Langsung ke konten utama

BULAN TUJUH LUNAR, BULAN SETAN GENTAYANGAN

Dalam kepercayaan tradisi budaya Tionghua, bulan tujuh penanggalan lunar adalah bulan yang kurang baik, karena diyakini mulai tanggal 1 bulan 7 ( pas jatuh pada  tanggal 27 Juli 2014 ) sampai tanggal 30 bulan 7 penanggalan Lunar, tradisi Tionghua meyakini bahwa dalam kurun waktu tersebut pintu neraka dibuka, dan para setan penghuni neraka berkeliaran ke dunia yang dihuni manusia, mereka kebanyakan adalah roh-roh yang sudah tidak disembahyangi oleh keturunannya atau mereka yang meninggal karena musibah, sehingga tidak ada lagi yang menyembahyangi mereka.
Hadirnya penghuni neraka ke alam manusia, sudah pasti banyak membawa gangguan pada ketentraman kehidupan manusia. Maka orang Tionghua yang masih kental tradisinya, tidak akan adakan pesta atau acara pada bulan tujuh, pantangan – pantangan juga bermunculan pada bulan tujuh ini, anak – anak dilarang pakai pakaian yang warna yang mencolok, tak boleh bersiul dimalam hari, jika malam hari berjalan sendiri dan jika ada yang memanggil janganlah berpaling muka untuk menengok, dan masih banyak lagi pantangannya, lain daerah lain pantangan sesuai dengan apa yang disampaikan dari mulut kemulut.
Dalam masyarakat Tionghua pada bulan tujuh penanggalan Lunar ini ada 3 macam sembahyanan yang masing-masing mencerminkan tiga macam keyakinan, namun pada dasarnya mereka sembahyang masing-masing dan tanpa ada gesekan-gesekan, sehingga bagi orang luar yang kurang paham tentang budaya Tionghua, mereka akan mengira itulah budaya Tionghua yang asli yang menyatukan 3 macam keyakinan agama yang berbeda.
Yang berpaham tentang pintu neraka dibuka pada bulan 7 adalah Daoisme dan Budha yang berkembang di Tiongkok, mereka adakan sembahyang umum untuk memberi (sesajian ) makan pada roh- roh yang gentayangan pada bulan 7, yang Budha lebih khusus lagi karena ada sembahyang atau acara yang disebut Ulambana, acara Ulambana sendiri terjadinya ada cerita tersendiri. Sedangkan Konghucu lebih mengkonsentrasi sembahyang pada tanggal 15 dan tanggal 30 bulan 7, tanggal 15 mereka sembahyang pada seorang tokoh bijak pada zaman purba, Raja Shun yang sangat terkenal laku baktinya pada kedua orang tua, disamping itu mereka juga gunakan kesempatan itu untuk sembahyang leluhur yang sudah meninggal, dan pada yanggal 30 bulan 7, mereka adakan sembahyang besar-besaran untuk memberi makan pada roh-roh yang tidak ada yang sembahyangi, acara ini disebut “Jing haopeng” yang artinya memberi hormat pada saudara-saudara baik yang sudah tak ada yang sembahyangi lagi. Acara ini juga disebut “rebutan”, selesai upacara sembahyang, maka semua sajian yang ada diatas meja sembahyang diperebutkan, umat sangat antusias untuk merebut dan walau mendapat sedikit makanan yang nilai uangnya tak seberapa pun mereka sangat gembira, karena yakin itu akan membawa “peng an “ keselamatan bagi mereka,
Bulan 7 memang unik, saat ini setiap kelenteng dan vihara pasti sudah sibuk dengan persiapan upacara ini, caranya sangat bervariasi dan sangat unik jika disimak satu persatu. Pada bulan 7 tanggal 15 penanggalan Lunar/Imlek ini, ada 3 macam sembahyangan yang dilaksanakan oleh masyarakat Tionghua yang masih bertahan pada budaya tradisinya. Mereka mengadakan upacara sembahyang di vihara dan kelenteng atau cukup dirumah masing-masing.
 
Yang pertama:
Adalah sembahyang pada leluhur yang sudah meninggal, orang Tionghua yakin bulan tujuh penanggalan Lunar ini adalah saatnya pintu neraka dibuka, semua roh dilepas ke dunia untuk mencari makan, untuk meringankan beban roh leluhur mereka, maka masing-masing adakan sembahyang dan menyajikan makanan pada leluhur maupun pada roh-roh yang gentayangan. Selain sembahyang untuk leluhur mereka, ada juga sembahyang besar yang dilaksanakan oleh kelenteng atau tempat ibadah orang Tionghua yang tradisionil, khusus sembahyang ini ditujukan pada roh-roh yang sudah tidak ada keturunannya yang sembahyangi, sembahyang ini disebut sembahyang “rebutan” atau dalam bahasa dialek hokkian disebut “Cioko”, memang dalam pelaksanaannya, seusai sembahyang, sesajian diatas meja memang diperebutkan oleh peserta sembahyang, bahkan mereka menganggap apapun yang didapat saat rebut sesajian tersebut, hasil rebutannya akan membawa rejeki bagi mereka dan membawa keselamatan.
Dalam kitab klasik “Liji”  disebutkan bahwa upacara ini disebut “Fuli”, sedangkan maksud Fu disini adalah memanggil roh orang yang meninggal atau disebut pula “Zhao Hun”. Pada upacara ini, arwah orang yang sudah meninggal, biasanya leluhur kita, diundang untuk kembali dan dihantar menuju ke tempat asal muasal leluhur tersebut. Kitab Li Ji mengatakan bahwa tindakan ini adalah suatu perwujudan untuk menunjukkan rasa cinta kasih dan bakti.
 
Yang ke Dua:
Adalah sembahyang Zhongyuan, atau dalam dialek Hok kian sembahyang Tiong guan, sembahyang ini sudah banyak dilupakan oleh generasi sekarang, sembahyang ini adalah memperingati seorang baginda raja yang bernama “Shun” pada sejarah Tiongkok, raja ini berasal dari rakyat jelata, namun karena prilaku baktinya pada orang tua serta sangat menyayangi saudara sendiri, maka raja sebelumnya memilih beliau sebagai penerus dan memimpin kerajaan, budaya Tionghua menekankan laku bakti pada orang tua, seorang yang berperilaku bakti, maka dia adalah seorang yang bijak dan baik.
Khusus untuk sembahyang ini dilakukan pada tanggal 15 bulan 7 penanggalan Lunar/Imlek. Maka sembahyang ini juga diberi nama sembahyang “Zhongyuan jie”.
Pada Zhongyuan Jie ini biasanya yang disembahyangi ada 3 tokoh sejarah yang sudah dianugrahkan jabatan sebagai “san guan da di” untuk mengendalikan 3 alam. Namun sayang sekali pemahaman tentang tradisi ini sudah makin pudar di generasi muda Tionghua saat ini.
 
Yang ke tiga:
Adalah sembahyang Ulambana, dan sembahyang ini sudah penuh dengan nuansa Buddhism Mahayana.
Dalam Buddhis Mahayana maka orang lain, terutama keluarga, bisa melakukan suatu upaya untuk meringankan karma dari arwah leluhurnya yang telah meninggal dengan bantuan para bodhisatva. 
Konsep karma dalam Buddhism Mahayana ini berkaitan dengan konsep Taoism di Tiongkok, bahwa karma leluhur akan menurun kepada anak cucunya, begitu pula anak cucu dapat berbuat bajik untuk meringankan dosa leluhurnya yang sudah meninggal.

Sebuah Kitab Suci Budhis yang berkembang di Tiongkok, berjudul Yi Lan Pen Jing, di dalam Kitab tersebut ada tercatat sebuah peristiwa :

Pada zaman dulu, ada seorang Bikkhu yang bernama Moggalana. Ia merupakan salah seorang dari 10 Murid Utama Sang Buddha Gautama. Moggalana adalah murid Sang Buddha dengan kesaktian no. 1 (di bawah Sang Buddha).

Moggalana pada suatu ketika, dengan mata bathinnya melihat ibunya yang telah meninggal dunia, mengalami siksaan kelaparan. Dengan maksud membantu ibunya, ia mengisi nasi ke dalam sebuah mangkok, untuk memberi makan ibunya. Tak disangka, begitu nasi akan disuapkan ke mulut ibunya, nasi tersebut berubah menjadi bara api yang membara. Moggalana dengan menggunakan kesaktiannya mencoba berkali-kali, tapi setiap kali hendak masuk ke mulut ibunya, nasi tersebut berubah menjadi bara api.

Moggalana terkejut luar biasa, lalu kembali dan melapor kepada Sang Buddha. Sang Buddha berkata kepadanya : “Dosa ibu kamu terlalu berat, hanya dengan kekuatan kamu 1 orang, tidak bisa membebaskan penderitaan ibu kamu!”. 

Lalu Moggalana memohon kepada Sang Buddha memberi petunjuk, bagaimana caranya bisa menolong ibunya. 
 
Melihat usaha Moggalana yang begitu serius yang memiliki hati berbakti pada orang tuanya, maka Buddha Sakyamuni memberikan petunjuk kepada siswanya agar ia memberikan dana paramita kepada Para Arya Sangha dan setelah itu memohon Arya Sangha mengadakan suatu upacara guna menolong meringankan penderitaan ibundanya.

Moggalana sangat gembira dan dengan penuh rasa bakti segera melaksanakan petunjuk Gurunya. Ia memohon bantuan para suci yang sedang lakukan meditasi selama 90 hari dan hari terakhir adalah pas jatuh pada tanggal 15 bulan 7  Imlek. Maka dengan kekuatan kasih para suci itulah Ibunda Moggalana segera tertolong.
Masyarakat yang ingin orang tua yang dalam penderitaan dalam neraka bisa memperoleh pertolongan. Maka pada hari dan menjelang 15 bulan 7 imlek, mereka bersembahyang , bervegetarian bahkan ada juga yang berdana dengan cara membagi-bagikan sembako pada fakir miskin, mengharapkan dengan pelimpahan jasa ini dapat meringankan penderitaan leluhur mereka dialam sana.
 
Pada intinya, dalam bulan 7 penanggalan Lunar ini, masyarakat Tionghua dengan budayanya yang unik sekali lagi menekankan pentingnya berbakti pada orang tua, dan juga menunjukan suatu garis penghubung yang mana kita berasal dari leluhur kita, maka kita tidak boleh melupakan mereka, walaupun mereka sudah berada dialam yang berbeda.

Komentar