Tionghoa merupakan salah satu etnis yang sampai saat ini terdapat di Indonesia. Etnis ini kini sudah tersebar di hampir seluruh wilayah nusantara. Keberadaan etnis Tionghoa, sebenarnya sudah ada sejak negara Indonesia masih berupa kerajaan. Saat itu etnis ini melakukan perjalanan sampai ke nusantara adalah dengan tujuan untuk berdagang dan sejak itu pula terjadi hubungan baik antara etnis Tionghoa yang menyandang status kaum pendatang dengan penduduk asli Indonesia yang di istilahkan dengan status pribumi.
Menyusuri Etnis Tionghoa Yogyakarta
Dalam tugas mata kuliah Agama dan Masyarakat Multikultural ini, kami mengambil tema “Interaksi Sosial Muslim Tionghoa-non Muslim Tionghoa dan Pribumi di Yogyakarta”. Kemudian alasan kami mengambil tema “Interaksi Sosial Muslim Tionghoa-non Muslim Tionghoa dan Pribumi di Yogyakarta” adalah karena etnis Tionghoa sebagai kaum pendatang dapat menguasai bidang perekonomian di negara ini, namun tergolong minoritas dalam kehidupan social-politiknya di lingkungan masyarakat Indonesia. Pengakuan keberadaan etnis Tionghoa di nusantara, tidak seperti etnis lain yang mungkin masih mendapatkan hak yang sama dengan masyarakat Indonesia lainnya. Kemudian selain itu juga karena ada asumsi bahwa ada jurang yang memisahkan antara pribumi sebagai penduduk asli negeri ini dengan etnis Tionghoa sebagai kaum pendatang, selain itu pula banyak batasan bagi perkembangan etnis Tionghoa di nusantara ini. Hal itu lah yang menjadi daya tarik kami untuk mengkaji asumsi-asumi yang telah ada, yang bagi kami masih menimbulkan pertanyaan-pertanyaan dan perlu diklarifikasi isu-isu tentang etnis Tionghoa yang sampai saat ini telah berlaku di lingkungan masyarakat Indonesia.
Perjalanan awal kami mengkaji etnis Tionghoa di wilayah Yogyakarta adalah berawal dari ketidaktahuan. Kami mencoba untuksearching tentang “Muslim Tionghoa di Yogyakarta” di internet dan kami hanya mendapatkan alamat sekretariat organisasinya. Organisasi tersebut bernama Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) dengan alamat secretariat yang kami peroleh berada di Jl. Kyai Mojo No. 14. Sebenarnya kami tidak tahu letak jalan Kyai Mojo berada di seblah mana Yogyakarta. Kami mencoba menyusuri internet lagi mencari peta untuk mencapai jl. Kyai Mojo kemudian selain itu juga kami mencoba bertanya kepada senior dan teman-teman kami untuk memastikan arah menuju lokasi yang kami tuju.
Panas terik matahari, tidak mengurungkan niat kami untuk menyusuri etnis Tionghoa. Kami mencoba menyusuri arah yang telah kami ketahui dari informasi yang ada. Kami telah menemukan jl. Kyai Mojo, namun ternyata perjalanan kami tersesat dengan ketidaktahuan wilayah Yogyakarta. Kami mencoba bertanya kepada toko-toko yang ada di sekitar jalan Kyai Mojo tenyata penelurusan kami berlebih. Tiba pada sebuah toko dengan tulisan toko ABC kalau tidak salah. Disamping toko tersebut kami berhenti sejenak, dengan ragu kami bertanya-tanya alamat sekretariat PITI DIY yang kami peroleh sama dengan alamat toko tersebut. Kemudian untuk meluruskan keraguan kami, kami memutuskan untuk bertanya langsung kepada karyawan yang ada ditoko tersebut. Karyawan toko langsung bertanya “ada keperluan apa ? dari mana ?namanya siapa ?” kemudian karyawan tersebut beranjak pergi entah kemana. Sambil menunggu karyawan tadi kembali, kami bertanya pada karyawan lainnya tentang yang dilakukan karyawan sebelumnya. Karyawan lain menjawab “pemilik toko ini bapak Budi Setyagraha adalah orang Tionghoa dan beliau adalah seorang muslim” (jawaban yang dilontarkan karyawan lain saat kami mencari tahu tentang toko tersebut). Kami beranggapan “Ohh.. kebetulan ternyata. Ternyata kantornya adalah rumahnya sendiri”. Tidak lama kemudian, karyawan yang tadi kembali dan memberikan secarik kertas kecil yang berisi nama dan nomerTelephone dan ia menyatakan bahwa kata pak Budi Setyagraha kalau kami ingin mengetahui PITI lebih jauh, kami disarankan untuk menghubungi bapak Ma’ruf Siregar. Setelah itu kami permisi dan beranjak pergi dari toko tersebut.
Tidak lama kemudian kami langsung menghubungi bapak Ma’ruf Siregar. Kemudian bapak Ma’ruf hanya memberitahukan alamat jika kami ingin ngobrol-ngobrol dengan beliau tentang PITI DIY dan etnis Tionghoa. Lagi-lagi pencarian alamatpun kami telusuri dan lagi-lagi kami tersesat. Sesampainya kami menemukan rumah bapak Ma’ruf kami langsing berkunjung ke rumah beliau. Tidak disangka ternyata beliau, adalah seseorang yang usianya sudah terbilang lansia. Kemudian kami ngobrol-ngobrol dengan beliau[1]. Bapak Ma’ruf Siregar adalah seorang penasehat dan juga tangan kanan dari ketua PITI Korwil Yogyakarta, beliau berasal dari etnis Batak istri beliau adalah berasal dari keturunan Tionghoa. Menurut wawancara yang kami lakukan dengan Bapak Ma’ruf Siregar PITI Korwil Yogyakarta Bapak Ma’ruf Siregar, Beliau mengatakan Integrasi sosial muslim china dengan pribumi pada awalnya mengalami kendala dikarenakan masalah ekonomi sosial, kesenjangan ekonomi, dan stigma buruk diantara dua etnis. Karena hal ini lalu didirikannya sebuah organisasi dakwah untuk mewujudkan hubungan harmonis. PITI inilah sebuah organisasi dakwah yang bercirikan etnis Tionghoa.
“Keberadaan etnis China kemungkinan sudah ada sejak tahun 1400-an. Karena pada tahun 1400-an, dinasti Mieng yang merupakan dinasti Islam di China sudah Berjaya dan pada tahun itu juga negara Indonesia masih masa Hindhu-Budha (masa Majapahit). Dinasti Mieng pun mendirikan sebuah masjid yang arsitek bangunannya menyontek masjid Madinah. Kemudian banyak para wali yang keturunan China. Termasuk Laksamana Cheng Hoo. Awal masuknya etnis China adalah dengan tujuan untuk berdagang. Jadi, sebenarnya sebelum kolonial Belanda datang ke Indonesia, kaum etnis China atau Tionghoa dengan pribumi sudah menjalin hubungan yang baik. China pun yang menyebarkan Islam ke indonesia melalui Prof. Slamet Mulyono sebelum Belanda dating dan pribumi menyatu. Karena seperti yang saya sudah katakan tadi, bahwa pada awal datangnya etnis Tionghoa ke nusantara adalah dengan maksud berdagang bukan untuk menjajah, jadi tentunya akan diterima baik oleh pihak pribumi.
Kemudian masa G 30/S PKI atau saat itu masa kolonial Belanda. Politik kolonialisme Belanda, pribumi dan etnis China jangan sampai bersatu. Dan oleh colonial belanda pula etnis China dan pribumi di adu domba. Belanda membuat surat rekayasa yang mengatasnamakan pangeran Diponegoro atau disebut juga babad Diponegoro. Dalam babad Diponegoro tersebut dikatakan bahwa orang Jawa tidak percaya china sebab orang china pengkhianat dan Laskar Diponegoro ada laskar chinanya. Pada masa orde Baru, segala literature China dilarang, sekolah-sekolah China dilarang (saat itu sekolah China diganti menjadi sekolah Kristen), Al-Qur’an dalam bentuk bahasa China dilarang, segala bentuk identitas China tidak boleh dipublikasikan hal itu karena pribumi sudah menganggap bahwa orang China tidak dapat dipercaya”.
Kemudian, masih pada masa colonial Belanda. Sekitar tahun 1855, colonial Belanda menggolongkan masyarakat Indonesia menjadi 3 golongan[2], yaitu ;
*golongan kelas 1 adalah bangsa Eropa (Belanda)
*golongan kelas 2 adalah orang Tionghoa dan orang timur Asing (India dan Arab)
*golongan kelas 3 adalah orang pribumi
Dari pembagian golongan tersebut, terlihat bahwa etnis pendatang yakni (Eropa, Tionghoa dan timur Asing (India dan Arab) mendapatkan hak-hak istimewa yang dilindungi Undang-undang kolonial. Dengan adanya hak istimewa itu kemudian kaum pendatang lebih cepat kaya termasuk etnis Tionghoa dan penduduk Indonesia sebagai pribumi tetap menderita[3]. Beberapa hak istimewa kaum pendatang dari Belanda, seperti yang diperoleh etnis Tionghoa misalnya ; etnis Tionghoa diperlakukan lebih oleh colonial Belanda dibanding pribumi Indonesia baik secara structural, maupun perlakuan istimewa lainnya, dan dalam perekonomian penduduk pribumi ditempatkan pada diposisi bawah. Sebagai akibat dari hak istimewa tersebut adalah (1) adanya kecemburuan social pribumi terhadap golongan etnis Tionghoa[4], kemudian (2) karena etnis Tionghoa merupakan kaum pendatang yang juga menguasai bidang perekonomian menjadikan adanya jurang pemisah antara pribumi dan etnis Tionghoa atau China, hal lain juga adalah (3) pribumi dan etnis Tionghoa menjadi sulit berbaur dan kurang adanya rasa saling percaya antar etnis tersebut[5].
Walaupun masa kolonial Belanda sudah terlewat, namun perjalanan etnis Tionghoa di nusantara hingga saat ini tidak mulus-mulus saja dan dalam menjalani hidupnya etnis Tionghoa mengalami streotif miring atau anggapan negative baik itu dari etnis Tionghoanya kepada penduduk pribumi maupun dari pribumi ke etnis Tionghoa. Bagi penduduk non-Tionghoa atau pribumi, orang Tionghoa dinilai tertutup, angkuh, egois, materialistis. Dan orang pribumi dimata etnis Tionghoa dikenal sebagai pemalas, ingin kaya tanpa bekerja keras, munafik, dan serta suka main belakang[6].
Seperti yang telah dibahas tadi bahwa sebenarnya hubungan antara pribumi dan etnis Tionghoa sudah terjalin baik sebelum datangnya Belanda ke nusantara. Etnis Tionghoa atau etinis China ada di nusantara sekitar tahun 1400-an yang pada masa itu adalah kejayaan Islam di China pada dinasti Mieng. Pada tahun yang sama juga penyebaran Islam di nusantara mulai di lakukan oleh para pedagang (sebagian para pedagang telah lebih dulu masuk Islam) yang juga sebagiannya adalah berasal dari China. Laksamana Cheng Hoo bersama anak buahnya yang juga beragama Islam, melakukan perjalanan hingga ke Indonesia awalnya bukan bertujuan untuk dakwah Islam (menyebarkan ajaran Islam) namun untuk berdagang dalam rangka menjalin hubungan yang erat antar Tionghoa dengan negara-negara Asia- Afrika[7].Laksaman Cheng Hoo atau Sam Po Kong adalah pemimpin pertama Islam asal China yang datang ke Asia Tenggara. Perjalanannya dimulai dari Fuzhou di provinsi Fujian sampai ke Palembang di Barat dan mulai dari pantai Barat Kalimantan sampai ke Taiwan di Timur. Kemudian kira-kira abad ke -17 hubungan antara para pendatang dari Tiongkok dengan penduduk pribumi telah berlangsung baik[8]. Dan ketika kolonial Belanda datang ke nusantara, hubungan antara pribumi dengan menjadi tidak baik termasuk pandangan terhadap agama Islam yang menjadi agama yang dianut oleh mayoritas penduduk pribumi.
Sebagian kecil etnis Tionghoa telah memeluk Islam kemudian bagi kebanyakan etnis Tionghoa[9], orang Islam dipandang munafik, tidak dapat dipercaya, jorok, senang memiliki banyak istri dan mudah menceraikannya, dan anti Tionghoa. Anggapan itulah kemudian, bagi etnis Tionghoa merasa nuansa agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia (agama Islam) dirasa tidak cocok.
Lambat laun agama Islam juga dianut oleh sebagian kecil etnis Tionghoa di nusantara khususnya di Yogyakarta. Walaupun dari kalangan etnis Tionghoa Yogyakarta, sebagaian kecil masyarakatnya sudah ada yang menganut agama Islam, namun hubungan antara etnis Tionghoa (muslim-non muslim) dan juga pribumi tidaklah baik. Buruknya hubungan tersebut kemungkinan adalah dampak dari adanya pembagian golongan yang dilakukan oleh Belanda. Masih ada anggapan bahwa orang Tionghoa hidupnya lebih baik dari orang pribumi[10]. Kemudian ketika Belanda sudah beranjak dari nusantara. Hubungan diantara dua golongan ini menjadi perhatian masyarakat Indonesia yang peduli akan pembauran. Untuk menyatukan antara kaum pendatang etnis Tionghoa dengan pribumi, maka diperlukan adanya pembentukan lembaga atau semacam perkumpulan yang menggunakan pendekatan agama. Kemudian dibentuklah suatu lembaga yang dapat menyatukan muslim Tionghoa dengan muslim pribumi. Lembaga ini dinamakan PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia). PITI[11] dibentuk pada tanggal 14 April 1961 di Jakarta. Oleh Alm. H. Abdul Karim Oei Tjeng Hien, Alm. H. abdusomad Yap A Siong dan Alm. Kho Goan Tjin. Sejak terbentuknya PITI mempunyai 11 koordinator wilayah se-Indonesia (Korwil)[12], termasuk PITI DIY.
Sekitar tahun 1967, adalah masa peralihan kekuasaan dari Orde Lama menjadi Orde Baru. Pada masa Orde Baru ini, kebijakan pemerintah dalam menggalakkan gerakan pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa, maka pada masa itu symbol-simbol, identitas atau ciri seperti bahasa, budaya yang dianggap menghambat pembauran khususnya Tionghoa dilarang dan dibatasi. Termasuk nama kepanjangan yang terdapat dalam PITI masih ada nama Tionghoa itupun dilarang. Kemudian pada tanggal 15 Desember 1972 PITI mengubah namanya menjadi Pembina Iman Tauhid Islam[13]. Adanya kebijakan masa Orde Baru ini ada campur tangan pemerintah yang membuat organisasi PITI ini tidak dapat berkembang. PITI yang mempunyai ciri khas Tionghoa sekaligus Islam tidak boleh ditonjolkan dan tidak boleh menampakkna dirinya ke permukaan dengan alas an demi persatuan dan kesatuan bangsa.kebijakan pemerintah mengenai SARA ini membuat masyarakat Indoensia menerima SARA dengan dibayangi rasa ketakutan dan kecuriagaan bahkan bersikap negative.
Walau dalam perkembangannya PITI tidak begitu mulus, setidaknya PITI dapat disambut oleh masyarakat luas. Bahkan PITI mempunyai PITI korwil DIY. PITI DIY didirikan pada tanggal 20 September 1970 atas inisiatif para pendiri dan pengurus PDHI (Persaudaraan Djamaah Haji Indonesia) diantaranya adalah Prof. KH. Abd. Kahar Muzakir, GBPH. H. Prabu Ningrat, KH. M. Djoenaid, KH. R. Therus, KH. Muhadi Munawir, KH. Ali Maksum, dan Prof. Mukti Ali yang pada saat itu mereka mengajak Iksan Budisantoso dan Ahmad Sutanto yang merupakan keturunan Tionghoa Muslim untuk mendirikan PITI Yogyakarta sebagai lembaga dakwah untuk warga Tionghoa[14]. PITI DIY terakhir dipimpin oleh Hj. Lie Sioe Fen. Hubungan PITI DIY saat ini cuku baik dengan organisasi masyarakat lainnya termasuk dengan pemerintahan. Hubungan baik dengan organisasi masyarakat dan juga sebagian masyarakat adalah terbuka kembali ketika masa KH. Abdurrahman Wahid memimpin negara Indonesia, kebebasan etnis pendatang khususnya Tionghoa sudah diperbolehkan menunjukkan identitasnya. PITI DIY adalah sebagai jembatan antara muslim Tionghoa-non muslim Tionghoa dan juga pribumi.
Namun, walaupun hubungan baik itu terjalin kembali tidak masih ada diantara mereka muslim Tionghoa masih ada yang merasa enggan dengan identitas keislamannya. Masyarakat etnis Tionghoa masih ada rasa ketakutan dan malu jika mengaku sebagai orang Islam, mereka takut akan dikucilkan keluarga, diputus dar jaringan bisnis, dan iklim pemerintahan. Dan juga ada muslim Tionghoa yang merasa malu ketika dirinya didatangi PITI sebagai orang Islam namun ia mengaku beragama lain , hal ini karena orang Tionghoa masih ada yang merasa derajatnya lebih tinggi di banding orang pribumi. Dan jika orang Tionghoa masuk Islam berarti mereka melebur dengan penduduk pribumi dan derajatnya menjadi turun sehingga ia tidak mau dikatakan bahwa dirinya adalah orang Islam[15].
Hubungan antar etnis Tionghoa dan juga pribumi maupun dengan pemerintahan Yogyakarta di Yogyakarta sudah cukup baik. Hal ini dipertegas oleh bapak Ma’ruf Siregar bahwa ada orang Tionghoa dan juga muslim yang sudah menjadi anggota Legislatif DIY dan bahkan pernah menjadi ketua komisi D DPRD DIY. Kemudian ini adalah merupakn hasil dari hubungan yang sangat baik dengan pemerintah pribumi dan juga ini akan mengubah sikap dan stigma-stiga negative terhadap Tionghoa khususnya[16].
Selanjutnya menurut bapak Ma’ruf Siregar, didalam PITI DIY ada lembaga sendiri untuk berkumpulnya para pemuda etnis Tionghoa (baik muslim maupun non muslim) yaitu lembaga Putra Pemuda. Dan untuk jumlah muslim Tionghoa yang ada di wilayah yogyakarta sendiri diperkirakan berjumlah 800 orang.
Etnis Tionghoa sampai saat ini masih termasuk masyarakat yang minoritas. Menurut bapak Eko selaku pengawas di salah satu Klenteng yang ada di Yogyakarta, bahwa sebagian besar masyarakat etnis Tionghoa di DIY adalah menganut agama Islam, Katolik, Protestan, dan untuk yang beragama Khong huchu masih sangat sedikit tidak sampai 1 % dari masyarakat Tionghoa di DIY dan kebanyakan yang menganut Kong huchu adalah pendatang dari luar pulau, para mahasiswa. Hal ini karena adanya fasilitas pendidikan yang secara terpaksa anak-anak atau keturunan Tionghoa harus sekolah di sekolahan Katolik, Protestan yang mengajarkan pelajaran agama Katolik atau Protestan. Walaupun ada sekolah negeri, namun disekolah negeri tidak ada pelajaran agama Konghuchu. Karena hal itulah kemudian masyarakat Tionghoa yang menganut agama Kong hu Chu menjadi semakin minoritas[17].
Kemudian beliau juga mengatakan bahwa walaupun minoritas, hubungan Tionghoa termasuk yang masih menganut Kong huchu dengan masyarakat pribumi terjalin baik begitupun dengan etnis Tionghoa yang sudah menganut agama Islam. Untuk menjalin hubungan yang baik etnis Tionghoa saling membantu satu sama lain. Misalnya ketika perayaan Idul Adha kami bersama masyarakat Tionghoa lainnya di sekitar Yogyakarta membantu menyumbang Kambing dan juga dana untuk Idul Adha. Hal ini terjadi karena sekarang ini masalah agama dalam etnis tidak dipermasalahkan, jadi dalam perayaan-perayaan keagamaan masing-masing agama saling membantu, menghormati dan tetap bersama. Bahkan di Yogyakarta sekarang sudah ada perkumpulan etnis Tionghoa yang terdiri dari berbagai macam agama dan suku, letaknya di sekitar wilayah Malioboro, perkumpulan tersebut bernama Hok tjiang. Kemudian selain itu juga khususnya dalam umat Kong huchu di Yogyakarta juga terdapat kegiatan Bakti Sosial yang minimal dilakukan 1 tahun sekali, dan sering membagi-bagikan sembako atau makanan yang lainnya kepada pribumi yang membutuhkan, dengan tanpa membeda-bedakan agama, suku dan kegiatan tersebut direspon baik oleh masyarakat pribumi.
KESIMPULAN
Dapat disimpulkan bahwa, hubungan antar etnis maupun antar masyarakat lainnya akan terjalin baik atau tidak dapat terjadi apabila adanya proses social. Proses Sosial adalah cara-cara hubungan yang dilihat apabila orang-perorangan ataupun antar kelompok saling berinteraksi dan bertemu[18]. Dengan adanya proses social bisa saja terjadi pembauran dapat juga tidak. Pembauran akan terhambat apabila antar etnis ada sikap prasangka yang negative dalam etnis satu dengan yang lainnya. Dan secara social etnis satu dengan yang lainya pembauran, terhambat bila interaksinya bersifat negative dan dapat menagkibatkan tingkah laku diskriminasi sehingga masing-masing etnis merasa diperlakukan diskriminasi dari etnis lainnya (Myers 1981 : 420)[19]. Dan pembauran akan terjadi bila adanya sikap saling terbuka, toleransi, menghormati dan saling menerima adanya perbedaan satu sama lain.
- INFORMAN
- Bapak Ma’Ruf Siregar (selaku penasehat PITI DIY)
- Bapak Eko (penduduk pribumi keturunan Tinonghoa) selaku pengawas Klenteng di Jl. Brigjen Katamso.
- DAFTAR PUSTAKA
Perdana, Fahmi Rafika. 2008. “Integrasi Sosial Muslim-Tionghoa (Studi Atas Partisipasi
PITI DIY dalam Gerakan Pembauran)”. Yogyakarta : Mystico.
Syarbaini,Syahrial dan Rusdiyanta. 2009. “Dasar-dasar Sosiologi”. Yogyakarta : Graha
Ilmu.
Komentar
Posting Komentar
Mohon untuk tidak memasang Iklan
ADMIN