Miskin, selalu berpindah dan ditindas, membuat orang-orang Hakka mencintai pendidikan. Di Indonesia mereka adalah minoritas di antara etnis Cina tapi kepandaian mereka belum ditandingi oleh etnis Cina mana pun. Gus Dur dan Yusril Ihza Mahendra pernah menjadi penasihat orang-orang Hakka di Indonesia.
CHANG Laoshe tertunduk. Matanya berkaca-kaca. Guru berusia 80 tahun itu tak kuasa haru, menerima kenang-kenangan dan bingkisan dari bekas murid-muridnya. Selama hampir 30 tahun, sebelum Tie El Siao di Yogyakarta –sekolah tempat ia mengajar— ditutup pemerintah pada 1965, perempuan yang membujang itu mengabdikan hidupnya untuk pendidikan. Dari tangannya, banyak lahir orang-orang sukses: sebagai pebisnis, cerdik pandai, dan seniman.
Itulah acara puncak Konferensi Hakka se Indonesia Kelima dari salah satu perkumpulan Hakka: Hakka Cung Kong Hwee (Perhimpunan Hakka Indonesia ) yang diadakan di Yogyakarta, empat tahun silam. Konferensi itu dihadiri wakil-wakil Hakka dari berbagai paguyuban di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Bali, Lombok, Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi.
Hakka?
Inilah salah satu dari sejumlah suku Cina yang bukannya tak dikenal, melainkan kurang begitu populer di dunia internasional ataupun di Indonesia. Studi serius tentang Hakka bahkan baru dimulai pada 1980-an. Padahal ada kemungkinan Hakka inilah induk berbagai etnis Cina kini.
Khusus untuk Indonesia, yang kadung memiliki persepsi bahwa etnis Cina adalah orang yang hanya memikirkan duit (berdagang), eksistensi Hakka pun larut dalam citra seperti itu. Padahal melihat kegiatan Hakka, mestinya akan terjadi semacam keseimbangan bahwa ada etnis Cina di luar persepsi umum tersebut karena inilah salah satu suku Cina yang dianggap lebih mementingkan pendidikan ketimbang hanya berbisnis atau berdagang, seperti dilakukan kebanyakan suku Cina lain. Penghargaan kepada guru Chang yang bernama asli Chang Fe Fa itu, hanyalah satu cara mereka menghargai pentingnya pendidikan dan menjadi orang berpendidikan.
Penghormatan orang-orang Hakka kepada pendidikan, sebenarnya tidak terpisahkan dari posisi sosial dan psikologis mereka sebagai kelompok miskin yang sering ditindas suku-suku Cina lain, dulu di Cina daratan. Kondisi ini diperburuk oleh seringnya mereka berpindah tempat yang selalu berperang dengan penduduk asli. Istilah Hakka sendiri, merupakan terminologi orang-orang di luar suku Hakka, untuk menyebut orang-orang yang selalu berpindah—karena ketidaktahuan untuk menyebut orang-orang Hakka.
Orang Hokkian menyebutnya Khek –istilah yang juga digunakan orang-orang Hakka di Kalimantan Barat. Orang Mandarin menyebutnya Khe Cia. Intinya sama: pendatang terakhir alias bukan penduduk asli. Secara estimilogis, Hakka berarti adalah tamu. Semula orang-orang Hakka mendiami bagian utara Cina. Karena bencana alam dan peperangan suku, mereka melakukan migrasi secara sporadis ke selatan, terutama sejak abad 12. Namun migrasi orang-orang bukan migrasi seperti yang dilakukan orang-orang Yahudi dari Palestina ke Mesir, yang menempati wilayah kosong tak berpenghuni.
Wilayah-wilayah yang didatangi orang-orang Hakka, umumnya sudah cukup ramai karena ada penduduk asli yang menetap. Dari sanalah, kemungkinan besar istilah “tamu” untuk orang-orang Hakka berasal karena mereka tidak pernah menetap untuk waktu lama. Perselisihan dan peperangan dengan penduduk asli, membuat orang-orang Hakka selalu pindah dan begitu seterusnya: datang, perang, cerai berai, dan pindah lagi.
Belakangan kesadaran mempertahankan diri tidak lagi hanya disikapi lewat kekuatan fisik dan senjata, melainkan lewat pendidikan. Orang-orang Hakka lantas ditakuti, bukan saja karena jago perang, tapi juga karena pintar. Ini dibuktikan dengan ditumbangkannya Dinasti Ching oleh orang-orang Hakka pada 1852 lewat revolusi “Typing” atau membuat kerajaan surga dan bumi.
Pendidikan itulah yang lalu lebih menonjol dan melekat pada orang-orang Hakka. Di setiap wilayah baru yang mereka datangi, langkah awal yang dilakukan adalah mendirikan sekolah. Sikap ini terus berlanjut sampai sekarang. Dulu, hampir semua sekolah Cina di Indonesia yang didirikan antara 1930-1940, pencetus atau pendirinya adalah orang-orang Hakka. Sekolah-sekolah ini kemudian ditutup, diintegrasikan dengan sekolah Indonesia di zaman Orde Baru. Kini kembali orang Hakka menemukan dunianya: sekolah. Salah satunya ada di Jakarta, bernama Budi Agung yang didirikan Gunawan Hendra.
Tak lalu orang-orang Hakka lantas menjauhi bisnis dan perdagangan. Usman Admadjaja bekas pemilik Bank Danamon dan Prayogo Pangestu adalah konglomerat bersuku Hakka. Namun sikap mereka yang konservatif dan taat aturan menyebabkan bisnis dan perdagangan yang dikelola orang-orang Hakka, biasanya tak berkembang dan hanya sekelas toko kelontong. Mereka hanya menonjol di kampung mereka bermukim. Toko yang seperti ini –kelas kelontong— banyak dijumpai di Kalimantan (Singkawang, Pontianak); Sumatra (Bangka, Belitung); Jawa Barat (Bogor, Jakarta –di Lenteng Agung dan Roxy Grogol); Jawa Timur (dari Pasuruan, Situbondo, Jember sampai Banyuwangi).
Kecuali kecintaan kepada pendidikan, orang-orang Hakka (mulanya) juga lebih menyukai hidup berkelompok. Rumah orang-orang Hakka kuno, biasanya berbentuk benteng besar dan dihuni beramai-ramai. Rumah-rumah mereka, sejak awal dirancang sedemikian rupa dari bahan kayu, sehingga mudah dibongkar pasang (knock down). Ada satu rumah yang dihuni sampai 600 keluarga.
Pandangan mereka tentang tempat ibadah juga berbeda. Kelenteng buat suku Cina lain hanyalah tempat ritual biasa saja. Bagi orang-orang Hakka, kelenteng bisa juga menjadi semacam tempat perlindungan (rumah), di luar fungsinya sebagai tempat ibadah. Itu sebabnya banyak rumah orang Hakka mirip kelenteng.
Ciri lainnya, orang-orang Hakka dikenal sebagai suku yang sangat ulet bekerja dan terikat kuat dengan ikatan terutama dengan penutur dialek yang sama. Pada suku Hakka juga tidak ada gender, laki-laki dan perempuan sama-sama harus bekerja, meskipun katakanlah harus mencangkul di sawah, menumbuk batu, atau menambang. Ini berbeda dengan kebanyakan suku Cina lainnya, yang punya tradisi mengikat kaki perempuan sejak lahir –yang di Indonesia, ketika mereka dewasa disebut sebagai Sing Kek.
Hingga acara di Yogyakarta itu, jumlah mereka termasuk minoritas di Indonesia karena tak lebih 1 juta orang dari 8 juta populasi Cina yang kebanyakan berasal dari Hokkian. Tokoh-tokoh mereka juga tak banyak menonjol. Meski begitu, jumlah yang sedikit ini, disegani banyak suku Cina lain. Jika yang lain tidak berani terjun ke politik, hukum dan dunia seni, Hakka sebaliknya.
Di daratan Tiongkok, beberapa tokoh penting datang dari suku Hakka. Sut Yat Sen (nasionalis Cina yang kemudian mendirikan negara Taiwan), Den Xiao Ping, Lee Teng Hui (mantan Presiden Taiwan), Thaksin Shiwanatra (mantan PM Thailand) dan Yap Aloi (perintis dan pembangun Kuala Lumpur) serta Lee Kuan Yew (bekas PM Singapura) dan Corazon Aquino adalah beberapa tokoh Hakka. Selain Marie Pangestu, di Indonesia Gus Dur juga disebut-sebut sebagai salah satu keturunan Hakka garis ibu dan sempat diangkat sebagai penasihat Hakka di Indonesia pada 2000, yang lalu digantikan oleh Yusril Ihza Mahendra. Entah sekarang.
Di Indonesia ada tiga pusat perkumpulan orang-orang Hakka, yakni Perhimpunan Hakka Indonesia, Paguyuban Meizhou Indonesia dan Paguyuban Hakka Indonesia. Di luar negeri, perkumpulan dan paguyuban juga banyak didirikan oleh mereka. Orang-orang Hakka memandang pendidikan terutama pada dimensi ilmunya (ilmu-ilmu murni) dan bukan pada ilmu terapan. Nasihat para leluhur Hakka yang terus dikenang adalah: sekolah setinggi mungkin meski harus melalui perjuangan keras, dan eksklusif serta terpisah dari lingkungan.
Begitulah setidaknya menurut pada aktivis Hakka di Yogyakarta yang berkumpul empat tahun lalu itu.
Komentar
Posting Komentar
Mohon untuk tidak memasang Iklan
ADMIN