Aan Rukmana & Eddie Lembong
(Yayasan Nabil, Jakarta)[2]
Pengantar
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, di bulan Oktober 2013 silam Yayasan Nabil mendapatkan undangan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia untuk memberikan makalah dalam Kongres Kebudayaan Indonesia (KKI) 2013 di Yogyakarta. Dalam sejarah Kongres Kebudayaan yang dimulai sejak 1918, baru di kongres yang ke-15 inilah untuk pertama kalinya satu organisasi Tionghoa mendapat kehormatan untuk menyumbangkan pemikirannya di dalam acara penting tersebut.
Untuk itu Nabil sudah mempersiapkan artikel tersendiri mengenai penyerbukan silang antarbudaya yang ditulis langsung oleh penggagasnya (Eddie Lembong) dengan bantuan Aan Rukmana (staf Nabil). Materi presentasi tersebut sengaja disiapkan sebagai materi untuk KKI 2013. Topik Penyerbukan Silang Budaya dibahas dalam sidang komisi 2 pada sesi 3, tanggal 10 Oktober 2013. Acara dilaksanakan di Hotel New Saphir, Yogyakarta dengan dimoderatori oleh seorang budayawan terkemuka, Prof. Edi Sedyawati. Selamat membaca dan semoga membawa manfaat!
Salam hormat,
Sekretariat Yayasan Nabil
Catatan moderator : Paper ini dimuat atas seijin bapak Didik Kwartananda. Kami membagi paper ini menjadi tiga bagian.
Indonesia sudah sepatutnya bangkit mengejar ketertinggalan dari negara-negara lainnya. Berbagai prasyarat kemajuan sudah dimiliki Indonesia. Mulai dari kemajemukan yang beranekaragam yang diikat oleh tali satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa. Belum lagi berbagai kekayaan yang terdapat di dalamnya, baik kekayaan hayati, flora & fauna serta keindahan alamnya. Maka tidak heran jika Soekarno menyebut Indonesia sebagai “Taman Sari Dunia,” yang di dalamnya berbagai unsur dunia berbaur menjadi satu melukis keindahan kanvas Indonesia. Ditambah lagi bentangan gugusan pulau yang sangat luas, terbentang dari Aceh sampai Papua yang bila dicarikan padanannya hampir mirip dengan jarak antara Paris di Eropa sampai Teheran di Iran.
Apalagi setelah reformasi, di saat terjadi beberapa perombakan signifikan dalam tata kelola kenegaraan kita, seperti pemberlakuan Undang-Undang No 12/2006 tentang Kewarganegaraan yang menunjukan bahwa Indonesia sudah tidak lagi menganut paham etno-nasionalisme yang rasialis, namun sudah senada dengan isi pidato Soekarno pada 1 Juni 1945 yang mengadopsi faham nasioanalisme modern, pemberlakuan Undang-Undang No. 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan, implementasi Undang-Undang No. 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, kesuksesan mereformasi Angkatan Bersenjata yang sekaligus menghilangkan doktrin Dwi Fungsi ABRI, pemberlakuan Undang-Undang No 4/1999 tentang Otonomi Pemerintahan Daerah, pemilihan langsung presiden dan periode kepresidenan yang dibatasi hanya dua periode kepresidenan saja, pendirian Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial, pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), persoalan kebebasan pers, kenaikan alokasi biaya pendidikan sebanyak 20 persen dari APBN, kesuksesan swasembada pangan, khususnya beras dan pemahaman mendalam terhadap persoalan lingkungan, maka sudah tidak ada alasan lagi bagi Indonesia untuk mundur dan tertinggal jauh dari negara-negara lainnya.[3]
Namun, apa yang terjadi kemudian? Indonesia tetap saja tertinggal! Misalnya dalam bidang kesehatan. Menurut data SUSENAS, masukan makanan sebagaimana diukur dalam kalori per kapita tidak banyak berubah selama bertahun-tahun, tercatat sekitar 2.000 kalori perkapita sehari. Belum lagi gejala stunting(berat badan kurang untuk seorang anak) telah mendekati angka sepertiga dan hampir 36 persen anak dalam kelompok ini memiliki tinggi badan yang kurang. Akibatnya, seorang anak yang kekurangan gizi cenderung lebih mudah sakit dan mengalami kesulitan belajar di sekolah. Hal yang sama terjadi di dunia pendidikan. Seorang guru di Indonesia rata-rata mendapatkan gaji separuh dari gaji sejawatnya yang berprofesi sama di Filipina dan Thailand. Bank Dunia pernah memperkirakan bahwa satu di antara lima guru tidak masuk kerja pada hari-hari tertentu dan banyak di antara mereka yang rajin tidak cukup terlatih untuk mengajar. Dalam laporan International Reading Literacy Study, sebuah tes kemahiran membaca, meletakkan Indonesia berada pada posisi ke-50 di antara negara peserta tes sains dan matematika.[4]
Dari tahun 1975 sampai 1998, jumlah universitas dan perguruan tinggi swasta naik tajam dari 400 menjadi 1.450. Kenaikan jumlah tersebut tidak sejalan dengan kualitasnya. Bahkan tidak jarang, para dosen harus mengajar berkeliling dengan “menyanyikan lagu yang sama” dari kampus ke kampus, yang dampaknya adalah makin rendahnya mutu penelitian para dosen kita. Pada tahun 2005, hanya 205 artikel yang diterbitkan di dalam jurnal-jurnal internasional yang berasal dari para sarjana Indonesia. Ini berarti kurang dari satu artikel per sejuta orang. Lebih dari dua artikel per sejuta orang di Filipina, hampir tiga per juta artikel di Vietnam dan hampir 20 per sejuta di Thailand.[5]Belum lagi sistem pendidikan yang diterapkan tidak selamanya link and match dengan kebutuhan sehari-hari, sehingga banyak sarjana yang lulus kuliah tapi akhirnya berprofesi sebagai pengangguran. Ini kenyataan yang ironis!
Belum lagi persoalan korupsi yang senantiasa mewarnai pemberitaan kita sehari-hari di mana pelakunya merata mulai dari kepala desa, camat, bupati, gubernur hingga para menteri dan anggota dewan terhormat! Apa yang sesungguhnya terjadi di negeri yang melimpah kekayaan alamnya ini? Apakah memang negeri ini akan begini selamanya? Tentunya jawabannya tidak! Maka dari itu, kita perlu mencari solusi bersama dari mana kiranya kita membenahi negeri ini. Dan hemat kami, pembenahan tersebut tidak bisa terpisah-pisah, apalagi hanya bagian perbagian, akan tetapi meliputi seluruh sektor yang ada. Dan itu hanya mungkin apabila kita bersepakat bahwa yang perlu kita benahi adalah manusianya. Ya, manusia Indonesia! Itulah yang harus kita perbaiki.
Indonesia saat ini ibarat hutan yang terkena hama. Kita tidak bisa mengobatinya hanya dari satu pohon ke pohon yang lainnya. Indonesia membutuhkan “panacea” atau “obat dewa” yang bisa digunakan untuk menyembuhkan sakitnya yang sudah akut mengakar. Kita harus menyembuhkan hutan Indonesia dimulai dari tanahnya. Untuk itu kita senantiasa memiliki pandangan yang holistik, ketajaman pandangan seperti “mata rajawali” yang mampu melihat keseluruhan persoalan bangsa. Persoalan bangsa kita harus dilihat dari sisi budayanya, sisi menyeluruh dari persoalan manusia. Maka dari itu, dalam tulisan ini kami akan menyoroti perlunya penyerbukan silang antarbudaya sebagai strategi kebudayaan yang dapat dijadikan solusi jangka panjang bagi berbagai penyakit yang menimpa negeri ini.
Definisi Kebudayaan
Kata “kebudayaan” berasal dari kata Sanskerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Sehingga secara harfiah kebudayaan dapat diartikan sebagai “hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal.” Namun ada pendapat lain yang mengasalkan kata “kebudayaan” kepada “budi-daya” yang artinya daya dari budi atau kekuatan dari akal. Koentjaraningrat (1923 – 1999), seorang ahli antropologi Indonesia ternama, memberi definisi kebudayaan sebagai “keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar, serta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya.”[6]
Kebudayaan itu memiliki tiga wujud, yaitu: 1) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan lain sebagainyaa, 2) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat, dan 3) wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Untuk wujud kebudayaan yang ideal dapat berupa adat tata-kelakuan atau adat-istiadat, yang menunjukkan bahwa kebudayaan itu berfungsi sebagai tata-kelakuan yang mengatur, mengendalikan dan member arah kepada kelakukan dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Wujud kedua kebudayaan sering disebut sebagai sistem sosial, mengenai kelakukan berpola dari manusia yang terkait dengan etos kerja, kesungguhan memegang prinsip, keuletan dan disiplin. Wujud ketiga kebudayaan yaitu kebudayaan fisik yang merupakan keseluruhan total hasil fisik yang berasal dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat, maka sifatnya kongkret dan berupa benda-benda (tangible), sehingga bisa diraba, dilihat dan lain sebagainya. Para sarjana ilmu kesusasteraan bergulat di bidang kebudayaan ideal, sedangkan para sarjana sosiologi, antropologi dan psikologi bergulat dalam ranah kebudayaan sebagai kelakuan manusia dan para sarjana arkeologi terlibat dalam kebudayaan fisikal.[7]
Dalam pernyatan sehari-hari, definisi tersebut seringkali direduksi hanya kepada kesenian belaka, sehingga kebudayaan selalu diidentikan sebagai kesenian. Ini merupakan kekeliruan paradigma yang sangat serius, karena ketika kebudayaan diartikan sebagai kesenian semata itu sama saja jasad manusia tanpa nyawa atau komputer tanpa software dan sistem yang berjalan di belakangnya. Tidak mungkina kita bisa memperbaiki manusia Indonesia lewat budaya ketika ia diartikan hanya sebagai kesenian semata!
Ajip Rosidi, seorang budayawan Sunda pernah menulis:
Dengan adanya undang-undang tentang otonomi daerah, terbuka kesempatan untuk membenahi kebudayaan dan kesenian daerah.Kendala pertama ialah kurangnya pemikir dan pemikiran tentang kebudayaan dan kesenian, arti kebudayaan sering diidentikkan dengan kesenian dan kesenian diidentikkan dengan seni pertunjukkan saja dan itu diidentikkan dengan hidangan untuk pariwisata. Kekurangan pemikir dan pemikiran biasanya ditambah pula oleh kendala lain, ialah keengganan para birokrat mengadakan kerjasama dengan orang non-birokrat, termasuk para ahli dan pegiat kebudayaan dan kesenian sendiri. Kalaupun mereka diajak, biasanya hanya dialas sebagai tenaga teknis yang tidak diminta pendapatnya. Dan kalaupun diminta, hanya performa belaka. Keangkuhan birokrat selama ini, niscaya merupakan kultur yang sulit dikikis dan masih akan tetap bertahan untuk waktu yang lama.[8]
Pandangan Ajip Rosidi tersebut begitu tegas dan barangkali terkesan sentimental, akan tetapi itu baik untuk menyadarkan kita semua akan kekeliruan kita selama ini. Kekeliruan ini berjalan sudah bertahun-tahun, bahkan sejak Kongres Kebudayaan Indonesia sejak tahun 1948 lalu. Perbincangan tentang kebudayaan seringkali terjebak hanya membicarakan mengenai perlindungan hak cipta, pengembangan seni sastra, kritik seni, sensor film, pagelaran tari-tarian, dan lain sebagainya. Kita marah ketika kesenian kita diklaim negara lain, akan tetapi kita tidak sadar bahwa klaim tersebut tidak akan terjadi manakala kita mengerti bagaimana memproduksi terus-menerus kebudayaan, lewat disiplin hidup yang tangguh, kreatif dan inovatif serta keberanian untuk bersaing sekaligus belajar dari yang lainnya. Tak mungkin negara lain berani mengklaimnya bila kita mengerti betul kebudayaan. Kesenian adalah salah satu end product dari kebudayaan. Kebudayaan sendiri bukanlah kesenian. Ia merupakan daya juang yang hidup dalam kesadaran masyarakat sehari-hari. Dengan daya juang tersebut, produk kebudayaan dapat terus tercipta kapanpun dan dimanapun.
Maka dari itu, bagi kami definisi kebudayaan sudah sangat jelas, yaitu perilaku bersama kita sebagai masyarakat. Kebudayaan adalah “our collective behavior” yang sudah mendarah daging dalam kesadaran kita yang terdalamUrgensi Kebudayaan
Pada pertengahan tahun 2000, HarvardUniversity menyelenggarakan simposium yang dimotori Lawrance E. Harrison dan Samuel P. Huntington. Pertemuan ilmiah yang melibatkan 22 pembicara yang datang dari berbagai disiplin keilmuan sosial ini mengangkat tema Culture Matters: How Values Shape Human Progress. Para ahli seperti Michael Porter, Jeffrey Sachs, Francis Fukuyama dan lain sebagainya saling berdebat terkait urgensi kebudayaan bagi kemajuan suatu bangsa. Dalam simposium tersebut paling tidak terdapat dua pandangan besar yang mewakili dua kelompok besar yaitu aliran kultural dengan aliran struktural, sebagaimana dinyatakan berikut:
Ajaran pokok kelompok konservatif adalah bahwa budayalah, dan bukannya politik, yang menentukan kesuksesan sebuah masyarakat. Ajaran kelompok liberal adalah bahwa politik dapat mengubah sebuah budaya dan membuatnya bertahan.
(Daniel Patrick Moynihan)[1]
Meski terjadi dua pandangan yang berbeda, akan tetapi masing-masing peserta mengakui pengaruh budaya bagi kemajuan suatu bangsa. Samuel P. Huntington menegaskan bahwa kebudayaan merupakan unsur determinan maju atau mundurnya suatu bangsa. Ia mencontohkan bahwa di awal tahun 1990-an ia menemukan data bahwa Ghana dan Korea Selatan di tahun 1960-an awal memiliki kemiripan ekonomi. Dilihat dari Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita yang setara; porsi ekonomi yang serupa di antara produk, manufakturing dan jasa primer serta berlimpahnya ekspor produk primer, dengan Korea Selatan memproduksi sejumlah kecil barang manufaktur. Mereka juga menerima bantuan ekonomi yang seimbang. Namun apa yang terjadi 30 tahun kemudian? Kore Selatan jauh melampaui Ghana dari sisi ekonominya. Korea Selatan menjadi negara ke-14 terbesar di dunia, yang mengembangkan perusahaan-perusahaan multinasional, ekspor mobil, alat elektronik, dan barang canggih hasil pabrik lainnya dalam jumlah besar, serta pendapatan perkapita yang mendekati Yunani pada saat itu. Berbeda dengan apa yang terjadi di Ghana, yang PDB per kapitanya sekarang sekitar seperlimabelas dari Korea Selatan. Suatu gap yang teramat jauh dari sisi ekonomi. Apa sebetulnya yang menjadikan Korea Selatan maju demikian pesat, sedangkan Ghana tetap tertinggal di belakang? Jawabannya adalah kebudayaan. Orang Korea Selatan yang memiliki budaya hidup hemat, rajin investasi, kerja keras, mengutamakan pendidikan, aktif berorganisasi dan sangat disiplin, mengantarkan begitu cepat perekonomian negaranya. Akan tetapi Ghana yang memiliki budaya lemah, yaitu sikap hidup yang tidak disiplin, tidak menghargai pendidikan, boros dan suka berfoya-foya, pada akhirnya kebudayaan tersebut menghambat kemajuan negaranya.[2]
Dewasa ini Korea Selatan sedang mendapatkan banyak pujian di forum internasional. Mereka mampu merajalela dalam bidang penciptaan teknologi informasi, barang elektronik dan otomotif yang kompetitif dan unggul. Produk-produk elektronik Korsel telah mampu menyaingi produk yang dihasilkan “gurunya”, yakni Jepang, maupun Barat. Bahkan di bidang softpower (budaya), kita kenal apa yang disebut dengan serbuan “gelombang Korea” (hallyu), yakni musik K-Pop, film dan sinetron, animasi, kuliner serta bahasa. Siapa yang tidak kenal dengan tarian “Gangnam Style” yang dipopulerkan Psy, seorang penyanyi rap Korsel? Videonya yang diunggah di Youtube disaksikan lebih dari satu milyar pemirsa dan tercatat rekor sebagai video yang paling populer dalam sejarah!
Jepang pun begitu. Sebagai bangsa yang pernah mengalami peristiwa tragis, yaitu eksekusi bom atom di Nagasaki dan Hiroshima dan telah memakan ratusan ribu korban jiwa penduduknya, bisa tampil kembali menjadi bangsa besar yang disegani bangsa-bangsa lainnya. Berbagai sikap hidup yang berasal dari budaya yang memajukan tetap dipegang erat-erat oleh masyarakatnya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa bangsa Jepang adalah pekerja keras. Rata-rata jam kerja pegawai di Jepang adalah 2450 jam/tahun, sangat tinggi dibandingkan dengan Amerika (1957 jam/tahun), Inggris (1911 jam/tahun), Jerman (1870 jam/tahun), dan Perancis (1680 jam/tahun). Seorang pegawai di Jepang bisa menghasilkan sebuah mobil dalam 9 hari, sedangkan pegawai di negara lain memerlukan 47 hari untuk membuat mobil yang bernilai sama. Seorang pekerja Jepang boleh dikatakan bisa melakukan pekerjaan yang biasanya dikerjakan oleh 5-6 orang. Pulang cepat adalah sesuatu yang boleh dikatakan “agak memalukan” di Jepang, dan menandakan bahwa pegawai tersebut termasuk “yang tidak dibutuhkan” oleh perusahaan.[3]
Begitupun dengan China yang belakangan mulai merajai ekonomi dunia. China memang merupakan bangsa yang sangat pragmatis. Mereka mempraktikkan sistem politik komunis-otoriter, namun menganut sistem ekonomi yang kapitalis. Meski begitu, efektivitasnya sudah terbukti dalam dua dekade terakhir ini. Terkenal sekali kata-kata Deng Xiao Ping saat itu, “tidak peduli kucing hitam atau putih, yang penting bisa tangkap tikus”. Pelajaran buat kita di sini adalah, jangan terlalu pusing soal nama sistem ekonominya, apakah liberal, neo liberal, atau agak sosialis, yang penting bisa menyejahterakan seluruh rakyat, bukan cuma segelintir orang saja. Di samping itu kebiasaan berbisnis yang tidak terlalu birokratis, berani hidup hemat, sabar dalam menawarkan dagangannya dan bernegoisasi atau tawar-menawar meski mendapat keuntungan sedikit, semua itu merupakan refleksi dari kebudayaan yang mereka kembangkan.[4]
Lantas bagaimana dengan Indonesia? Indonesia adalah bangsa yang unik, karena selain terdiri dari banyak suku dan bahasa ia juga merangkum berbagai kebudayaan yang tumbuh di dalamnya. Tercatat sekitar 300 bahasa daerah yang dijadikan media komunikasi antar penduduknya. Meskipun begitu, bahasa Indonesia menjadi bahasa nasional yang dapat dijadikan sebagai media komunikasi antara suku dan bangsa yang ada di dalamnya.
Meski Indonesia memiliki berbagai macam jenis kebudayaan, namun kebudayaan itu belum benar-benar menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang tangguh dengan segenap pencapaian dan prestasi yang membanggakan. Sebut saja misalnya dalam persoalan pendidikan, sampai saat ini meski sarjana lulusan perguruan tinggi kian bertambah, namun tetap saja pengangguran terjadi di mana-mana, bukan karena tidak ada lapangan pekerjaan, melainkan karena pendidikan yang mereka ikuti tidak tepat guna (link and match) dengan kebutuhan dunia kerja. Lulusan yang banyak itu tidak memiliki keahlian khusus sehingga terputus dari kebutuhan nyata di masyarakat. Belum lagi pilihan hidup yang terkesan santai, tidak pandai berhemat, banyak mengeluh makin menurunkan daya saing Indonesia sebagai sebuah bangsa yang kuat. Berbeda dengan ketiga negara di atas, seperti Korea Selatan, Jepang dan China yang telah maju karena dukungan kebudayaan yang dikembangkannya.
Apakah benar budaya bangsa Indonesia ini lemah? Apakah manusia Indonesia juga, memiliki banyak nilai-nilai hidup lemah, sehingga wajar bila kebudayaan yang ada tidak menjadikan bangsa ini maju? Lantas bila demikian, apa yang bisa kita lakukan untuk menjadikan kebudayaan Indonesia kembali digdaya?
Mochtar Lubis (1922 – 2004), seorang jurnalis dan budayawan tersohor, dalam pidato kebudayaannya tahun 1977 di Taman Ismail Marzuki menyampaikan dengan sangat lugas ciri-ciri manusia Indonesia, yaitu: hipokrit (munafik), tidak bertanggungjawab atas perbuatannya sendiri, memiliki jiwa feodal, masih mempercayai takhyul, artistik, watak yang lemah, tidak hemat alias boros, dan sifat-sifat buruk lainnya.[5] Dari sifat-sifat manusia yang disampaikan tersebut, hanya satu yang positif, yaitu jiwa artistik, sedangkan sisanya hanya nilai-nilai lemah yang tidak perlu dikembangkan.
Menurut sejarawan ternama asal Inggris, Arnold J. Toynbee (1889 – 1975) bangsa-bangsa yang mendiami wilayah di sekitar garis khatulistiwa dikenal memiliki budaya yang lembek (soft culture). Toynbee yang menelaah delapan pusat peradaban dunia, dan kemudian menghasilkan teori Challenge and Response itu, mengemukan bahwa suatu kebudayaan akan tumbuh manakala ia mampu menghadapi tantangan yang datang dari tempat di mana ia hidup. Hal serupa disampaikan juga oleh Tokuyama Jiro, peneliti dari Nomura Institute, bahwa bangsa agraris biasanya lebih subsisten, bersifat pasrah dibandingkan bangsa Barat yang lebih keras, karena harus berburu untuk bertahan hidup. Di sini alam agraris cenderung memanjakan manusia yang hidup di atasnya. Mereka pun tidak memiliki daya saing yang kuat sebagaimana bangsa yang memiliki empat musim.[6]
Herman Kahn dari RAND Corporation mengatakan bahwa di benua Asia ada dua wilayah yang dipisahkan oleh garis pembatas. Garis itu terletak di Thailand. Mereka yang mendiami wilayah di Utara garis ada di bawah pengaruh Konghucu jauh lebih maju bila dibandingkan dengan mereka yang berada di wilayah Selatan. Indonesia yang berada di bagian Selatan termasuk bangsa yang memiliki kebudayaan yang statis.[7]
Gunnar Myrdall (1898 – 1987) menyimpulkan bahwa semua negara di Asia Selatan termasuk Indonesia menempatkan modernisasi sebagai tujuan pembangunan dalam konteks pertumbuhan ekonomi dan keadilan sosial. Keadaan mundur terjadi di Indonesia disebabkan karena massa rakyat yang irasional dan buruknya lembaga-lembaga sosial politik. Masih menurut Myrdall, keadilan ekonomi merupakan syarat bagi pertumbuhan ekonomi di negara-negara terbelakang termasuk Indonesia.[8]
Setelah mengetahui berbagai informasi tersebut, kita bisa menyikapinya dengan dua pilihan, yaitu pesimis atau optimis. Bila optimis, maka tidak ada pilihan lain bagi kita semua kecuali berpikir bersama untuk mencari sebuah strategi baru bagi kebangkitan budaya Indonesia yang kelak berpengaruh bagi kebangkitan bangsa ini.Penyerbukan Silang Antarbudaya: Sebuah Strategi Kebudayaan
Saat ini ada kebutuhan yang mendesak dalam kehidupan kebangsaan kita. Globalisasi dengan berbagai pernah-perniknya sudah menjadikan kita saling mengenal tidak hanya antar budaya yang ada di Indonesia melainkan juga pertemuan dengan budaya-budaya yang datang dari bangsa-bangsa lainnya. Pertemuan antarbudaya ini tak terhindarkan Sebagai bangsa yang memiliki jumlah penduduk terbesar keempat di dunia adalah keharusan untuk terus-menerus memutakhirkan diri, di mana pertemuan budaya yang terjadi idealnya membawa berkah bukan sebaliknya. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya yang berkenaan dengan proses komunikasi dan informasi, akan lebih menjadikan pertemuan antarbudaya lebih fresh dan intensif. Sebuah budaya tidak mungkin dapat bertahan dalam isolasi.[1]Untuk itu kebutuhan akan sebuah strategi kebudayaan menjadi hal yang niscaya dan dengannya kehidupan bersama dapat terus diperbaiki. Demikian pesan Jakob Oetama, pendiri Kompas:
Kita perlu membahas pembangunan kebudayaan dikaitkan dengan upaya memperbaiki kemampuan. Kemampuan untuk apa? Untukrecovery, bangkit dari kondisi serba krisis dan kritis. Bangkit untuk memperbaiki kehidupan bersama. Bangkit untuk kesejahteraan, yakni kebebasan, keadilan, solidaritas.[2]
Di sini kami bermaksud memperkenalkan sebuah strategi baru dalam mendekati persoalan kebudayaan sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya. Strategi ini berangkat dari sebuah asumsi bahwa kebudayaan adalah perilaku bersama yang sudah mendarah daging dalam kehidupan kita sehari-hari. Strategi ini kami namakan Strategi Penyerbukan Silang Antarbudaya (Cross Cultural Fertilization). Strategi ini adalah jalan terbaik untuk bisa mengatasi persoalan budaya yang membuat bangsa Indonesia belum beranjak dari ketertinggalannya. Dengan jalan penyerbukan silang antarbudaya, etos kerja positif yang dimiliki satu kelompok bisa diambil dan diterapkan sehingga melahirkan sebuah budaya baru, etos baru dalam bingkai bangsa dan negara Indonesia. Apalagi Indonesia dikenal sebagai bangsa yang majemuk dengan tingkat keberagaman yang tinggi.[3]
Keberagaman budaya yang dimiliki bangsa ini bisa menjadi modal besar untuk mendorong kemajuan bangsa ini sampai ke level yang lebih tinggi dari yang ada sekarang. Etos kerja warga Tionghoa yang gigih, tekun dan pantang menyerah bisa dijadikan pelajaran bagi penumbuhan etos kita bersama sebagai sebuah bangsa.[4] Pun begitu dengan warga Batak yang memiliki tekad keras guna meraih mimpinya, serta kesungguhannya di dalam mempelajari ranah hukum, bisa diadopsi oleh warga Sunda yang memiliki kelembutan di dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Sama halnya dengan ketabahan suku Jawa yang bisa dipelajari oleh suku Bugis dan Makassar. Semangat berlajar dan merantau dari Makassar dan Bugis dapat dipelajari juga oleh warga yang berada di Bali. Sungguh sebuah pemandangan yang akan menyejukkan dan berakibat pada bangkitnya budaya Indonesia yang kuat ketika terjadi proses saling-belajar di antara budaya-budaya yang ada. Masing-masing sub-etnik bangsa ini memiliki kelebihan tersendiri. Bila masing-masing kelebihan itu diserbukkan, maka yang akan lahir adalah budaya unggul bangsa Indonesia.
Di samping menyerbukkan budaya-budaya lokal yang ada, juga kita harus terbuka untuk menyerbukkan budaya kita dengan budaya-budaya unggul yang berasal dari bangsa lainnya. Seperti persolan kesungguhan dan kegigihan bekerja, kita bisa belajarnya dari bangsa Jepang. Adapun terkait dengan persoalan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kita bisa belajarnya dari Jerman ataupun Amerika. Jadi melalui penyerbukan silang antarbudaya kita belajar dari dalam negeri (inward looking) dan pada saat yang bersamaan belajar juga dari luar (outward looking).
Ide penyerbukan silang antarbudaya ini berbeda dengan ide asimilasi budaya atau multikulturalisme. Ide asimilasi budaya yang secara politik digulirkan oleh Partai Tionghoa Indonesia (PTI) sejak tahun 1932 yang kemudian mendapat sambutan positif dari pemerintahan sejak tahun 1960 dan dipraktekkan dengan massif pada era Orde Baru berangkat dari pandangan bahwa budaya minor dalam hal ini budaya Tionghoa harus masuk ke dalam budaya mayor.[5] Maka sejak saat itu, banyak warga keturunan Tionghoa yang berubah nama menjadi nama yang Jawa dan lain sebagainya sebagai bagian dari implementasi gagasan asimilasi. Ide ini tidaklah buruk, akan tetapi untuk konteks saat ini perlu ditinjau kembali sesuai dengan konteks kekinian. Dalam konsep asimilasi masih ada anggapan budaya mayoritas dan budaya minoritas, jadi sebuah budaya dilihat bukan dari sisi kualitasnya melainkan dari kuantitasnya. Ini berbeda dengan ide penyerbukan silang antarbudaya yang berangkat dari kualitas masing-masing budaya, sehingga tidak perlu dipersoalkan apakah budaya itu minoritas asalkan ia memiliki keunggulan maka dapat kita pelajari juga.
Ide penyerbukan silang antarbudaya juga berbeda dengan ide multikulturalisme. Praktek multikulturalisme yang diterapkan di Kanada dan Australia juga di sebagian negara-negara Eropa tidaklah cocok bila diterapkan di Indonesia. Ide multikulturalisme yang berangkat dari pandangan bahwa masing-masing budaya diberikan kebebasan untuk tumbuh berkembang sesuai dengan keunikannya masing-masing. Ibarat taman yang ditanami banyak pohon, demikian itulah multikulturalisme. Masing-masing budaya yang ada tumbuh sesuai dengan kediriannya. Tidak ada dialog yang mendalam apalagi usaha saling melebur dalam gagasan tersebut.
Nah, yang dibutuhkan Indonesia dengan berbagai budayanya yang unik adalah penyerbukan silang antarbudaya. Masing-masing budaya positif dapat dileburkan sehingga menjadi budaya unggul yang dapat terus tumbuh mengharumkan tanah Indonesia. Untuk memulainya, kita perlu memaksimalkan pendidikan yang menghargai pembentukan karakter yang dimulai dari level anak-anak sampai kalangan orang tua, termasuk para guru yang terlibat dalam proses pendidikan dan pengajaran.
Implementasi Penyerbukan Silang Antarbudaya
Pendidikan adalah media paling efektif untuk membentuk karakter manusia. Dengan pendidikan yang baik seseorang bisa tumbuh besar menjadi pribadi tangguh yang akan mendorong kebangkitan suatu bangsa. Untuk itu, ide penyerbukan silang antarbudaya akan dimulai dari kesadaran akan pentingnya pendidikan karakter bagi seluruh peserta didik, khususnya anak-anak. Peserta didik diberikan pengetahuan mendasar mengenai pentingnya semangat belajar dari manapun. Ia dididik dari awal untuk mau belajar dan terbuka belajar dari orang lain. Modal pendidikan karakter inilah yang kelak akan berguna bagi lahirnya generasi baru Indonesia yang sadar akan pentingnya penyerbukan silang antarbudaya.
Terkait pendidikan budi pekerti ini sesungguhnya bangsa kita memiliki sumber yang sangat kaya, salah satu di antaranya adalah pendidikan budi pekerti yang diajarkan di sekolah-sekolah Tionghoa. Materi pendidikan budi pekerti tersebut dinamakan Dì Zi Gui.[6] Di dalamnya berisi ajaran nilai-nilai budi pekerti untuk anak-anak dan remaja. Buku tersebut dilengkapi panduan serta tata cara pembelajaran nilai-nilai budi pekerti. Di dalamnya berisikan 34 nilai-nilai utama yang diajarkan bagi para murid, mulai dari ajaran bagaimana bersikap yang baik di hadapan orang tua, cara menyampaikan kasih sayang, sopan santun dengan saudara, menghargai waktu, sikap berlaku hemat, bersikap lembut dan penuh perhitungan, amanah dan jaga lidah, menghindari gossip, introspeksi dan kaji diri, bersikap terbuka, berkepribadian luhur, menghargai orang lain, gairah menuntut ilmu, merapihkan ruan belajar, menjaga penampilan dan lain sebagainya. Menariknya, seluruh ajaran nilai-nilai tersebut disampaikan melalui rangkaian bait puisi dan syair yang indah, yang menandakan keluruhan intelek yang menyusunnya. Misalnya terkait sikap lembut dan penuh perhitungan, Di Zi Gui mengajarkannya dengan pernyataan berikut:
Saat membawa barang tak berisi
Bagaimana membawa barang penuh terisi;
Saat masuk ruangan tak berpenghuni,
Bagaikan ada yang ditemui.
Begitupun ketika mengajarkan hidup hemat, berikut ajarannya:
Makan dan minum seadanya,
Jangan memilih yang enaknya saja;
Makanlah secukupnya,
Jangan mubazir, walau sebutir nasi saja.
Begitupun ketika mengajarkan persoalan menghargai waktu, berikut ajarannya:
Bangunlah lebih awal di waktu pagi
Tidurlah tepat waktu di malam hari;
Waktu yang lalu takkan kembali
Hargai waktu mulai dari kini.
Betapa indah uraian kata-kata bijak tersebut. Ia bukan hanya petuah, melainkan ajaran hidup yang bila diamalkan akan melahirkan individu yang berkepribadian mulia dan berkebudayaan luhur.
Meski berasal dari tradisi Tionghoa, akan tetapi karakter ajarannya universal sehingga bisa diamalkan oleh siapapun, tanpa memandang apa latar belakarng mereka. Di beberapa pesantren pun diajarkan nilai-nilai hidup dalam materi mahfüdhzât, yang bila isinya diamalkan dan diserbuksilangkan dengan materi dari Di Zi Gui maka akan terjadi proses penyerbukan silang yang sesungguhnya. Ajaran waktu dari Di Zi Gui akan semakin kuat bila disatukan juga dengan ajaran menghargai waktu dari tradisi pesantren. Dalam mahfüdzât terdapat bait syair yang mengatakan, “telor hari ini lebih baik daripada ayam esok hari.” Bukankah dua bait yang berasal dari dua tradisi berbeda tersebut berpesan hal yang sama, yaitu perihal menghargai waktu dan memanfaatkannya sebaik mungkin? Maka tidak ada alasan untuk menunda belajar dari keluhuran budaya lain.
Sebagai kesimpulan, kita harus sama-sama menyadari perlunya perbaikan manusia Indonesia dan itu hanya mungkin bila melalui perbaikan kebudayaan. Dan perbaikan kebudayaan akan efektif manakala menerapkan penyerbukan silang antarbudaya sebagai strateginya. Untuk memulainya bisa berawal dari pendidikan budi pekerti dari level anak-anak. Sungai yang keruh memang harus disaring dari HULU!
Daftar Pustaka
Benedict, Ruth. Pedang Samurai dan Bunga Seruni Pola-Pola Kebudayaan Jepang, terj, Pamudji. Jakarta: Sinar Harapan, 1982.
Fukutake, Tadashi. Masyarakat Jepang Dewasa Ini, terj. Haryono. Jakarta: Gramedia, 1988.
Hassan, Fuad. Renungan Budaya. Jakarta: Balai Pustaka, 1992.
Huntington, Samuel P. & LawrenceE. Harrison. Kebangkitan Peran Budaya: Bagaimana Nilai-nilai Membentuk Kemajuan Manusia. Terj. Retnowati. Jakarta: LP3ES, 2011.
Koentjaraningrat. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia, 1992.
Lubis, Mochtar. Manusia Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012.
President and Fellows of HarvardCollege. Indonesia Menentukan Nasib Dari Reformasi ke Transformasi Kelembagaan. Jakarta: Kompas, 2010.
Rosidi, Ajip. Masa Depan Budaya Daerah. Jakarta: Pustaka Jaya, 2010.
Sularto, St. Syukur Tiada Akhir Jejak Langkah Jakob Oetama. Jakarta: Kompas, 2011.
Triyana, Bonnie. Eddie Lembong Mencintai Tanah Air Sepenuh Hati. Jakarta: Kompas, 2011.
Biografi Penulis
Aan Rukmana
Lahir di Kuningan, 13 Januari 1982. Alumnus Pondok Pesantren Daar El-Qolam ini menyelesaikan pendidikan S1 Universitas Paramadina, program studi Filsafat Islam dan S2, pada bidang yang sama di Islamic College for Advance Studies (ICAS), Jakarta. Pernah nyantri beberapa bulan di Qom, Iran untuk mendalami filsafat Islam (2007) dan di Vatikan, Roma (2010). Ia juga aktif dalam bidang kepemimpinan Islam (Islamic Leadership). Beberapa pelatihan kepemimpinan Islam pernah diikutinya, mulai dari Indonesia, Filipina, Malaysia, hingga Australia. Saat ini aktif sebagai Ketua Harian Nabil Society. Di samping menjadi pembicara seminar dan pelatihan di beberapa forum, penulis aktif mengajar sebagai dosen filsafat di Universitas Paramadina. Untuk komunikasi lebih lanjut dapat menghubungi email:aanrukmana@gmail.com. Beberapa karya yang terbit di antaranya:Seyyed Hossein Nasr, Penjaga Taman Spiritualitas Islam (Jakarta: Dian Rakyat, 2013) dan Ibn Sina: Sang Ensiklopedik Pemantik Pijar Peradaban Islam (Jakarta: Dian Rakyat, 2013).
Eddie Lembong
Lahir di Tinombo, Sulawesi Tengah, 30 September 1936. Setelah lulus dari Jurusan Farmasi ITB (Mei, 1965), ia mendirikan PT Pharos Indonesia yang bergerak di bidang industri obat-obatan, yang melambungkan namanya sebagai salah satu tokoh farmasi Indonesia. Berbagai konferensi internasional pernah dihadirinya seperti: 4th ISSCO Conference di Taipei, 2001, ISSCO Regional Conference, Seoul, Korea, 2003, 5th ISSCO Conference, Kopenhagen, Denmark, 2004, ISSCO Regional Conference, Bendigo-Melbourne, Australia, 2005 dan ISSCO Regional Conference di Pretoria, Afrika Selatan, 2006. Kepedulian terhadap masalah persatuan bangsa diwujudkan dengan mendirikan Perhimpunan INTI (Indonesia Tionghoa), yang menjadi wadah penyelesaian secara holistik berbagai masalah Tionghoa. Perhatiannya kian melebar ke masalah nation building, pembangunan bangsa, yang memberinya alasan membentuk Yayasan Nabil (Nation Building), wahana yang ia pakai untuk mengembangkan gagasan Penyerbukan Silang Antarbudaya (Cross Cultural Fertlization) antara budaya Tionghoa dengan budaya berbagai suku bangsa lainnya. Di sana pula Eddie lembong terus berjuang merajut Indonesia yang damai dalam bingkai kebhinekaan dan pluralisme. Untuk komunikasi dengan beliau bisa melalui email: yayasan_nabil@yahoo.co.id
[1] Fuad Hassan, Renungan Budaya (Jakarta: Balai Pustaka, 1992), hal. 29.
[2] St. Sularto, hal. 390.
[3] Bonnie Triyana, hal. 9.
[4] Ibid. hal. 10.
[5] Tentang lahirnya konsep asimilasi ini dapat dibaca dalam bukuLahirnya Konsep Asimilasi Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa yang diterbitkan oleh Yayasan Tunas Bangsa Jakarta. tt.
[6] Di Zi Gui adalah ajaran budi pekerti yang disusun oleh Li Yu Xiu pada Jaman Kerajaan Kang Xi, ia merupakan intisari dari ajaran-ajaran universal Kong Fu Zu.
Komentar
Posting Komentar
Mohon untuk tidak memasang Iklan
ADMIN