Langsung ke konten utama

Antara Pro Pembauran vs Anti Pembauran Tionghoa

akulturasi budaya tionghoa
Ada pihak-pihak tertentu yang keberatan dengan blog Tionghoa.INFO yang dianggap PRO PEMBAURAN. Sebenarnya “Pembauran” seperti apa yang dimaksud? Kalau merujuk Nomina, pembauran (peng-an + baur) berarti :
1. Proses, cara, perbuatan membaurkan; pencampuran.
2. Peniadaan sifat-sifat eksklusif kelompok etnik di dalam masyarakat dalam usaha mencapai kesatuan bangsa.
3. Perkawinan campuran antara warga negara asli (pribumi) dan warga negara keturunan asing.
Setiap insan etnis Tionghoa yang tinggal di Indonesia jelas merupakan Warga Negara Indonesia (WNI). Perlu pembaca ketahui, dahulu etnis Tionghoa di yang tinggal Indonesia selalu mengalami diskriminasi, salah satunya adalah dipersulit dalam pengurusan surat keterangan WNI; bahkan dalam pengurusan Pasport juga memerlukan Kartu Izin Menetap (KIM). Padahal tidak sedikit yang bahkan sudah lahir di negeri ini. Ingat kisah Tong Sin Fu mantan pelatih bulutangkis Indonesia era 1980-1990 an yang akhirnya hijrah ke Tiongkok hanya gara-gara dipersulit dalam pengurusan surat bukti untuk menjadi WNI?
Saat ini kita cukup beruntung sudah tidak lagi dipersulit dengan semua hal yang menyangkut status kewarganegaraan diatas. Semua yang lahir di Indonesia jelaslah merupakan WNI, bahkan yang bukan WNI juga asal sudah tinggal minimal 5 tahun dapat mengajukan permohonan untuk menjadi WNI. Kembali ke soal pembauran, yang namanya sudah menjadi WNI, sudah tentu harus ikut wajib membaur/melebur bersama segenap warga negara Indonesia yang lain; yang memiliki latar belakang dari berbagai suku bangsa juga.
Apa jadinya jika anda memiliki KTP Indonesia namun anda sendiri malah merasa tidak nyaman di Indonesia? Apa bedanya anda dengan warga negara asing yang kebetulan berdomisili di negara ini untuk satu keperluan? Inilah yang sering dicari-cari oleh kaum pribumi selama ini; dimana sebagian dari etnis Tionghoa terlalu MENGEKSKLUSIFKAN DIRI dengan membatasi pergaulan nya hanya dengan sesama Tionghoa saja.
Etnis Tionghoa perlu membaurkan diri dengan lingkungan masyarakat nya sekitar, namun bukan berarti kita menghilangkan identitas kita, seperti tradisi dan budaya Tionghoa. Hal ini yang justru harus kita jaga agar jangan sampai ditinggalkan oleh generasi muda (yang kenyataan nya sekarang jelas sudah mulai ditinggalkan oleh generasi muda, bahkan sebagian generasi tua; anehnya bukan karena pengaruh doktrin “anti pembauran” namun lebih kepada doktrin agama baru nya!). Meski sebagian dari tradisi dan budaya Tionghoa juga telah mengalami AKULTURASI BUDAYA dengan budaya lokal, namun juga dapat dimaklumi; dimana yang namanya ‘dimana bumi dipijak disitulah langit dijunjung’ ; juga tidak akan mengurangi makna yang terkandung di dalam tradisi dan budaya Tionghoa sendiri.
Sedangkan mengenai persoalan kawin campur ada yang unik, dimana justruKristoforus Sindhunata yang merupakan orang Tionghoa yang beragama NASRANI sendirilah yang menjadi PELOPOR kawin campur dengan orang pribumi dengan tujuan untuk mempercepat proses pembauran. Hal ini sebenarnya relatif, tergantung dari pribadi atau keluarga masing-masing. Yang namanya jodoh, dan sudah suka sama suka, sukar juga bagi penulis untuk mencampuri urusan semacam itu. Meski sebenarnya kesan anti pembauranini sedikit banyak dipengaruhi akibat perlakuan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa yang dimulai pada tahun 1965 (gerakan anti Cina) dan peristiwa Mei kelabu pada tahun 1998.
Pada waktu itu tidak sedikit “kisah horor” menghantui dimana para wanita etnis Tionghoa yang sering dijadikan sasaran dari para lelaki pribumi sebagai pemuas nafsu seksualnya (termasuk hal-hal yang bersifat ringan, seperti hanya bersiul menggoda, atau mencolek). Teror-teror psikis semacam itulah yang melatarbelakangi etnis Tionghoa untuk membatasi pergaulannya dengan masyarakat Pribumi; mulai dari pergaulan dalam keseharian sampai pada soal pasangan hidup keturunannya kelak agar sebisa mungkin tidak berhubungan dengan pribumi. Apalagi bagi yang pernah mengalaminya langsung, atau saudara dekatnya, sudah tentu mereka akan ekstra waspada dalam menjaga jarak, dan hal ini tentu penulis paham.
Namun sebagai manusia, kita harus berpikir ke depan. Peradaban manusia terus bergerak maju. Meski didalamnya terdapat fakta yang menyakitkan bahwa negara ini PERNAH GAGAL DALAM MELINDUNGI SEGENAP WARGA NYA.
Jadi diharapkan sudah jelas bagaimana pola pandang dari Tionghoa.INFO menyikapi hal pembauran ini.

Komentar