Diskriminasi rasial terhadap etnis Tionghoa di Indonesia sudah dimulai semenjak masa Kolonial Belanda. Bahkan pada tahun 1740 di bawah perintah Gubernur Jendral Valckenier terjadi pembunuhan besar-besaran terhadap etnis Tionghoa di Batavia. 10.000 orang etnis Tionghoa ditumpas habis. Pembantaian yang dilakukan Belanda secara besar-besaran terhadap orang Tionghoa dimaksudkan agar kalangan bisnis etnis Tionghoa ini betul-betul tunduk terhadap Belanda. Itu sebabnya tidak banyak muncul oposisi-oposisi dari kalangan etnis Tionghoa. Diskriminasi terhadap etnis Tionghoa tidak berhenti hanya pada masa Kolonial Belanda, namun terus berlanjut hingga Orde lama dan Orde Baru.
Diskriminasi rasial Masa Orde Lama
Pemerintahan Presiden Soekarno pada era 1959-1960 adalah masa dimana etnis Tionghoa sungguh terdiskriminasi dalam wajah yang sangat rasialis. Pengejaran terhadap orang-orang Tionghoa ketika itu merupakan bagian dari pelaksanaan serta pengembangan politik anti Tionghoa pada 1956. Konsep pemikiran dari pemerintah mengenai nasionalisasi perusahaan telah sangat meminggirkan usaha milik orang-orang etnis Tionghoa.
Pada 14 Mei 1959 pemerintah mengeluarkan PP No. 10/1959 yang isinya menetapkan bahwa semua usaha dagang kecil milik orang asing di tingkat desa tidak diberi izin lagi setelah 31 desember 1959. Peraturan ini terutama ditujukan pada pedagang kecil Tionghoa yang merupakan bagian terbesar orang-orang asing yang melakukan usaha ditingkat desa. Alhasil, semakin mengeraslah perlakuan rasis terhadap orang Tionghoa di Indonesia. Bahkan sebagai akibat dari PP No. 10/1959 itu, selama tahun 1960-1961 tercatat lebih dari 100.000 orang Tionghoa meninggalkan Indonesia dan secara tipikal mereka mengalami banyak kesengsaraan. Disatu pihak karena intrik-intrik politik negara Indonesia dan Tiongkok dan di lain pihak meningkatnya terror dalam perbatasan-perbatasan Indonesia sendiri.
Sebutan orang ‘Cina‘ oleh sebagian besar Rakyat Indonesia dan perlakuan aparat militer yang menjadi alat negara telah mampu mendiskreditkan etnis Tionghoa sebagai kaum pendatang yang harus tunduk pada masyarakat yang punya tanah kelahiran (pribumi). Namun kenyataan menjadi paradoks ketika lobi-lobi penguasa tempo itu tidak bisa menghindar dari sebagian elit etnis Cina. Rasa dendam terhadap etnis Cina semakin memberi kekuatan baru bagi perjuangan meminggirkan etnis Cina. Disisi yang lain, bangkitnya semangat nasionalisme yang cenderung mengacu pada sentimen primordial adalah faktor lain yang menunjukkan betapa suramnya rasialisme itu di wajah Negara Republik Indonesia.
Diskriminasi Rasial Masa Orde Baru
Jatuhnya rezim Orde Lama tidak serta merta membawa angin segar terhadap hilangnya diskriminasi rasial yang dialami oleh etnis Tionghoa di Indonesia. Nyatanya diskriminasi rasial terhadap etnis Tionghoa masih saja berlanjut pada masa Orde Baru. Diskriminasi terhadap orang Tionghoa ditempuh pemerintahan Orde Baru dilakukan dengan cara, diantaranya :
- Mengeluarkan kebijakan penandaan khusus pada Kartu Tanda Penduduk
- Tidak bolehnya warga etnis Tionghoa menjadi pegawai negeri serta tentara
- Pelarangan warga etnis Tionghoa untuk memiliki tanah di pedesaan
dan masih banyak lagi pembatasan-pembatasan yang dilakukan terhadap etnis Tionghoa di Indonesia yang bersifat begitu mendiskreditkan serta mendiskriminasi. Kebijakan-kebijakan ini pun tentu saja secara otomatis merenggut hak asasi mereka sebagai warga negara Indonesia dan sebagai manusia.
Pada tanggal 7 juni 1967, Soeharto mengeluarkan surat edaran ‘Kebijakan Pokok Penyelesaian Masalah Cina’ yang isinya menyatakan bahwa etnis Tionghoa WNA yang beritikad baik akan mendapat jaminan keamanan dan perlindungan atas kehidupan, kepemilikan, dan usahanya. Surat edaran ini kemudian di tindak lanjuti dengan Keputusan Presiden pada Desember 1967 yang isinya menyatakan bahwa Pemerintah tidak membedakan antara Tionghoa WNA dan Tionghoa WNI. Untuk menghindari eksklusifisme rasial maka pemerintah memilih untukmengasimilasikan orang-orang etnis Tionghoa itu dan melakukan berbagai usaha untuk memutuskan hubungan mereka dengan leluhur mereka. Proses asimilasi ini terlihat dalam :
- Aturan penggantian nama
- Melarang segala bentuk penerbitan degan bahasa serta aksara Cina
- Membatasi kegiatan-kegiatan keagamaan hanya dalam keluarga
- Tidak mengizinkan pagelaran dalam perayaan hari raya tradisional Tionghoa di muka umum
- Melarang sekolah-sekolah Tionghoa dan menganjurkan anak-anak Tionghoa untuk masuk ke sekolah umum negeri atau swasta
Benang merah yang menjadi latar belakang terjadinya diskriminasi rasial di Indonesia sendiri adalah kepentingan politik ekonomi pemerintah di masing-masing masa. Di masa Orde Baru ini kata diskriminasi rasial nyaris tidak terdengar, dan memang tidak disebutkan, bahkan dilarang untuk diperbincangkan. Rasisme diperhalus dengan istilah SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan). Implikasinya adalah segala hal yang berbau rasisme dikatakan SARA, yang berarti tidak boleh diributkan dan semua dibiarkan begitu saja, tanpa adanya tindak lanjut berarti dari pemerintah. Ini merupakan suatu kesengajaan yang dibuat pemerintah sekaligus bentuk rasisme yang paling kejam.
Pada masa Orde Baru pula tercatat ada 8 buah produk perundang – undangan yang sangat diskriminatif secara rasial terhadap etnis Tionghoa, yaitu :
- Instruksi Presidium Kabinet RI No. 37/U/IN/6/1967 tentang Kebijaksanaan Pokok Penyelesaian Masalah Cina
- Surat Edaran Presidium Kabinet RI No. SE-36/Pres/Kab/6/1967 tentang Masalah Cina
- Instruksi Presiden No.14/1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat istiadat Cina
- Instruksi Presiden No.15/1967 tentang Pembentukan Staf Khusus Urusan Cina
- Instruksi Mendagri No. 455.2-360 tentang Penataan Klenteng
- Keputusan Kepala Bakin No. 031/1973 tetang Badan Koordinasi Masalah Cina
- SK Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 286/1978 tentang Pelarangan Impor, Penjualan, dan Pengedaran Terbitan dalam Bahasa dan Aksara Cina
- Surat Edaran Menteri Penerangan No. 02/SE/Di tentang Larangan Penerbitan dan Pencetakan Tulisan/Iklan Beraksara dan Berbahasa Cina
Dari sini bisa dilihat bahwa fenomena Diskriminasi rasial terhadap etnis Tionghoa di Indonesia nampaknya sudah begitu sistematis. Tak hanya masyarakat di kalangan grassroot yang begitu keras dengan sentimen orang-orang Non-Pribumi tidak setia pada Negara, namun Pemerintahan di masa Orde Lama serta Orde Baru pun nampaknya cukup gencar menjadi pelumas semakin tajamnya diskriminasi ras terhadap etnis Tionghoa di Indonesia. Menjadi Kontradiksi yang begitu jelas juga ketika kita semua sudah mengetahui bahwa Indonesia memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika, dan Indonesia pun telah menyatakan diri sebagai negara Demokrasi yang seharusnya mengakui dan menjaga hak asasi manusia. Namun diskriminasi yang terjadi terhadap etnis Tionghoa di Indonesia pada masa Orde Lama dan Orde Baru ini mau tak mau memunculkan pertanyaan tersendiri, kenapa pemerintah seolah-olah membiarkan dan bahkan mendukung adanya diskriminasi terhadap etnis Tionghoa di Indonesia?
Tidakkah mereka menyadari bahwa diskriminasi yang tejadi ini adalah wajah gelap dari serangkaian pelanggaran hak asasi manusia? Diskriminasi yang dialami oleh etnis Tionghoa di Indonesia ini jelas merupakan serangkaian pelanggaran hak asasi manusia yang dimiliki oleh etnis Tionghoa di Indonesia. Padahal salah satu tujuan negara Indonesia yang tercantum pada pembukaan undang-undang dasar negara Republik Indonesia tahun 1945 adalah, melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia. Para etnis Tionghoa ini merupakan warga negara Indonesia. Walaupun mereka orang keturunan (bukan asli indonesia) tapi mereka telah berasimilasi dan mereka merasa diri mereka adalah orang Indonesia. Bukannya seperti perlakuan sentimen yang dilakukan oleh para orang pribumi. Maka sudah selayaknya mereka mendapat perlakuan yang sama, dilindungi seperti warga negara Indonesia yang lain (pribumi); karena mereka juga bagian dari Bangsa Indonesia, Warga Negara Indonesia.
Lampiran Pedoman Penyelesaian Masalah Cina
Buku “Pedoman Penyelesaian Masalah Cina” setebal 1500 halaman. Buku ini terdiri dari 3 jilid mengenai Pedoman Penyelesaian Masalah Cina di Indonesia, yang diterbitkan oleh Badan Koordinasi Intelijen Negara tahun 1979. Di halaman dalam bukunya, bagian kanan atas tertulis “Terbatas Hanya Untuk Pejabat”. Mengamati buku ini, hanya bisa menarik nafas panjang, bahwa Negara ini pernah bertindak “RASIS dan MENERAPKAN STANDAR GANDA” terhadap sekelompok warga negaranya yang kebetulan berkulit kuning dan bermata sipit.
Catatan : Artikel dibuat dengan pengeditan dan penyesuaian kalimat seperlunya dari naskah sumber asli; disertai penambahan lampiran.
Oleh : Ni Nyoman Ayu Nikki Avalokitesvari – Mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Udayana (2012)
Lampiran : Cover Buku Pedoman Penyelesaian Masalah Cina
Komentar
Posting Komentar
Mohon untuk tidak memasang Iklan
ADMIN