Label:
Budaya
Gong Xi Fat Choi 2563, baru saja tanggal 23 Januri 2012 kemarin seluruh keturunan Cina merayakan Tahun Baru Lunar atau di Indonesia lebih populer dengan nama Tahun Baru Imlek. Saya sendiri adalah keturunan ke-2 yang lahir di Indonesia dari Mama dan keturunan ke-3 yang lahir di Indonesia dari garis keturunan ayah.
Dalam bagian ini saya tertarik untuk membahas Cina Peranakan di Indonesia. Kenapa? Hal ini menarik bagi saya karena rupanya banyak sekali teman-teman saya yang berasal dari China ataupun yang sempat bersekolah bahasa di China bingung ketika mencari-cari kosakata yang sebelumnya dianggap "Chinese Language" saat di Indonesia, namun tidak ditemukan dalam bahasa Cina Murni. Sehingga sering terjadi kesalah pahaman. Selain itu adanya menu-menu makanan unik yang dianggap Chinese Food di Indonesia karena embel-embel unsur bahasa Cina, namun tidak ada di Cina sebagai negeri asalnya seperti Lontong Cap Go Meh.
Kalau ditanya tentang adat istiadat, banyak sekali hal yang sudah tidak saya ketahui lagi. Adat kami sudah bercampur aduk. Mungkin sama seperti adatnya suku Jawa yang sudah keluar dari Pulau Jawa dan merantau 3 generasi di Pulau Sumatera. Mungkin bahasanya masih bisa disesuaikan, namun tidak semua adatnya masih dilakukan secara penuh bukan? Alasan itu semua yang menjadi asal mula ketertarikan saya untuk mempelajari Cina Peranakan di Indonesia, apa saja sejarahnya yang menjadikan hari ini ada, baik dari sisi kultur serta bahasa dan lainnya.
Mari kita mulai dari awal,
Peranakan berarti keturunan tanpa mengacu pada jenis etnis/suku tertentu, misalkan keturunan Belanda disebut peranakan Belanda, keturunan China disebut peranakan China.
Secara historis, ternyata tidak ada satupun suku/etnis di Indonesia yang "STERIL" dari proses akulturasi asimilasi ataupun hibrida. Istilah hibrida adalah proses penyatuan dan penyesuaian aspek-aspek sosiologi dari dua etnis atau lebih misalnya budaya, bahasa, seni dan yang paling sering adalah kuliner. Proses Asimilasi dan Hibrida adalah hal yang sangat lumrah sekali dijaman 100 hingga 500 tahun yang lalu. Mengingat saat itu Indonesia merupakan "Melting Pot" atau tempat pertemuan yang paling penting di Asia Tenggara.
Tionghoa atau tionghwa, adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang keturunan Cina di Indonesia, yang berasal dari kata zhonghua dalam Bahasa Mandarin. Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa. Sedangkan istilah peranakan Tionghoa pertama kali digunakan oleh Bangsa Belanda di abad ke 18 untuk menyebut para keturunan IMIGRAN Tionghoa yang datang dari TIONGKOK beberapa waktu sebelumnya. Seiring dengan berjalannya waktu, istilah peranakan Tionghoa disingkat menjadi peranakan saja. Dalam bahasa Indonesia, semua sudah seperti sepakat bahwa sebutan Tionghoa adalah yang paling menyenangkan. Tionghoa sudah berarti ''orang dari ras cina yang memilih tinggal dan menjadi warga negara Indonesia''. Kata Tionghoa sudah sangat enak bagi suku cina tanpa terasa ada nada, persepsi, dan stigma mencina-cinakan. Kata Tionghoa sudah sangat pas untuk pengganti sebutan ''nonpri'' atau ''cina''.
Interaksi bangsa Indonesia dengan bangsa Tionghoa memiliki sejarah yang sangat panjang. Terlepas dari sejarah purba yang mengatakan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari wilayah Yunan, hubungan selanjutnya juga terjadi dijaman kerajaan kuno dimana saat itu bangsa Tionghoa menyebut kepulauan Nusantara Indonesia dengan istilah Nan Yang (Tidak sama dengan Nan Yang di Henan) yang secara harafiah artinya Laut Selatan yang mengacu pada wilayah selatan Tiongkok yang saat itu digunakan untuk menyebut wilayah Nusantara Indonesia, Malaysia dan Singapura.
Interaksi bangsa Indonesia dengan bangsa Tionghoa memiliki sejarah yang sangat panjang. Terlepas dari sejarah purba yang mengatakan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari wilayah Yunan, hubungan selanjutnya juga terjadi dijaman kerajaan kuno dimana saat itu bangsa Tionghoa menyebut kepulauan Nusantara Indonesia dengan istilah Nan Yang (Tidak sama dengan Nan Yang di Henan) yang secara harafiah artinya Laut Selatan yang mengacu pada wilayah selatan Tiongkok yang saat itu digunakan untuk menyebut wilayah Nusantara Indonesia, Malaysia dan Singapura.
Wilayah yang disebut "nan yang" itu bukan satu kesatuan dan bukan pula satu tempat tertentu. Kalau ditanya xia nan yang-nya ke mana? Barulah ditunjuk satu nama tempat yang lebih spesifik. Misalnya, akan ke Ji Gang (maksudnya Palembang). Mereka tidak tahu nama Palembang, tapi nama Ji Gang terkenalnya bukan main. Maklum, Ji Gangadalah salah kota terpenting yang harus didatangi misi Laksamana Cheng He (Cheng Ho). Ji Gang (artinya pelabuhan besar) memang jadi tempat tujuan utama siapa pun yang xia nan yang. Kalau tidak ke Ji Gang, mereka memilih ke San Bao Long. Maksudnya: Semarang. Atau ke San Guo Yang, maksudnya Singkawang. Atau ke Ye Chen, maksudnya Jakarta. Atau Wan Long, maksudnya, Bandung. Mereka tidak tahu nama-nama kota di wilayah nan yang seperti nama yang dikenal sekarang. Semua kota dan tempat yang mereka tuju bernama Mandarin.
Salah satu hal kemudian yang terjadi adalah imigrasi bangsa Tionghoa ke Nan Yang seperti ke negeri lainnya, bisa dibuktikan dengan adanya China Town diseluruh dunia, bahkan di Eropa dan Amerika. Gelombang xia nan yang itu sudah terjadi entah berapa ratus tahun lalu, bahkan ribu tahun lalu. Bahkan, tidak jelas mana nama yang digunakan lebih dulu: Palembang atau Ji Gang. Pontianak atau Kun Tian. Surabaya atau Si Shui. Banjarmasin atau Ma Chen. Migrasi itu berlangsung terus, sehingga ada orang Tionghoa yang sudah ratusan tahun dh wilayah nan yang, ada juga yang baru puluhan tahun. Waktu kedatangan mereka yang tidak sama itulah salah satu yang membedakan antara satu orang Tionghoa dan Tionghoa lainnya.
Suku bangsa Tionghoa (biasa disebut juga China) di Indonesia adalah salah satu etnis di Indonesia. Biasanya mereka menyebut dirinya dengan istilah Tenglang (Hokkian),Tengnang (Tiociu), atau Thongnyin (Hakka). Dalam bahasa Mandarin mereka disebutTangren (Hanzi: 唐人, "orang Tang"). Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa-Indonesia mayoritas berasal dari Cina selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang Tang, sementara orang Cina utara menyebut diri mereka sebagai orang Han (Hanzi: 漢人 : hanren, "orang Han"). Setelah negara Indonesia merdeka, orang Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia, sesuai Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Maka, masyarakat Tionghoa di Indonesia pernah terbagi dalam tiga golongan besar: totok, peranakan, danhollands spreken.
Yang tergolong totok adalah mereka yang baru satu turunan di Indonesia (orang tuanya masih lahir di Tiongkok) atau dia sendiri masih lahir di sana lalu ketika masih bayi diajak xia nan yang, atau istilah Totok juga disebutkan kepada mereka yang saat ini masih memegang teguh adat istiadat leluhurnya. Sama seperti suku lainnya di Indonesia misalnya yang masih memegang teguh urutan upacara pernikahan, persalinan ataupun lainnya. Yang disebut peranakan adalah yang sudah beberapa keturunan lahir di tanah yang kini bernama Indonesia, kebanyakan tidak lagi menggunakan bahasa suku (Hokkian, Hakka atau lainnya) ataupun bahasa mandarin sebagai bahasa ibu yang dipercakapkan dirumah.
Sedangkan yang hollands spreken adalah yang -di mana pun lahirnya- menggunakan bahasa Belanda, mengenakan jas dan dasi, kalau makan pakai sendok dan garpu, dan ketika Imlek tidak mau menghias rumah dengan pernik-pernik yang biasa dipergunakan oleh peranakan maupun totok karena dianggap kuno atau tidak sesuai atau tidak logis akibat tidak memahami sama sekali arti dibalik asal usul tersebut.
Umumnya satu sampai dua dekade yang lalu kalangan Totok hanya menginginkan keturunannya menikah dengan orang dari garis keturunan Totok juga, menikah dengan orang dari keturunan peranakan masih bisa dipertimbangkan, namun sangat melarang keturunannya menikah dengan dari kalangan Hollands Spreken karena dianggap bisa "kualat" dan melupakan asal usulnya karena dianggap budayanya tidak cocok dan meninggalkan budaya aslinya. Namun dewasa ini tidak lagi terlalu dipermasalahkan secara khusus karena sudah terjadi pencampuran budaya antara ketiganya. Banyak keluarga Totok yang keturunannya sekolah keluar negeri dan kini lebih fasih menggunakan bahasa Inggris daripada bahasa ibu, serta peranakan yang bercampur dengan kaum Hollands Spreken. Namun memang saat ini masih ada yang kurang menyetujui pernikahan antar suku yang berbeda, misalnya Hokkian dengan Hakka karena ada beberapa adatnya yang berbeda. Atau juga dengan suku lainnya diluar Tionghoa. Hal ini sepanjang "penelitian kecil" yang saya lakukan, terjadi hanya karena tidak ingin budayanya hilang. Baik sebutan maupun adat istiadat lainnya. Hal ini sepengetahuan saya juga sama dengan Suku lainnya di Indonesia yang lebih menyukai bila keturunannya menikah dengan suku yang sama.
Yang tergolong totok adalah mereka yang baru satu turunan di Indonesia (orang tuanya masih lahir di Tiongkok) atau dia sendiri masih lahir di sana lalu ketika masih bayi diajak xia nan yang, atau istilah Totok juga disebutkan kepada mereka yang saat ini masih memegang teguh adat istiadat leluhurnya. Sama seperti suku lainnya di Indonesia misalnya yang masih memegang teguh urutan upacara pernikahan, persalinan ataupun lainnya. Yang disebut peranakan adalah yang sudah beberapa keturunan lahir di tanah yang kini bernama Indonesia, kebanyakan tidak lagi menggunakan bahasa suku (Hokkian, Hakka atau lainnya) ataupun bahasa mandarin sebagai bahasa ibu yang dipercakapkan dirumah.
Sedangkan yang hollands spreken adalah yang -di mana pun lahirnya- menggunakan bahasa Belanda, mengenakan jas dan dasi, kalau makan pakai sendok dan garpu, dan ketika Imlek tidak mau menghias rumah dengan pernik-pernik yang biasa dipergunakan oleh peranakan maupun totok karena dianggap kuno atau tidak sesuai atau tidak logis akibat tidak memahami sama sekali arti dibalik asal usul tersebut.
Umumnya satu sampai dua dekade yang lalu kalangan Totok hanya menginginkan keturunannya menikah dengan orang dari garis keturunan Totok juga, menikah dengan orang dari keturunan peranakan masih bisa dipertimbangkan, namun sangat melarang keturunannya menikah dengan dari kalangan Hollands Spreken karena dianggap bisa "kualat" dan melupakan asal usulnya karena dianggap budayanya tidak cocok dan meninggalkan budaya aslinya. Namun dewasa ini tidak lagi terlalu dipermasalahkan secara khusus karena sudah terjadi pencampuran budaya antara ketiganya. Banyak keluarga Totok yang keturunannya sekolah keluar negeri dan kini lebih fasih menggunakan bahasa Inggris daripada bahasa ibu, serta peranakan yang bercampur dengan kaum Hollands Spreken. Namun memang saat ini masih ada yang kurang menyetujui pernikahan antar suku yang berbeda, misalnya Hokkian dengan Hakka karena ada beberapa adatnya yang berbeda. Atau juga dengan suku lainnya diluar Tionghoa. Hal ini sepanjang "penelitian kecil" yang saya lakukan, terjadi hanya karena tidak ingin budayanya hilang. Baik sebutan maupun adat istiadat lainnya. Hal ini sepengetahuan saya juga sama dengan Suku lainnya di Indonesia yang lebih menyukai bila keturunannya menikah dengan suku yang sama.
Budaya-budaya yang terjadi yang kemudian menjadi budaya resmi Indonesia antara lainnya makanan Tahu, Siomay, Bakpao, Mie, capcay, lontong cap go meh ; Corak batik Lasem dan batik Pekalongan dan pesisir utara Jawa yang bernuansa awan, burung hong dan bunga ; bahasa antara lainnya engkok, enyak, lu, gue ; dan juga bentuk surat kabar yang ada saat ini. Semuanya sudah menjadi identitas Nusantara, sehingga tidak lagi dikenal asal muasalnya. Banyak bahkan yang tidak peduli dengan adat ini karena dianggap sudah kuno, yang memang dikhawatirkan akan punah atau diambil bangsa lain menjadi identitasnya mengingat pemula identitas tersebut berada di berbagai negara yakni peranakan China.
PERAN SOSIAL BUDAYA CINA PERANAKAN
Seperti dikatakan sebelumnya diatas bahwa Interaksi bangsa Indonesia dengan bangsa Tionghoa memiliki sejarah yang sangat panjang. Terlepas dari sejarah purba yang mengatakan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari wilayah Yunan, hubungan selanjutnya juga terjadi dijaman kerajaan kuno dan berlanjut pada jaman penjajahan Belanda & Jepang. Secara tulisan, saya (penyusun) belum menemukan bukti konkrit keterikatan secara langsung pada jaman Jepang. Namun untuk keterikatan hubungan pada jaman penjajahan Bel`nda seperti dituturkan dibawah ini.
Didirikannya sekolah-sekolah Tionghoa oleh organisasi Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) sejak 1900, mendorong berkembangnya pers dan sastra Melayu Tionghoa. Maka dalam waktu 70 tahun telah dihasilkan sekitar 3000 buku, suatu prestasi yang luar biasa bila dibandingkan dengan sastra yang dihasilkan oleh angkatan pujangga baru, angkatan 45, 66 dan pasca 66 yang tidak seproduktif itu. Dengan demikian komunitas ini telah berjasa dalam membentuk satu awal perkembangan bahasa Indonesia.
Didirikannya sekolah-sekolah Tionghoa oleh organisasi Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) sejak 1900, mendorong berkembangnya pers dan sastra Melayu Tionghoa. Maka dalam waktu 70 tahun telah dihasilkan sekitar 3000 buku, suatu prestasi yang luar biasa bila dibandingkan dengan sastra yang dihasilkan oleh angkatan pujangga baru, angkatan 45, 66 dan pasca 66 yang tidak seproduktif itu. Dengan demikian komunitas ini telah berjasa dalam membentuk satu awal perkembangan bahasa Indonesia.
Sumbangsih warga Tionghoa Indonesia juga terlihat dalam koran Sin Po, dimana koran Sin Po menjadi koran pertama yang menerbitkan teks lagu Indonesia Raya setelah disepakati pada Sumpah Pemuda tahun 1928.
Nama Sie Kok Liong memang sangat jarang didengar oleh masyarakat Indoensia, namun beliau merupakan seorang warga Tionghoa yang menyewakan rumahnya bagi para pemuda dalam menyelenggarakan Sumpah Pemuda. Hanya sedikit catatan mengenai Sie Kok Liong, seiring dengan tumbuhnya sekolah-sekolah pada awal abad ke-20 di Jakarta tumbuh pula pondokan-pondokan pelajar untuk menampung mereka yang tidak tertampung di asrama sekolah atau untuk mereka yang ingin hidup lebih bebas di luar asrama yang ketat. Salah satu di antara pondokan pelajar itu adalah Gedung Kramat 106 milik Sie Kok Liong. Di Gedung Kramat 106 inilah sejumlah pemuda pergerakan dan pelajar sering berkumpul. Gedung itu, selain menjadi tempat tinggal dan sering digunakan sebagai tempat latihan kesenian Langen Siswo juga sering dipakai untuk tempat diskusi tentang politik para pemuda dan pelajar. Terlebih lagi setelah Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI) didirikan pada September 1926. Selain dijadikan kantor PPPI dan kantor redaksi majalah Indonesia Raya yang diterbitkan oleh PPPI, berbagai organisasi pemuda sering menggunakan gedung ini sebagai tempat kongres. Bahkan pada 1928 Gedung Kramat 106 jadi salah satu tempat penyelenggaraan Kongres Pemuda II tanggal 27 - 28 Oktober 1928.
Universitas Trisakti yang kini menjadi salah satu universitas terkenal di Indonesia juga merupakan salah satu sumbangsih warga Tionghoa di Indonesia. Pada tahun 1958, universitas ini didirikan oleh para petinggi Baperki yang kebanyakan keturunan Tionghoa salah satunya yaitu Siauw Giok Tjhan, pada tahun 1962 oleh Presiden Soekarno nama universitas ini diganti menjadi Universitas Res Publika hingga 1965, dan sejak Orde Baru, universitas ini beralih nama menjadi Universitas Trisakti hingga sekarang.
Di Medan dikenal kedermawanan Tjong A Fie, rasa hormatnya terhadap Sultan Deli Makmun Al Rasyid diwujudkannya pengusaha Tionghoa ini dengan menyumbang sepertiga dari pembangunan Masjid Raya Medan. Rumah peninggalan Tjong A Fie sampai sekarang masih ada di kota Medan walaupun bangunannya terlihat tidak terurus lagi.
Di Bagansiapiapi terdapat Ritual Bakar Tongkang sebagai ucapan rasa syukur masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi atas perlindungan Dewa Kie Ong Ya. Ritual Bakar Tongkang sangat diandalkan pemerintah daerah setempat sebagai daya tarik wisata daerah dimana setiap tahunnya menyedot puluhan ribu kunjungan wisatawan baik dalam maupun luar negeri.
Sumber Tulisan:
-http://www.metrotvnews.com/read/newsprograms/2011/07/16/9322/120/Saturday-July-16th-2011/5-6
-http://www.metrotvnews.com/read/newsprograms/2011/07/16/9322/120/Saturday-July-16th-2011/5-6
-Budaya Tionghoa Peranakan by Josh Chen - Global Citizen posted Monday, 18 July 2011 ; http://baltyra.com/2011/07/18/budaya-tionghoa-peranakan/
-Vasanty, Puspa (2004). Prof. Dr. Koentjaraningrat. ed. "Kebudayaan Orang Tionghoa Di Indonesia", Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia. Penerbit Djambatan. hlm. hal. 359. ISBN 979-428-510-2.
-Rustopo 2008. Jawa Sejati. Otobiografi Go Tik Swan. Penerbit Ombak Yogyakarta
-Arismunandar A 2007. Kerajaan Majapahit abad XIV dan XV.
-http://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoa-Indonesia
-Dahlan Iskan : Tionghoa, Dulu dan Sekarang Jawa Pos ; Tulisan Bagian Perama &Bagian kedua
-Dreyfuss, Gail Raimi & Oka, Djoehana. 1995. “Chinnese Indonesian: A Kind of Language Hybrid?” dalam Pasifis Linguistics Series A-No.57: Papers in Pidgin and Creole Linguistics No.2. Departement if Linguistics Research School of Pasific Studies: The Austalian National University.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Label
Budaya- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar
Mohon untuk tidak memasang Iklan
ADMIN