PENGARUH AKULTURASI BUDAYA CINA – JAWA
DALAM PENGEMBANGAN WISATA DI KOTA SEMARANG
I. PENDAHULUAN
Proses pengembangan suatu kawasan wisata memerlukan waktu yang cukup lama sebelum dapat berkembang secara lengkap. Hal tersebut memerlukan perhatian, seperti : lingkungan, masyarakat dan budaya. Keunikan daerah harus ditonjolkan agar ciri khas daerah dapat dipasarkan. Pariwisata sebagai suatu aktivitas pengembangan ekonomi, khususnya pendapatan asli daerah (PAD), ternyata juga membawa dampak terhadap lingkungan dan nilai budaya masyarakat.
Kedatangan masyarakat asing di suatu daerah tentunya membawa pengaruh besar terhadap perkembangan daerah itu sendiri. Salah satu daerah di pesisir Jawa yang menjadi daerah persinggahan emigran Cina di Indonesia adalah Kota Semarang. Hal ini diawali oleh kedatangan muhibah Cheng Ho pada tahun 1412 Masehi , dengan membawa misi dagang yang terus berlanjut hingga abad ke 20. Sebagian besar perantauan Cina memiliki pengetahuan dan ketrampilan berdagang. Ketika pada masa Kolonial Belanda, kegiatan dagang etnis Cina dibatasi dengan cara memindahkan kehidupan etnis Cina ke Pecinan, kegiatan perdagangan tetap berjalan pesat. Terutama adanya interaksi etnis Cina dengan pribumi. Dari kenyataan inilah terjadi akulturasi budaya Cina-Jawa di Kota Semarang hingga sekarang.
Menurut sejarah, kota Semarang telah mampu berkembang sebagai transformasi budaya yang bersifat religi, tradisi, teknologi maupun aspirasi yang menjadi daya penggerak bernilai besar dalam memberi corak dan memperkaya kebudayaan. Kebudayaan, menurut Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi (1974 : 16) adalah semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Mengacu pendapat tersebut, maka karya masyarakat akan menghasilkan teknologi dan kebudayaan yang berwujud benda, misalnya rumah, makanan, senjata, pakaian dan sebagainya.
Akulturasi adalah proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing yang berbeda sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur asing tersebut lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri. (Koentjaraningrat, 1974 : 152). Dalam hal ini akulturasi merupakan proses pengambilan dan pemberian unsur kebudayaan tertentu dari dua jenis budaya, akibat adanya pertemuan kelompok-kelompok yang berlatar belakang budaya berbeda di tempat atau lokalitas yang sama.
Masyarakat Cina yang berada di Semarang, terdiri atas masyarakat Cina Totok dan masyarakat Cina Peranakan. Masyarakat Cina Totok adalah masyarakat Cina yang eksklusif dan tertutup dari pengaruh lingkungan sosialnya. Sementara masyarakat Cina Peranakan adalah masyarakat yang proses sosialnya telah membaur dengan kehidupan masyarakat setempat. Menurut aspek kebudayaannya, Cina Peranakan telah menjadi perantara timbulnya akulturasi budaya Cina dan Jawa. Sementara yang dimaksud wilayah masyarakat Jawa adalah masyarakat yang tinggal di Jawa Tengah, salah satunya di Kota Semarang.
Masyarakat menilai jika kebanyakan etnis Cina lebih banyak bergantung hidup dari usaha dagang. Pendapat tersebut terlihat jelas dari kenyataan bahwa ada golongan minoritas yang memegang peran penting dalam sistem ekonomi. Perkembangan tahun selanjutnya menunjukkan bahwa masyarakat Cina yang terjun di bidang perdagangan, tetap memegang peranan penting dan memberi sumbangan yang besar dalam perekonomian Indonesia. Sebagai bukti bahwa orang Cina telah memegang peranan penting dalam sistem ekonomi masa lalu, pada alkhir abad ke-19 di Semarang telah berdiri Kongsi Dagang Kian Gwan yang bergerak dalam usaha ikan kering, the wulong (wu=hitam, long=naga), sutera, tumbuh-tumbuhan obat Cina dan makanan impor. (Kunio, 1992 : 118). Perusahaan ini mengembangkan komoditi ekspor dalam usaha gula dan tembakau. Dalam perkembangan selanjutnya, perusahaan ini dikembangkan oleh pengusaha terbesar dan tuan tanah terkenal di kota Semarang bernama Oei Tiong Ham, sehingga perusahaan ini berubah nama menjadi Oei Tiong Ham Concern. Bentuk perusahaan multi usaha yang terbesar pada masa itu. Selanjutnya muncul pedagang besar Cina lainnya seperti : Be Biauw Tjoandan dan Tan Tjoang Hoay.
Beberapa tempat di Semarang merupakan sebagai daerah perdagangan yang dijalankan oleh etnis Cina.
- Gang Besen adalah daerah penjualan besi.
- Gang Lombok adalah kawasan kebun lombok.
- Gang Mangkok adalah daerah penjualan barang pecah belah.
- Gedangan adalah kawasan kebun luas yang menghasilkan pisang (=gedang)
- Gendingan adalah daerah pembuatan alat musik gamelan.
- Jagalan adalah daerah pemotongan hewan (potong = jagal)
- Kampung Batik adalah daerah pusat usaha batik semarangan.
- Kapuran adalah daerah gudang kapur.
- Kentangan adalah kawasan kebun kentang
- Kampung Kulitan adalah daerah penyamakan kulit, milik pedagang kaya Tasripien.
- Peterongan adalah daerah penjualan terong.
- Petolongan adalah daerah pembuatan talang (talang=tolong=saluran curah air hujan)
- Petudungan adalah daerah penjualan tudung (tudung=caping=tutup kepala)
Pada perkembangannya, kawasan tersebut berkembang sebagai kawasan perdagangan di Semarang.
- Gang Warung adalah sentra perdagangan tekstil / kain
- Pekojan adalah sentra penjualan bahan bangunan
- Kauman adalah sentra penjualan barang yang berkaitan dengan ibadah agama Islam, seragam militer, pramuka dan bahan bangunan (khususnya keramik dan sanitasi)
- Kranggan adalah sentra perdagangan emas, tekstil dan batik.
- Gang Lombok adalah tempat penjualan makanan, seperti : Lunpia, Bolang- baling, Jakue, Kue Kranjang, permen dan Klenteng Tay Kak Sie.
- Gajahmada (dulu Kampung Duwet) sebagai tempat pertokoan martabak telur, kue Bandung, sate ayam dan hotel.
- Agus Salim (dulu Jurnatan) sebagai kawasan perdagangan peralatan dan mesin.
- Depok adalah tempat penjualan mebel, perlengkapan rumah tangga, suku cadang kendaraan bermotor dan pusat jajan.
- Barito adalah pusat jual beli barang rongsokan (bekas), onderdil kendaraan dan pasar sepeda onthel.
- Kawasan Candi Baru adalah daerah sekolahan, perkantoran, hotel berbintang dan kawasan pendidikan Akademi Kepolisian.
- Kawasan Simpang Lima adalah kawasan perdagangan seperti pusat perbelanjaan, hotel, bioskop, pedagang kaki lima, lapangan upacara dan bermain anak serta masjid raya Baiturrahman.
- Kawasan Genuk dan Tugu adalah kawasan industri kecil.
- Pasar Dargo adalah sentra penjualan beras.
Kawasan Pecinan dari masa dulu hingga sekarang adalah kawasan perdagangan yang dijalankan orang Cina mulai jam 08.00 sampai dengan 17.00. Kawasan ini mempunyai ciri khas perkampungan Cina : jalannya kecil dan sempit, menjorok jauh ke dalam, rumah tembok beratap genting dengan langgam bangunan Tionghoa Kuno, wuwungannya unik, pintunya dari kayu jati. (Baron Von Howell, Suara Merdeka 1976 : 6).
Pada masa Kolonial, perkembangan daerah Pecinan dimanfaatkan oleh sistem perekonomian Belanda. Belanda memanfaatkan warga Pecinan untuk memupuk keuntungan modal Belanda dan kaum kerabatnya sendiri. Hal ini tampak dari dua golongan warga Pecinan, yaitu :
1. Para pengumpul cukai (Pacht)
Yaitu pengumpul cukai yang mendapat ijin khusus untuk keluar masuk desa menarik upeti dari masyarakat pribumi untuk Belanda.
2. Lurah Cina (Wijkmeester, Luitenant, Kapitein atau Majoor der Chinezen)
Yaitu orang Cina yang diberikan hak istimewa dari Belanda.
Menurut Liem Thian Joe, penulis Buku Riwayat Semarang, para opsir Cina peranakan yang terpilih harus memenuhi syarat kekayaan. Opsir Cina ini umumnya turun temurun dan terbatas pada keluarga peranakan. Sementara masyarakat pribumi sebagai golongan masyarakat terbesar di kota Semarang yang tinggal di kampong dekat jalan besar, seperti : Karangturi, Pandean, Sayangan, Plampitan. Randusari, Karangbidara, Bodjong, Pocol dan Jalan Layur.
Perekonomian di daerah Pecinan berkembang pesat dan mempercepat integrasi sosial ekonomi yang didukung oleh keadaan dan diversifikasi profesi. Orang Hokkian dan Hokcia memiliki usaha bidang tekstil, Orang Kanton (Kongfu) menciptakan Pecinan dengan pertukangan kayu, studio foto, restoran dan hotel, Orang Hakka membuka warung kelontong dan toko beras. Hal ini telah menjelaskan bahwa daerah Pecinan sebagai kawasan perekonomian utama.
II. PEMBAHASAN
Kontak pertama masyarakat Cina di Semarang telah berlangsung sebelum kedatangan Cheng Ho yang mendarat di sekitar Mangkang (Mangkang = Wangkang = Tongkang = Perahu). Kemudian perjalanan dilanjutkan dengan menyusuri pantai dan tiba di Simongan, sebagai pemukiman awal orang Cina di Semarang sebelum pindah ke Pecinan. Konon dulu ada seorang pesilat dari Gedung Batu bernama Souw Pan Djiang yang melakukan pemberontakan di Kartasura. Dia melarikan diri dan terjun ke sungai Simongan dan tak pernah muncul lagi. Daerah ini sekarang disebut Panjangan. Hal tersebut mengakibatkan kompeni memerintahkan agar orang Cina pindah ke Pecinan pada tahun 1628. Selain itu juga pemerintah colonial bermaksud memisahkan kebersamaan Orang Cina dengan pribumi.
Perdagangan berkembang seiring dengan perkembangan sosio budaya dari berbagai etnik yang ikut serta dalam transaksi perdagangan. Terbentuklah penggolongan masyarakat akibat penyerapan unsur budaya. Misalnya ada kecenderungan saling menirukan bahasa. Orang Cina menirukan bahasa Jawa, dan sebaliknya orang Jawa menirukan bahasa Cina.
Proses asimilasi yang terjadi pada masyarakat Cina – Jawa terjadi karena adanya faktor persamaan nilai sosial budaya antara keduanya.
1. Sistem budaya yang mengatur nilai dan norma orang Jawa dan orang Cina. Bagi Orang Cina nilai yang ada berdasarkan ajaran Konfusius, Taoisme dan Budha, sedangkan bagi Orang Jawa berdasarkan ajaran dari leluhur yang berprinsip pada Tuhan.
2. Sistem sosial yang mengatur aktivitas manusia dalam berinteraksi. Misalnya nilai kerukunan, prinsip hormat, etika kebijaksanaan, prinsip jalan tengah, perkawinan dan sebagainya.
3. Sistem yang berupa hasil karya manusia yang dapat dilihat, dinikmati dan dirasakan. Kesenian Cina dan Jawa yang dirasakan sama, mempunyai perbedaan bentuk. Orang Cina mengenal Leang Leong, sementara Orang Jawa mengenal Kuda Lumping.
Akulturasi budaya Cina-Jawa pada abad XX tetap berlangsung karena latar belakang perdagangan. Namun juga didasari oleh beberapa hal, seperti :
1. Sistem Kepercayaan (Religi)
Masyarakat Jawa yang membuat bentuk sesajen, slametan, ruwatan dengan makanan jajan pasar, seperti apem, wajik, jadah, serabi dan lain-lain. Sementara masyarakat Cina yang mengadakan slametan di Klenteng, juga membuat makanan seperti nasi tumpeng lengkap dengan lauk pauknya, opor ayam, enten-enten, ketan, nasi dengan ikan laut, bubur merah dan bubur putih.
Selain itu ada bentuk acara religi budaya yang masih terus dilaksanakan setiap menyambut datangnya Bulan Puasa, yaitu Dhugdheran dan Warak Ngendhog. Acara ini diramaikan dengan pemukulan bedhug dan ledakan mercon besar. Maskot acara dhugdheran ini adalah Warak Ngendhog. Warak berasal darikata Wira’i, artinya patuh dan taat kepada Tuhan YME, mengikuti segala perintah dan menjauhi larangan-Nya. Endhog atau telur merupakan iming-iming untuk anak agar mau berpuasa. Sosok binatang Warak adalah gabungan multi budaya masyarakat Semarang. Kepala Warak berbentuk kepala naga, melambangkan etnis Cina. Leher panjang seperti leher Onta, melambangkan etnis Arab. Badannya seperti kambing Jawa, melambangkan etnis Jawa.
2. Sistem Bahasa
Akulturasi budaya Cina-Jawa dalam bidang bahasa terjadi dalam bentuk peminjaman istilah pada bahasa lisan atau tulisan. Bahasa lisan digunakan dalam percakapan perdagangan, seperti : mengko, dhek wingi, ora iso, dan sebagainya. Sebaliknya orang Jawa menyebut ce-pek (= seratus), no-pek (= dua ratus), se-jeng (= seribu) dan cem-ban (= sepuluh ribu).
Bahasa tulisan digunakan dalam penggantian nama orang Cina dalam bahasa Jawa. Hal ini dilakukan karena masyarakat Cina ingin membaur dengan masyarakat Jawa dalam kepentingan perdagangan. Seperti : Kho Tjong Han menjadi Handoyo, Ong Kho Tjing menjadi Ongkowijoyo, Liem Tjok Oe menjadi Utoyo. Atau dihubungkan dengan fengshui, seperti Budi Tirto, yang masih mengandung unsur air sebagai sumber kehidupan.
Atau menggabungkan istilah Cina – Jawa dalam perdagangan, seperti Swieke Purwodadi, Lunpia Semarang, dan sebagainya. Penggunaan bahasa pada unsur makanan Cina yang diterima dan diolah orang Jawa, seperti : bakso, bakmi, capjay, lunpia, dan lainnya. Bakso yang semula adalah makanan dari daging babi (bak) yang dicacah dan dibentuk bulat (so), kemudian oleh orang Jawa tidak dibuat dari daging babi tetapi daging sapi atau ikan.
3. Sistem Budaya
Akulturasi budaya Cina-Jawa muncul dalam hal makanan tradisional. Bakpao yang semula isinya daging babi, kemudian oleh orang Jawa diganti isi daging sapi atau kacang ijo.
Bolang-baling dan Jakue adalah kue goreng dengan rasa manis dan asin, yang terkenal adalah dari Gang Lombok.
Capjay yang semula berupa campuran sayur, oleh orang Jawa dimodifikasi dengan sayur dan bahan sesuai selera orang Jawa.
Mie Titee adalah masakan khas Cina berupa masakan berupa mie yang dicampur sayur bayam dan daging babi bagian kaki. Kemudian berkembang dengan bentuk mie kopyok yang berupa mie direbus dengan taoge dan krupuk yang diremuk dengan saus bawang putih.
4. Sistem Ekonomi
Daerah perdagangan di kota Semarang yang ada sekarang adalah merupakan perkembangan kawasana perdagangan pada masa lalu. Sistem perdagangan yang dijalankan seperti pedagang kelontong keliling, penawaran kredit (mindring) dan lintah darat telah diadopsi masyarakat Jawa sebagai bank thithil Sebuah usaha yang meminjamkan uang kontan kepada siapa saja yang membutuhkan dan mengangsur sesuai kesepakatan, bila saat jatuh tempo tidak mengangsur maka bunga yang dikenakan akan bertambah besar.
5. Sistem Pengetahuan
Kebudayaan sungai Kuning (Cina) termasuk salah satu kebudayaan yang mempunyai peradaban tertinggi di dunia. Buktinya bahwa hasil kebudayaannya tetap berkelanjutan bahkan diwarisi hingga sekarang. Salah satunya adalah bentuk pengetahuan umtuk menentukan letak yang baik berdasarkan perhitungan alam (feng shui) dan pengetahuan pengobatan (sin she).
- Feng Shui
Di kalangan masayarakat Jawa mendirikan rumah perlu mempertimbangkan waktu yang baik atau letak rumah, arah rumah sesuai dengan perhitungan atau horoskop Jawa. Tujuannya agar ketika rumah ditempati tidak membawa sial tetapi membawa keberuntungan bagi pemiliknya atau penghuninya.
Di kalangan masyarakat Cina, hal ini dikenal dengan istilah Feng Shui atau Hong shui. Dilihat dari asal katanya, feng artimya angina dan shui artinya air. Prinsipnya bumi mempunyai getaran magnetik. Bila bisa menempatkan diri pada arah dan posisi sesuai sifat magnetik alam semesta, maka keberuntungan manusia bisa dioptimalkan dengan memanfaatkan kekuatan alam di tempat tinggalnya. (Dian, 1996 : 3).
Tujuan akhir ilmu feng shui adalah mendapatkan keberuntungan dan keharmonisan dalam hidup manusia. Hal ini hampir sama dengan primbon yang berlaku pada masyarakat Jawa, yang menghitung secara tepat berdasarkan tanggal kelahiran (weton) dan kedudukan seseorang dalam keluarga, dengan maksud mengetahui keberuntungan. Apabila nasibnya jauh dari keberuntungan, maka perlu menghindari nasib kurang beruntung dengan mengusahakan upacara ruwatan.
- Sin She
Istilah Sin She dalam bahasa Cina mengandung arti tabib, guru atau ahli (Nio Joe Ian, 1961 : 152). Dalam perkembangannya istilah ini identik dengan pengobatan tradisional Cina yang dilakukan oleh tabib yang mendeteksi suatu penyakit, menemukan dan melakukan pengobatan terhadap jenis penyakit tersebut.. Jenisnya bermacam-macam. Contohnya tusuk jarum atau akupuntur yang mencari ketidakseimbangan tubuh manusia melalui denyut nadi pada pergelangan tangan kanan. Kemudian jika telah ditemukan penyakit dan penyebabnya, maka dapat dilakukan tusuk jarum atau pengobatan dengan ramuan obat.
Di kalangan masyarakat Jawa, pengobatan semacam ini dilakukan oleh dukun dengan cara memijat bagian tubuh tertentu yang ada kaitannya dengan penyakit yang diderita pasien., kemudian dibuatkan ramuan obatnya.
Jenis obat atau ramuan ini menggunakan bahan-bahan alami yang terdapat di bumi, seperti akar-akaran (temu lawak, kencur, kunir, kapulaga) dan daun-daunan (sambiroto, kumis kucing).
Di Semarang praktik pengobatan macam ini ditemui di sekitar daerah Pecinan.
6. Sistem Kemasyarakatan
Sistem kemasyarakatan yang dimaksud adalah sistem perkawinan antara orang Jawa dan Cina yang disebut dengan kawin campur (amalgamasi). Hal ini dapat terjadi karena eratnya hubungan perdagangan antara etnis Jawa dengan etnis Cina.. Bentuk yang nyata adanya kegiatan ini adalah munculnya model pakaian pengantin khas Semarangan, yang disebut Pengantin Kaji dan Encik..
Mengacu pada Album Pakaian Tradisional Jawa Tengah, model pakaian pengantin pria gaya Semarangan (pakaian Kaji) adalah mengenakan daster (gamis) yang terbuat dari kain sutera dalam jas yang dihiasi payet dan berkrah shanghai. Kemudian mengenakan celana panjang sesuai dengan warna jas. Kemudian menggunakan selop dan kaos tangan warna putih serta surban dengan cunduk menthul, bunga melati, mawar, cempaka kuning dan kanthil. Bagian badan mengenakan selempang kuning dan membawa pedang.
Sementara pakaian pengantin putri (encik) mengenakan kebaya bludru warna biru tua bersulam dengan hiasan gim dan hiasan bertabur kancing keemasan. Krah model shanghai. Mengenakan kain sarung songket, selop, kaos tangan warna putih, kembang konde yang dipasang di bagian tengah , di atas konde terdapat permata, di kanan kirinya terdapat sisir melati perak. Pada konde terdapat kembang goyang (cunduk menthul) berjumlah 30 buah. Kemudian ditambah hiasan lain seperti : pilis emas, mahkota (jamang), sumping perak permata di kanan kiri telinga, hiasan bunga cempaka kuning di belakang telinga dan ditusuk bunga melati. Ada juga anting-anting panjang seperti yang dipakai orang Cina (antng-anting tes-tes). (Hardhono Susanto 2007 : 34).
7. Sistem Kesenian
Gambang Semarang adalah salah satu bentuk seni pertunjukan tradisional kota Semarang yang terdiri atas seni musik, vocal, tari dan lawak sebagai seni tradisi kerakyatan. Gambang Semarang bukan kesenian asli pribumi Semarang, tetapi berasal dari Gambang Kromong Jakarta sebagai perpaduan unsur kesenian masyarakat Cina dan pribumi. Namun mengalami perkembangan sehingga berbeda dari Gambang Kromong. Iramanya dinamis dan menyatu dengan tarian gemulai. Kekhasannya pada gerak telapak kaki jungkat jungkit sesuai irama lagu dan diselingi sikap jongkok. Ragam gerak baku Gambang Semarangan ada 3 (tiga) macam, yaitu : Ngondhek, Ngeyek dan Genjot. Rata-rata adalah goyang pinggul. Tipe musiknya adalah langgam berirama 4/4. bersifat gembira, jenaka atau humor. Lagu Empat Penari karya Oei Yok Siang dikenal sebagai Lagu Gambang Semarang. Busana penari laki-laki terdiri atas baju putih lengan panjang (baju koko Cina), celana hitam, peci dan sarung. Atau busana Kenang yang memakai baju surjan kerah shanghai dengan bawahan batik pantura, ikat pinggang kulit dan ikat kepala bercorak monggang. Sementara penari wanita atau penyanyinya memakai kebaya encim putih dibordir batik pesisiran dibalut kain panjang pesisiran. (Hardhono Susanto 2007 : 36).
Beberapa faktor yang mempermudah terjadinya akulturasi budaya Cina-Jawa melalui jalur perdagangan, yaitu :
1. Toleransi
Masyarakat Cina yang menetap di Semarang mempunyai upaya untuk dapat diterima dengan menyesuaikan diri (adaptasi) terhadap lingkungan. Masyarakat setempat menerima orang Cina tanpa prasangka. Hal ini menjadi modal bagi etnis Cina untuk mengembangkan kehidupannya yang berorientasi perdagangan.
2. Sikap menghargai orang asing dan kebudayaannya
Masyarakat Cina membaur dengan masayarakat Jawa, terutama ketika perayaan tahun baru Imlek, sembahyang ala Cina dengan menggunakan hio di rumah atau klenteng
3. Sikap terbuka dari golongan penguasa dalam masyarakat
Cara berpakaian adat masyarakat Cina, seperti kucir, pakaian theng-sha (baju panjang Cina). Dalam hal pendidikan ada sekolah untuk anak golongan tertentu yaitu Hollandsch Chinesesch School (HCS) dan Sekolah Ongkosiji dan Ongkoloro untuk anak pribumi.
4. Persamaan unsur kebudayaan
Dalam sistem religi ada persamaan kebudayaan masyarakat Cina – Jawa, seperti sesajen jajan pasar, yang dilakukan saat satu suro (Jawa) dan hari raya Imlek (Cina). Sajian khas seperti
- Kue Mangkok atau Kue Moho, yang melambangkan sumber rejeki atau permohonan karunia sumber rejeki.
- Kue Kura atau Kuweh Ku, yang melambangkan panjang umur seperti binatang kura-kura yang hidupnya beribu-ribu tahun.
- Tumpeng dan makanan lainnya, yang melambangkan ucapan syukur atas berkat Tuhan.
Beberapa faktor yang menghambat terjadinya akulturasi budaya Cina-Jawa melalui jalur perdagangan,yaitu :
1. Perbedaan Ciri Badaniah
Orang Cina mempunyai warna kulit kuning, mata sipit dan rambut lurus. Sedangkan orang Jawa mempunyai warna kulit sawo matang (coklat), mata tidak sipit.
2. Perasaan dalam Kelompok
Hal ini dipengaruhi kebijaksanaan pemerintah Belanda, sehingga bersifat eksklusif dan cenderung tidak ingin membaur.
3. Dominansi Ekonomi
Banyak usaha yang dijalankan dengan kerabat dekatnya, Sementara di luar kerabat atau keluarga hanya terbatas tenaga administrasi atau buruh.
III. SIMPULAN
1. Akulturasi merupakan proses pengambilan dan pemberian unsur kebudayaan tertentu dari dua jenis budaya, akibat adanya pertemuan kelompok-kelompok yang berlatar belakang budaya berbeda di tempat atau lokalitas yang sama.
2. Akulturasi yang terjadi di daerah Semarang telah berlangsung sejak kedatangan bangsa asing melalui kegiatan perdagangan. Kelompok yang paling dominan berperan dalam kegiatan perdagangan ini adalah etnis Cina.
3. Akulturasi ini membawa pengaruh besar pada kehidupan masyarakat setempat, seperti : sistem religi, budaya, bahasa, pakaian, kesenian, pengetahuan dan ekonomi.
4. Perkembangan perekonomian yang dipengaruhi system perdagangan etnis Cina ini mempengaruhi corak kehidupan masyarakat kota Semarang hingga saat ini. Hal ini juga mempengaruhi perkembangan budaya, politik dan sosial kemasyarakatan di kota Semarang. Termasuk pengembangan kota Semarang sebagai salah satu daerah tujuan wisata.
- Wisata Budaya yang berkembang adalah Pemilihan Kenang dan Denok, Festival Manten Semarangan, Dhugderan dan Warak Ngendhog, Wayang, Perayaan Imlek di Semawis.
- Wisata Religi yang berkembang adalah bangunan Masjid Besar Kauman, Masjid Besar Baiturrahman, Masjid Agunng Jawa Tengah, Gereja Blenduk, Gereja Katedral, Klenteng Agung Sam Po Kong, Klenteng Tay Kak Sie, Vihara Buddhagaya Watu Gong, Vihara Mahavira Graha, Pura Agung Girinata.
- Wisata Kuliner yang berkembang adalah Bolang-baling, Jakue, Ganjel Rel, Lunpia, Mie Titee, Bandeng Presto, Warung Semawis, berbagai industri jamu dan sebagainya.
- Wisata edukasi yang berkembang adalah pelatihan Gambang Semarangan, Pelatihan Batik Semarangan, Merangkai Janur, Menulis Aksara Jawa.
DAFTAR RUJUKAN
Adicondro, G.Y. 1978. Dari Pecinan Sampai Nan Yang : Suatu Introduksi Tentang Kewiraswastaan Orang Cina di Indonesia. Prisma No. 9. Jakarta : LP3ES.
-------------------... 1992. Album Pakaian Tradisional Jawa Tengah. Jakarta : Direktorat Jendral Kebudayaan Depdikbud.
De Mente, Boye. 1994. Etiket dan Etika Bisnis Dengan Orang Cina. Jakarta : Bumi Aksara.
Hadinoto. Kusudianto. 1996. Perencanaan Pengembangan Destinasi Pariwisata. Jakarta : Universitas Indonesia Press.
Hamid. Chalik. 1996. Pengetahuan Pariwisata. Jakarta : Yayasan Bhakti Membangun.
Hariyono, P. 1994. Kultur Cina dan Jawa. Pemahaman Menuju Asmiliasi Kultural. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
Liem Twan Djie. 1995. Perdagangan Distribusi Orang-orang Cina Di Jawa. Suatu Studi Ekonomi. Jakarta : Gramedia.
Muhammad, Jawahir (editor). 1996. Semarang Sepanjang Jalan Kenangan. Semarang:Kerjasama Dati II Semarang, Dewan Kesenian Jawa Tengah, Aktor Studio Semarang.
Pelly, Usman. 1989. Pribumi dan Cina. Jakarta : PT. Grafiti.
---------------------. 2005. Profil Kota Semarang. Semarang : Kantor Informasi dan Komunkasi Kota Semarang.
Susanto. Hardhono. 2007. Serba Serbi Semarangan. The Variety Of Semarang. Semarang : Mission Media.
Suwantoro. Gamal. 1997. Dasar-dasar Pariwisata. Yogyakarta : Penerbit Andi.
Z. M. Hidayat. 1993. Masyarakat dan Kebudayaan Cina di Indonesia. Bandung : Tarsito.
Komentar
Posting Komentar
Mohon untuk tidak memasang Iklan
ADMIN