Langsung ke konten utama

DOMINASI ETNIS CINA DALAM KEGIATAN EKONOMI DI INDONESIA PERIODE TAHUN 1930 SAMPAI TAHUN 2000

Sudah menjadi pendapat umum bahwa golongan minoritas Cina memegang peranan yang amat menentukan dalam kehidupan perekonomian masyarakat Indonesia, sehingga apabila diadakan pembedaan golongan ekonomi lemah dan golongan ekonomi kuat, maka yang kuat selalu diartikan golongan Cina atau non pribumi (Husodo, 1985:65). Pendapat tersebut bisa saja benar tergantung dari sudut mana melihatnya dan sektor mana yang menjadi titik perhatiannya. Kenyataannya dalam kehidupan sehari-hari kita sering melihat bahwa etnis Cina memegang peranan penting dalam kegiatan perekonomian masyarakat khususnya yang menyangkut pemenuhan kebutuhan pokok dan biasanya mendominasi kegiatan perekonomian tersebut.
            Kalau kita mengendarai mobil dari Anyer di ujung barat pulau Jawa ke Banyuwangi di ujung timur, di banyak kota yang kita lalui, Bekasi, Karawang, Pemanukan, Jatibarang, terus ke Brebes, Tegal, Pekalongan, Kendal, Semarang, terus ke timur sampai Sidoarjo, Pasuruan, terus ke Banyuwangi, pola setiap kota yang kita lalui adalah, masuk kota, jalan yang diperlebar, daerah pertokoan yang umumnya milik golongan non pribumi Cina, lalu lapangan (aloon-aloon) dan kantor kabupaten. Pola itu memberikan kesan yang kuat bahwa pusat perdagangan/pusat kegiatan ekonomi di setiap kota berada di tangan golongan minoritas non pribumi Cina (Husodo, 1985:65).
            Apapun kesan yang diberikan kepada etnis Cina terkait dengan karakteristik pribadi mereka, terutama dalam menyikapi situasi lingkungan yang mereka hadapi, dengan motivasi tertentu terutama untuk mendapatkan keamanan dan kesejahteraan hidup, bahkan kemapanan. Hal ini tetntunya dipengaruhi oleh latar belakang pengalaman masa lalu yang merupakan dasar untuk melangkah ke depan meraih harapan-harapan hidup mereka di masa kini dan yang akan datang.
            Oleh karena itu melaui artikel ini penulis ingin memberikan pengetahuan tentang latar belakang sejarah etnis Cina, sebagai pengetahuan tentang dominasi etnis Cina dalam kegiatan ekonomi di Indonesia periode tahun 1930-2000. Lintas sejarah dalam artikel ini akan dibatasi dalam beberapa bagian, yaitu periode tahun 1930-an, periode tahun 1941 sampai tahun 1958, periode tahun 1959 sampai tahun 1986, periode tahun 1986 sampai 2000.


Sejarah Kedatangan Bangsa Cina Ke Indonesia


Dominasi Etnis Cina Dalam Kegiatan Ekonomi Di Indonesia Periode Tahun 1930
Orang Cina di Indonesia kebanyakan tinggal di Jawa. Pada tahun 1930 jumlah orang Cina di Jawa mencapai hampir 50% dari seluruh orang Cina yang terdapat di Indonesia. Di Jawa tempat tinggal mereka terpisah dengan pribumi. Hampir pada setiap kota di Jawa terdapat daerah yang disebut “pecinan” yang berarti tempat tinggal orang Cina (Markhamah, 2000:2).
Pada dasawarsa 1930-an orang-orang etnis Cina sudah mendominasi perdagangan perantara, dan mereka mendirikan dua pabrik pegolahan karet terbesar di Palembang. Yang satu adalah Hok Tong, milik seorang etnis Cina yang tinggal di Singapura, dan yang satunya lagi adalah Kiang Gwan, sebuah perusahaan dagang dari kelompok Oei Tong Ham, yang merupakan kelompok usaha etnis Cina terbesar di Asia Tenggara pada zaman sebelum Perang Dunia II. Kiang Gwan mempunyai cabang di Bombay, Kalkuta, Karachi, Shanghai, Hong Kong, Amoy, Singapura, dan London (Yoshihara, 1988:229, dalam Irwan, 1999:182). Para pedagang karet pribumi kalah dalam menghadapi pengusaha etnis Cina yang jaringan dagangnya merenteng dari desa-desa sampai ke kota pelabuhan Palembang dan Singapura.
Dalam (Hidajat, 1984:83) dijelaskan bahwa jenis usaha yang etnis Cina adalah sebagai penguasaha Bank, perdagangan, industri dan pertanian. Menurut catatan pada tahun 1930 dari jumlah 1.233.000 orang, sejumlah 470.000 orang sebagai pengusaha dalam berbagai bidang, antara lain:
a.       Produksi bahan mentah sebanyak 145.000 orang.
b.      Bidang industri ada 94.000 orang
c.       Perdagangan ada 185 orang
d.      Sebagai pegawai pemerintah ada 3.000 orang
e.       Dalam bidang usaha-usaha lain ada 43.000 orang
Etnis Cina yang telah berpendidikan mulai menekuni bidang-bidang yang terspesialisasi. Misalnya dokter, akuntan dan pengajar. Yang bekerja sebagai kuli atau buruh kasar baik yang terampil ataupun tidak, mulai menyusut jumlahnya. Selain itu, banyak yang bekerja di perusahaan-perusahaan Cina (Mackie, 1991:322-323). Jadi, pada periode tahun 1930-an, sebagian besar etnis Cina bekas kuli berganti peran menjadi pedagang dan usahawan dalam perdagangan kecil-kecilan atau industri berskala kecil yang menyisihkan para pedagang dan usahawan kecil pribumi, tetapi tidak usahawan-usahawan Belanda.


Dominasi Etnis Cina Dalam Kegiatan Ekonomi Di Indonesia Periode Tahun 1941-1958
Pada masa-masa revolusi etnis Cina tidak melepaskan dari tujuan usahanya, terutama dalam usaha perdagangan. Orang-orang Cina tetap menjalankan usaha dagangnya pada masa-masa revolusi, baik mereka yang berada di daerah kekuasaan RI maupun mereka yang berada di daerah kekuasaan Belanda (Hidajat 1984:139). Namun pada masa revolusi, rakyat Indonesia sedang berjuang melawan penjajah, sehingga kegiatan perekonomian berjalan tidak lancar. Sedangkan etnis Cina masih sempat melakukan kegiatan ekonomi, sehingga di sini terlihat jelas bahwa tujuan mereka hanya ingin mencari keuntungan semata dan tidak terlalu pedulu dengan urusan negara.
Pada masa kemerdekaan kedaan menjadi semakin aman, usaha orang Cina ini semakin lancar dan makin luas usahanya, sedangkan masyarakat pribumi Indonesia baru akan membangun usaha ekonominya dan menyadari akan ketinggalan dalam bidang  industri, dalam bidang perdagangan dan dalam bidang perbankan serta di samping itu hubungan-hubungan dengan pedagang-pedangan luar negeri sedikit sekali pengalamannya. Dengan demikian sejarah perkembangan masyarakat dan negara Indonesia telah memberikan kesempatan dan keuntungan nasib baik bagi orang-orang Cina Indonesia, sehingga orang-orang Cina dalam bidang ekonomi adalah segala-galanya. Itulah suatu kondisi yang menghasilkan mental sosio-ekonomis orang Cina, yang berpegang pada keyakinan untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya dalam situasi apapun, serta dengan jalan apapun, bahkan kalau perlu dengan jalan ilegal dan main manipulasi serta kegiatan-kegiatan subversi (Hidajat 1984:139-140).
            Perhatiannya terhadap usaha pemerintah dalam pembangunan dan perbaikan dalam bidang ekonomi khususnya bagi masyarakat pribumi, dianggap oleh mereka sebagai saingan. Mereka hanya ikut aktif jika menguntungkan dalam kepentingan usahanya. Profesi sebagai pedangan merupakan pola kehidupan orang Cina. Profesi yang lain yang mendatangkan keuntungan adalah seperti menjadi dokter, atau ahli teknik serta ahli farmasi.
Rakyat Indonesia yang sukses merebut kekuasaan politik dari Tangan Belanda juga berkeinginan untuk memperoeh kekuasaan ekonomi. Karena itu, tidaklah mengejutkan jika ditemukan sebutan “Indonesia asli” tercantum dalam sebuah peraturan. Apa yang disebut “politik asli” tahun 1950-an bertujuan memperkecil kekuatan ekonomi (terutama dalam bidang komersial) etnis Cina di Indonesia. Berbagai peraturan yang memberikan hak-hak istimewa kepada pengusaha pribumi (misalnya sistem benteng) dan perlindungan yang diberikan kepada perusahaan-perusahaan nasional yang didefinisikan sebagai perusahaan yang sahamnya sebagian besar dimiliki pribumi Indonesia, merupakan contoh terpenting kebijakan ini. Gerakan Assaat, yang mendesak pemerintah Indonesia untuk memperbaiki kedaan ekonomi “Indonesia asli” dengan mengorbankan non pribumi Indonesia, merupakan manifestasi konkret nasionalisme ekonomi ini. (Suryadinata, 1999:120-121)
Sekitar awal tahun lima puluhan, perekonomian Indonesia sebagian masih dikuasai oleh perusahaan-perusahaan Belanda yang besar dan terkenal dengan julukan The Big Five. Pada tempat kedua. Diduduki oleh pedagang-pedagang perantara, menengah, kecil, yang terdiri dari orang-orang non pribumi keturunan Cina. Perusahaan-perusahaan Belanda tersebut sekitar tahun 1957 dinasionalisir oleh pemerintah Indonesia, dan sebagian besar dari pengusaha-pengusaha Belanda tersebut kembali ke tanah airnya (Husodo, 1985:69).
            Pengambil alihan perusahaan Belanda oleh pemerintah Indonesia tersebut ternyata baru bersifat legal saja, karena ternyata orang-orang yang seharusnya menangani pengelolaannya, kurang pengalaman dan keahlian, dan karena kurang dipersiapkan, tidak mampu berperan secara baik. Pemerintah ternyata belum siap untuk menyiapkan tenaga-tenaga pengelola yang trampil, mengingat pada waktu sebelumnya mereka disibukkan oleh kegiatan-kegiatan politik/militer dalam rangka perjuangan merebut kemerdekaan. Karena orang-orang yang mengelola perusahaan-peusahaan besar tersebut belum ahli dan berpengalaman, maka banyak diantara perusahaan tersebut semakin lama semakin lemah, bahkan banyak diantaranya yang mundur. Dalam kedaan yang kosong ini, orang-orang non pribumi keturunan Cina tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut dan membuat semakin besarnya peranan golongan non pribumi ini di bidang ekonomi (Husodo, 1985:69-70) .
            Secara umum perusahaan Belanda dan pihak swasta asing dominan dalam sektor ekonomi utama, seperti manufacture, perkebunan, industri tekstil dan lain-lain. Muncul perubahan peran ekonomi etnis Cina, yang saat itu sedikit demi sedikit memasuki usaha grosir dan ekspor-impor yang waktu itu masih didominasi Belanda. Kemudian diikuti oleh tumbuhnya bank-bank swasta kecil yang dimiliki oleh etnis Cina, dan muncul juga dalam industri pertekstilan (Mackie, 1991:322-323).
            Bidang pelayaran menjadi sektor utama yang secara luas dipegang oleh etnis Cina masa itu, tetapi pada akhirnya mendapat saingan dari perusahaan negara dan swasta pribumi. Pada bidang jasa dan profesipun secara kuantitatif meningkat, tetapi untuk dinas pemerintahan dan angkatan bersenjata, secara kuantitas hampir tidak ada.
Kegiatan ekonomi etnis Cina semakin menonjol pada periode tahun 1957 sampai 1958. Keberhasilan usaha mereka mengambil alih perusahaan-perusahaan besar Belanda yang dinasionalisasi, walaupun kondisi politik dan ekonomi Indonesia tidak menguntungkan mereka, apalagi setalah peristiwa G 30 S/PKI tahun 1965. Kunci utama keberhasilan pelaku ekonomi baru etnis Cina, adalah merintis kedekatan dengan pejabat pemerintah pada awal Orde Baru sebagai pembinaan hubungan secara ekonomi dan politis. Walaupun demikian, orang Cina tidak banyak yang terjun secara terbuka dalam politik praktis saat itu, mereka melakukannya lewat dukungan material dan non material(http://web.budaya-tionghoa.net).
           
Dominasi Etnis Cina Dalam Kegiatan Ekonomi Di Indonesia Periode Tahun 1959-1986
            (Husodo, 1985:70) menjelaskan bahwa orang-orang non pribumi keturunan Cina dengan cepat menguasai kegiatan ekonomi yang semula dikuasai oleh perusahaan-perusahaan Belanda, ini karena mereka mempunyai hubungan langsung dengan orang-orang Cina di Honkong, Singapura, dan mereka tidak mempunyai saingan yang berarti dari Perusahaan Negara. Dengan adanya Peraturan Pemerintah RI No. 10 tahun 1959 yang melarang orang-orang non pribumi Cina khususnya WNA bertempat tinggal dan berusaha di desa-desa atau di daerah pedalaman, mereka hanya diperkenankan berusaha terbatas di sekitar ibu kota daerah tingkat I dan II, telah menyebabkan terpusatnya semua modal-modal mereka di kota-kota yang kemudian membuat kota-kota itu mempunyai kesan, bahwa perekonomiannya dikuasai golongan non pribumi. Dengan organisasi yang rapi, modal yang sangat mobil, orang-orang non pribumi cepat menguasai kehidupan ekonomi di kota-kota itu.
            Akibat Peraturan Pemerintah RI No. 10 tahun 1959 yang melarang orang-orang non pribumi keturunan Cina (terutama WNA) untuk tinggal di desa-desa, maka perdagangan di desa menjadi kosong pula. Karena tidak ada persiapan mengenai siapa yang menampung kegiatan-kegiatan perdagangan dan distribusi serta pengumpulan barang di desa, akhirnya semuanya dikuasai kembali oleh orang-orang Cina.
            Pada waktu-waktu selanjutnya, orang-orang Cina non pribumi telah menjadi sedemikian maju dan kuat dalam bidang perekonomian. Sekitar tahun 60-an modal-modal non pribumi keterunan Cina memasuki Perbankan Swasta. Modal-modal kaum non pribumi mulai pula memasuki sektor pemukiman. Peraturan tentang sewa menyewa tanah, rumah dan bangunan berdasarkan hukum Kolonial menguntungkan pihak penyewa. Ketika Belanda kembali ke negerinya, meninggalkan tempat-tempat tinggal serta toko-toko mereka di Indonesia, orang Cina langsung menguasai tempat-tempat tinggal dan toko-toko strategis seperti di Braga Bandung, Pasar Baru dan Harmoni di Jakarta (Husodo, 1985:70).
            Pada masa Orde Baru pertumbuhan ekonomi sudah mulai kondusif yang didorong  banyaknya usaha dan modal swasta yang keduanya dimiliki oleh etnis Cinadan ditunjang pula oleh kemampuan teknis dan hubungan perekonomian dengan pihak luar negara, terutama dengan sesama etnis Cina di luar negara, seperti orang-orang Cina di Honkong, Singapura (Husodo, 1985:70). Akibatnya, kebanyakan etnis Cina mengalami peningkatan status sosial ekonomi daripada kondisi sebelumnya. Namun demikian, mereka masih dikesampingkan dari usaha-usaha perekonomian utama, dan terdiskriminasi untuk memasuki Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, administrasi sipil pemerintah dan perguruan tinggi negara.
            Munculnya perusahaan-perusahaan yang dikuasai etnis Cina berdampak negatif, dengan tidak dilibatkannya pengusaha pribumi untuk bekerjasama dalam korporatisasi perusahaan-perusahaan. Efek negatif yang muncul adalah semakin tajamnya persaingan usaha pribumi dan non pribumi.

Dominasi Etnis Cina Dalam Kegiatan Ekonomi Di Indonesia Periode Tahun 1986-2000
            Masa ini merupakan masa keemasan bisnis etnis Cina di Indonesia, terlebih-lebih bagi yang dekat dengan “Keluarga Cendana” (http://web.budaya-tionghoa.net). Etnis Cina mengangga dirinya sebagai salah satu pilar penyangga pertumbuhan ekonomi Indonesia. Keberanian pengusaha dan pelaku ekonomi etnis Cina lainnya dalam penanaman modal, spekulasi, strategi kerjasama dan jaringan kerja dengan pihak luar negara menjadi poin istimewa kegiatan ekonomi etnis Cina di tahun-tahun ini. Kedekatan dengan pejabat bahkan sampai ke hal-hal pribadi yang cenederung dihubungkan dengan kolusi, kotupsi, dan nepotisme juga dilakukan oleh beberapa pengusaha etnis Cina kelas menengah dan atas.
            Akan tetapi, pembangunan ekonomi juga kemapanan hidup yang didengungkan dan dibanggakan Orde Baru, bagaikan suatu menara gading yang dasar konstruksi tidak kuat. Maka terjadi keruntuhan rezim dan kemapanan hidup yang menyakitkan dengan adanya krisis moneter. Kalangan bawah bergerak karena ketidakpuasan terhadap situasi dan kondisi kehidupan sosial dan ekonominya, serta sikap anti kemapanan, yang salah satunya tercetus dalam bentuk kerusuhan Mei 1998. Kerusuhan berupa penghancuran toko-toko serta pusat perdagangan terutama yang dimiliki etnis Cina. Hal ini ikut mendorong jatuhnya mantan Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan.
            Kerusuhan Mei 1998, juga berpengaruh pada sikap anti etnis Cina terutama yang memiliki usaha. Orang Cina trauma akibat kerusuhan Mei 1998, banyak yang lari ke luar negara, dan sebagian ada yang melarikan modal ke luar negara. Usaha-usaha niaga etnis Cina di kota-kota besar banyak yang vakum, dan baru mulai bangkit setelah ada jaminan keamanan dari mantan Presiden Habibie. Pelaku ekonomi etnis Cina hanya menunggu perkembangan keadaan.
Kondisi ekonomi yang kondusif pun digalakkan dalam pemetintahan mantan Presiden Abdurrahman Wahid, dengan dicabutnya beberapa Kepres ataupun Inpres yang mendiskriminasian entnis Cina serta himbauan yang ditujukan kepada pelaku ekonomi etnis Cina untuk menjalankan usahanya kembali ke atau di tanah air.
            Akan tetapi, kinerja pemerintah Gus Dur belum meyakinkan banyak pihak termasuk pelaku ekonomi etnis Cina, karena gaya kepemimpinan dan gaya politik Gus Dur sering berubah arah, sehingga berdampak pada fluktuasi nilai tukar mata uang asing terutama dollar AS di bursa saham Jakarta. Tentu saja, hal ini menggoyahkan kestabilan usaha ekonomi terutama kalangan pihak asing dan pelaku ekonomi etnis Cina. Pelaku ekonomi etnis Cina masih meninggu langkah-langkah konkret pemerintah Gus Dur untuk memperbaiki situasi perekonomian dan usaha nasional, walaupun demikian pelaku ekonomi etnis Cina masih merasa aman berbisnis dan bertempat tinggal sementara waktu di Indonesia. Oleh sebab itu usaha-usaha etnis Cina yang saat itu dilakukan cenderung yang bukan beresiko atau berspekulatif tinggi tetapi dapat menguntungkan mereka, terutama di usaha-usaha bagian hilir(http://web.budaya-tionghoa.net).
            Di masa Orde Baru, nama Liem Sioe Liong sangat terkenal sebagai pengusaha Cina yang bukan hanya berhasil dalam mengembangkan usaha-usaha besar strategis, tetapi juga sering dikaitkan dengan isyu-isyu politik (Husodo, 1985:83). Liem Sioe Liong yang dikenal dengan nama Soedono Salim pemilik Salim Group, merupakan salah satu sosok etnis Cina perantauan yang sukses mengadu untung di luar negara asalnya. Soedono Salim yang meninggalkan Cina selatan di tahun 1930-an menuju Indonesia, melalui jaringan usaha perdagangan ia bisa berhubungan erat dengan Soeharto, Presiden II RI, Keuntungan yang didapat Liem Sioe Liong dari hubungan ini adalah diperolehnya berbagai fasilitas ijin ataupun proyek untuk perusahaan Salim Group, hingga penjualannya meningkat drastis sampai $ 9 juta tahun 1994, yang dihitung sebagai 5% pendapatan kotor domestik Indonesia(http://web.budaya-tionghoa.net). Walaupun dalam pers Indonesia nama Liem Swie Liong tidak banyak mendapat sorotan khusus, namun di dunia usaha namanya sudah tidak asing lagi (Husodo, 1985:83).
            Perilaku hubungan jaringan kerja antara etnis Cina terbentuk karena pengalaman yang mereka lalui. Sesama migran etnis Cina di manapun berada saling menjaga dan membantu pendatang-pendatang baru di bumi nusantara yang mereka tempati sebagai negara harapan.
(Menurut Wertheim dalam Mackie 1991:293), pembagian kelas etnis Cina dengan masyarakat pribumi bersifat vertikal dalam artian sebagai sikap primordial, akibat tanggapan bahwa etnis Cina dianggap kelompok minoritas. Kompetisi antar pelaku ekonomi Cina (terutama sebagai pengusaha atau wiraswastawan) dengan masyarakat pribumi sering menjadi penyebab konflik tertutup maupun terbuka terhadap etnis Cina.
Hubungan jaringan kerja antar etnis Cina di Indonesia ini, menguatkan psikis anggotanya melalui hubungan bisnis dan sebagainya. Selain itu hubungan jaringan kerja ini berfungsi sebagai mediator toleransi antar etnis Cina dengan masyarakat, terutama dalam hubungan bisnis.
Kuatnya hubungan jaringan kerja etnis Cina di Indonesia ini semakin meningkatkan kekuatan usaha etnis Cina. Situasi dan kondisi ini mendorong usahawan etnis Cina mendirikan usahanya sampai ke wilayah-wilayah pelosok pedesaan. Tetapi kondisi ini tidak memancing konflik usaha dengan pengusaha pribumi, justru dominasi pengusaha etnis Cina pada sektor-sektor kehidupan ekonomi yang lebih penting di kota besar yang menjadi salah satu penyebab saingan keras dengan pengusaha pribumi kelas menengah.
(Skinner dalam Mackie, 1991:306) mengatakan bahwa kekuatan kecenderungan asimilasi terutama bergantung pada keadaan daerah setempat dan faktor sosio budaya, bukan pada kualitas yang ada pada diri etnis Cina. Hal ini ditegaskan oleh Mackie bahwa: “akibat kolonialisme Belanda yang melakukan pembagian kelas warga negara Hindia Belanda , mendudukan etnis Cina di atas bangsa pribumi, mengakibatkan lambannya identifikasi etnis Cina terhadap Indonesia pada pasca awal kolonialisme Belanda”.
Walaupun kemudian proses identifikasi penuh etnis Cina sebagai orang Indonesia mengalami hambatan diskriminasi politik, ekonomi dan sosial, namun solusi asimilasi sosio budaya bukan merupakan jawaban kunci dari permasalahan ini. Hambatan-hambatan ini akhirnya menjadi alasan mengapa beberapa pelaku ekonomi dari kalangan etnis Cina mengarahkan investasi bisnisnya ke luar negeri, yang intinya mencari keamanan untuk bisnis dan kelangsungan kehidupannya.
Menurut (Mackie 1991:330-332) , kegiatan ekonomi etnis Cina, terutama yang berjenis perusahaan konglomerat, diidentifikasikan dalam 7 (tujuh) karakteristik, yaitu:
1.      Mayoritas berupa keanekaragaman kepentingan, yang tidak lepas dari “core business”-nya, misalnya pangan.
2.      Orang-orang baru sebagai pelopor pembentukan struktur konglomerasi, karena tidak semua perusahaan keluarga berlatar belakang dari perusahaan keluarga etnis Cina yang telah mapan sebelumnya. Contonya, Liem Sioe Liong adalah usahawan etnis Cina perantauan yang semula miskin.
3.      Mempunyai hubungan dengan modal asing. Perusahaan-perusahaan etnis Cina yang mapan cenderung dipercaya oleh pihak asing daripada perusahaan pribumi atau perusahaan negara.
4.      Mempunyai kepemilikan bank-bank swasta, di mana kepemilikannya dimanfaatkan untuk membantu kepentingan yang lebih luas bagi para konglomerat.
5.      Investasi dilakukan bukan pada sektor pertambangan, perkebunan dan industri berat, karena sektor-sektor tersebut memiliki resiko politis dan resiko kerugian paling besar.
6.      Investasi di luar negeri, terutama Singapura dan Hongkong, memiliki pertumbuhan ekonomi tinggi dan tidak terlalu besar resiko politis dan ekonominya.
7.      Sebagian besar perusahaan keluarga berfungsi sebagai inti perusahaan konglomerat, walaupun kini tingkatan managernya bertumpu pada profesionalitas manager dan pekerja, tetapi tidak meminimalisir “peran” pemilik perusahaan keluarga tersebut. Ciri kegiatan bisnis etnis Cina ini terlihat dalam komposisi staf dalam perusahaannya, di mana jabatan mengambil keputusan berada di tangan kolega etnis Cina atau anggota keluarga yang dipercaya.
Ternyata ke tujuh karakteristik ini semakin memperkecil kecenderungan asimilasi penuh etnis Cina pada masa mendatang. Adanya hubungan percukongan yang semakin menjamur dan semakin meningkatnya kejayaan perilaku ekonomi di kalangan elit etnis Cina semasa Orde Baru. Hal ini menjadikan perusahaan-perusahaan mereka sebagai perusahaan multinasional selain konglomerasi.
Sementara itu masyarakat kelas menengah pribumi belum begitu kuat dalam sektor ekonomi modern, kecuali konglomeratnya. Kondisi ini diperburuk dengan sikap beberapa birokrat atau pejabat tinggi Indonesia yang cenderung lebih menyukai kerjasama dengan etnis Cina untuk menjalankan usaha mereka, karena etnis Cina dianggap lebih berpengalaman dan kuat modal daripada pribumi. Selain itu, bekerjasama dengan pengusaha pribumi rentan resiko karena mereka umumnya beraliansi pada partai-partai politik tertentu, sementara pengusaha etnis Cina umumnya netral dalam politik. Kondisi ini yang semakin menyuburkan praktik percukongan, korupsi, kolusi dan nepotisme. Meski demikian sistem kemitraan cukong ni berubah dari waktu ke waktu tergantung pada keberuntungan bisnis Cina yang bersangkutan. (Hidajat, 1984:101) menjelaskan bahwa, justru etnis Cina “totok” yang kebanyakan para emigran lebih berhasil dibanding etnis Cina peranakan, penyebabnya etnis Cina “totok” cenderung ulet dalam segala pekerjaan dan mandiri, sedangkan etnis Cina peranakan lebih konservatif dalam usaha, yang cenderung pula lebih berminat menjadi kaum profesional daripada wiraswasta dan ada pembagian kerja dalam keluarga. Sedangkan sikap orientasinya terhadap Indonesia lebih tinggi Cina Peranakan dari pada Cina Totok.
Walaupun demikian, kegiatan ekonomi etnis Cina di Indonesia masih cenderung mengarah pada sistem patron-klien dengan beberapa pejabat pemerintah Indonesia, demi menjaga keamanan dan kesejahteraan mereka. Tetapi tak dipungkiri keadiran mereka membantu dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada umumnya.

Kesimpulan
            Etnis Cina adalah etnis yang dikenal karena keahliannya dalam bidang perdagangan. Hal ini karena sejak zaman nenek moyangnya kehidupan mereka di tunjang dari sektor perdagangan. Untuk mencari kehidupan yang lebih baik, mereka mencari daerah baru yang di kenal dengan istilah “Nanyang” yaitu daerah di selatang yang menjajikan kemakmuran. Sehinga banya etnis Cina yang mulai datang ke Asia Tenggara termasuk pula Indonesia.
            Di daerah baru tersebut, mereka mulai berinteraksi dengan masyarakat lokal dengan melakukan kegiatan perdagangan. Pada zaman penjajahan Belanda di Indonesia, etnis Cina menjadi kepercayaan Belanda sebagai perantara antara penduduk pribumi dengan pihak Belanda, yaitu sebagai penyalur barang-barang dan hasil pertanian dari penduduk pribumi kemudian disalurkan ke pihak Belanda. Pihak Belanda memberikan kepercayaan kepada etnis Cina dalam bidang perdagangan karena pertimbangan bahwa etnis Cina sudah lebih berpengalaman dari pada kaum pribumi dalam hal perdagangan.
            Lama-kelamaan etnis Cina mulai mendominasi kegiatan perdagangan di Indonesia. Ini karena karakteristik dimiliki etnis Cina di Indonesia adalah kemauan kerja kerasnya dan kebiasaan hidup hemat. Mereka mampu bekerja dalam waktu yang panjang dan jarang beristirahat kecuali untuk hari besar mereka. Senantiasa menghasilkan uang, sudah menjadi kebiasaan sekaligus kesenangan mereka, sikap orang Cina mengarah pada kemakmuran.
Saran
            Harapan dari penulis kepada para pembaca artikel ini adalah kita dapat mengambil pelajaran dari apa yang dilakukan etnis Cina dalam kehidupan perekonomian di Indonesia. Keeletan, ketekunan, dan jiwa bisnis etnis Cina yang begitu tinggi diharapkan dapat menjadi contoh bagi generasi penerus bangsa untuk menjadi lebih baik di kemudian hari. Tentunya kita juga harus memilah-milah mana yang positif dan negatif, sehingga apa yang dilakukan etnis Cina dalam mendominasi kehidupan perekonomian di Indonesia, dapat menjadi penyemangat kita.
            Artikel yang berisi tentang dominasi etnis Cina dalam kegiatan ekonomi di Indonesia periode tahun 1930-2000 ini sudah peneliti buat dengan sumber dan usaha yang maksimal. Namun tidak menutup kemungkinan masih ada kekurangan dalam penulisannya. Oleh karena itu diharapkan bagi para peneliti yang ingin membahas lebih jauh tentang tema ini bisa menggunakan sumber yang lebih lengkap dan relevan lagi agar hasilnya lebih maksimal.

DAFTAR RUJUKAN
Hidajat. 1984. Masyarakat dan Kebudayaan Cina Indonesia. Bandung: TARSITO.
Husodo, Siswono Yudo. 1985. Warga Baru (Kasus Cina Di Indonesia). Jakarta: Lembaga Penerbitan Yayasan Padamu Negeri.
Irwan, Alexander. 1999. Jejak-Jejak Krisis di Asia Ekonomi Politik Industrialisasi. Yogyakarta: Kanisius.
Mackie.1991. Peran Ekonomi dan Identitas Etnis Cina Indonesia dan Muangthai. Jakarta: Pustaka Utama Grafika.
Markhamah, 2000. Etnik Cina: Kajian Linguistik Kultural. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Suyadinata, Leo. 1999. Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa. Jakarta: LP3ES.
Widyahartono, Bob. 1988. Kongsi dan Spekulasi Jaringan Kerja Bisnis Cina. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Zein, Abdul Baqir. 2000. Etnis Cina Dalam Potret Pembauran Indonesia. Jakarta: Prestasi Insan Indonesia.
http://web.budaya-tionghoa.net


Komentar