masyarakatnya. Saya harap hanya saya sendiri yang merasa takut akan hal ini. Saya harap istilah pribumi dan non pribumi bisa terdengar lebih ramah di sini.

Komentar